Peran
Sektor Transportasi dalam Pengendalian Pandemi Covid-19 Budi Karya Sumadi ; Menteri Perhubungan RI |
KOMPAS,
10 Maret
2021
Sejak awal pandemi, kita menyadari bahwa
transportasi, khususnya penerbangan internasional, berperan besar dalam
menyebarkan secara cepat Covid-19 ke seluruh dunia. Covid-19 yang awalnya berstatus epidemi
berubah menjadi pandemi sejak April 2020 sebagaimana dinyatakan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO). Dengan demikian, tak mengherankan jika sektor
transportasi menjadi salah satu titik sentral dalam mengendalikan eskalasi
pandemi di semua negara, tak terkecuali Indonesia. Strategi lainnya adalah social distancing
dan pencegahan kerumunan dalam kegiatan sosial dan ekonomi, termasuk pada
sarana/prasarana transportasi publik. Merespons pandemi, pemerintah melakukan dua
upaya pokok di sektor transportasi. Pertama, menjaga agar transportasi
manusia (secara terbatas) dan barang berjalan lancar, khususnya transportasi
logistik. Pada saat yang sama, menjaga agar transportasi publik tidak menjadi
media transmisi Covid-19. Kedua, mendukung dan berupaya agar
transportasi logistik obat-obatan dan alat-alat kesehatan, termasuk
distribusi vaksin Covid-19, atau ”logistik kemanusiaan” ke seluruh wilayah
dapat berjalan dengan baik dan lancar. Sebagaimana diketahui, maskapai Garuda
telah mengangkut 15 juta dosis bahan baku vaksin korona dari China pada
Januari lalu untuk diproses lebih lanjut di Bio Farma. Sebelumnya Sinovac telah
mengirimkan vaksin ke Indonesia dalam bentuk kemasan sebanyak tiga juta
dosis. Selain itu, kendati pada masa pandemi,
pemerintah juga terus melanjutkan pembangunan prasarana strategis di sektor
transportasi, terutama yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional, demi
mendukung upaya pemulihan ekonomi, khususnya ketika pandemi sudah bisa
teratasi dengan baik. Di antaranya, pelabuhan internasional Patimban yang
telah selesai pembangunan tahap pertamanya. Tekan
transmisi Covid-19 Kebijakan restriksi mobilitas melalui
pengendalian transportasi demi membatasi transmisi virus telah diterapkan
mulai dari penghentian penerbangan dari/ke China daratan per Februari 2020,
larangan mudik 2020, hingga dukungan regulasi transportasi terhadap
pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM) serta new normal (adaptasi kebiasaan baru/AKB) dengan
protokol dan persyaratan kesehatan ketat. Dalam periode pra, selama, dan
pasca-vaksinasi, di sektor transportasi publik terus dan akan terus
diberlakukan protokol dan persyaratan kesehatan ketat. Operator transportasi publik, seperti
Garuda, PT KAI, dan Pelni, didesain untuk memainkan peran yang dapat jadi
teladan bagi masyarakat bagaimana bertransportasi secara humanis, higienis, aman,
nyaman, dan selamat di masa pandemi, sejak penumpang di
bandara/stasiun/pelabuhan sampai tempat tujuan. Sampai kapan diberlakukan protokol dan
persyaratan kesehatan ketat itu? Tentu saja sampai pandemi global dan
nasional dinyatakan berakhir. Relaksasi protokol dan persyaratan kesehatan
ketat pada transportasi publik akan dilakukan ketika situasi sudah
memungkinkan. Namun, bertransportasi secara humanis, higienis, aman, nyaman,
dan selamat tetap perlu dibudayakan. Sektor transportasi publik secara ideal
perlu berada di titik tengah antara pertumbuhan ