Senin, 01 Maret 2021

 

Banjir dan Perubahan Iklim

 Edvin Aldrian  ;  Profesor Meteorologi dan Klimatologi BPPT, Inter governmental Panel on Climate Change WG 1 Vice Chair

                                                        KOMPAS, 01 Maret 2021

 

 

                                                           

Pada awal Februari kemarin, Jakarta kembali diguyur hujan lebat dan ancaman banjir terjadi lagi. Hujan di Jakarta pada 19 Februari 2021 sekuat banjir Jakarta awal tahun baru 2020 (1 Januari 2020) di Jakarta.

 

Pada keesokan harinya, 20 Februari 2021, di daerah Pasar Minggu tercatat hujan dengan intensitas 226 milimeter. Sementara itu di Halim tercatat 176 milimeter dalam semalam. Hujan tersebut terjadi dalam durasi 3-4 jam. Ini jauh lebih pendek dibandingkan hujan pada awal tahun 2020.

 

Tahun lalu tercatat rekor di Halim 377 milimeter selama hampir 10-11 jam. Jadi kualitas hujan semalam kalau datanya dikali dua (agar durasinya sama), maka akan diperoleh di atas 400 milimeter dalam sehari, baik di Pasar Minggu maupun Halim. Ini berarti mendekati angka tahun lalu. Walhasil kualitas intensitasnya mirip tahun lalu.

 

Fenomena ekstrem

 

Semua data pengamatan yang disampaikan itu adalah angka-angka yang sangat fantastis dalam catatan sejarah hujan yang ada. Pulau Jawa mengalami hujan rata-rata 2.300 milimeter dalam setahun dan pada puncak hujan mendapat curah sekitar 300 milimeter dalam sebulan.

 

Angka-angka yang disebut itu merupakan nilai sangat ekstrem dan hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang sekali. Dalam istilah hidrologi dapat dikatakan angka return period atau kemungkinan kembalinya dapat terjadi lagi pada skala 50 hingga 100 tahunan.

 

Mengapa hujan yang sedemikian ekstrem dapat sering terjadi? Bulan Januari lalu kita mendapat kabar banjir di Kalimantan Selatan yang cukup bertahan lama dengan rekor hujan adalah 270 milimeter pada 13 Januari 2021 di Banjar Baru di wilayah Bandara Syamsuddin Noor. Nilai angka yang terjadi di daerah tersebut juga merupakan rekor ekstrem tersendiri akibat hujan pada hari itu dan hari-hari sebelumnya.

 

Hujan ekstrem sering kali ditengarai disebabkan oleh peristiwa global dan bukan lokal, yaitu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim. Gurun Sahara baru saja mengalami hujan salju di bulan Januari, sementara derita serupa juga dialami oleh Negara Bagian Texas yang berada di selatan AS.

 

Wilayah selatan AS, seperti Miami dan Florida, baru saja (tahun 2020) mengalami siklon tropis (biasa dikenal dengan hurricane) dengan jumlah terbanyak dalam setahun sepanjang catatan.

 

Meski tidak dapat dikaitkan secara langsung hubungan antara peningkatan kondisi ekstrem pada suatu daerah dan pemanasan global,  berbagai kejadian yang ada saat ini menyebabkan kita umat manusia mau tidak mau mengakui bahwa memang ada hubungan yang tidak langsung.

 

Tren pemanasan global

 

Dilihat dari catatan, suhu bumi terus meningkat, seiring dengan catatan konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfer yang sudah tembus level 400 ppm (parts per million).

 

Selanjutnya data kondisi ekstrem juga menunjukkan tren yang terus meningkat baik intensitas maupun frekuensinya. Fenomena global, seperti El Nino dan La Nina, juga menunjukkan tren peningkatan intensitas dan frekuensinya. Lalu kenapa ini semua terjadi?

 

Pemanasan global terjadi akibat peningkatan gas rumah kaca akibat proses industrialisasi, pembakaran, pemakaian energi dan konsumsi manusia. Sejak akhir abad ke-19 diketahui bahwa gas rumah kaca itu yang berada di atmosfer dan memiliki sifat rumah kaca.

 

Sifat rumah kaca ini dapat dimengerti secara sederhana saat kita berada di dalam mobil pada siang hari. Perlahan tapi pasti ruang di dalam mobil akan memanas karena energi dari panas sinar matahari akan terus masuk dan terkungkung di dalam ruang kaca mobil itu.

 

Demikianlah yang terjadi dengan pemanasan global, gas rumah kaca tersebut akan berfungsi sebagai wadah rumah kaca dan keberadaannya yang ditengarai dapat bertahan hingga satu hingga dua abad memiliki fungsi tersebut.

 

Dapat dibayangkan selama periode tersebut apabila terjadi akumulasi gas rumah kaca dan bertahan hingga satu sampai dua abad, maka akan berfungsi untuk terus memanaskan atmosfer, walhasil terjadilah efek pemanasan global.

 

Maka, keberadaan gas rumah kaca, akan menambah energi yang ada di atmosfer. Energi yang dirasakan oleh umat manusia adalah dalam bentuk energi panas.

 

Seperti kita ketahui pada pelajaran Fisika tingkat SMP, energi di alam ini adalah kekal dan hanya dapat berubah menjadi bentuk energi lainnya.

 

Energi panas yang ada di atmosfer tersebut dapat berubah menjadi energi kalor dalam bentuk panas, atau energi kinetik dalam bentuk angin kencang atau siklon seperti di AS, dan dapat menjadi energi potensial dalam bentuk hujan lebat atau ekstrem. Maka dapat dimengerti bahwa jenis-jenis bencana hidrometeorologis merupakan salah satu penyaluran jenis energi tersebut.

 

Upaya mitigasi global

 

Pada saat banjir Jakarta tanggal 1 Januari 2020, tercatat bahwa tinggi awan yang menyebabkan banjir berdasarkan data satelit adalah setinggi 15 kilometer atau di atas daerah jelajah penerbangan antar benua. Dibutuhkan energi yang sangat besar untuk menghasilkan awan sebesar itu. Atau dapat dikatakan kompor atau mesin penghasil awan saat ini sudah bukan lagi seperti pada saat beberapa dekade lampau.

 

Semoga kita sekarang semakin menyadari apa yang sedang kita hadapi. Persiapan untuk menghadapi risiko cuaca ekstrem saat ini sudah tidak mampu memakai standar perhitungan yang dipakai selama ini.

 

Banyak dari kita menyalahkan cara mengelola permukaan yang tidak mampu menampung hujan deras yang turun. Kita belum melakukan kajian seberapa kuat suatu daerah dapat menampung hujan dan pada intensitas berapa.

 

Kalau kita sudah menghitung kapasitas tampung, maka kemudian kita dapat menyalahkan instansi setempat apabila gagal dan menyebabkan banjir apabila hujan yang turun di bawah kapasitas tampung yang sudah ditetapkan itu.

 

Sudah saatnya Indonesia beralih lebih ketat lagi dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Meskipun ini adalah upaya bersama secara global tapi efek yang bisa kita rasakan bersifat lokal.

 

Pemerintah Amerika Serikat saat ini berupaya   kembali ke Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim. Uni Eropa sudah menyusun rencana aksi untuk mencapai kesetimbangan karbon pada 2050.

 

Beberapa negara sudah mencanangkan untuk menghentikan pemakaian batubara. Beberapa kota di Eropa juga sudah mempertimbangkan bahwa kota mereka akan tidak dilintasi oleh mobil berbahan bakar fosil dalam beberapa tahun ke depan.

 

Selain itu Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) juga telah menengarai bahwa sumbangan sukarela program mitigasi perubahan iklim dari seluruh negara di dunia hanya cukup untuk sepertiga upaya menahan pemanasan global untuk 1,5 derajat. Sebenarnya dibutuhkan lagi sekitar tiga kali lipat lagi upaya global.

 

Untuk dapat mencapai kondisi dunia terkait kesetimbangan karbon pada 2050, diperlukan upaya peralihan teknologi besar-besaran. Hal ini hanya bisa dicapai dengan peralihan teknologi dari negara maju ke negara berkembang.

 

Melihat luasnya dampak ,seperti bencana hidrometeorologis di atas dan kemungkinan akan bertambah parahnya situasi mendatang, mau tidak mau kita pun harus beralih menjaga upaya mitigasi perubahan iklim semampu kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar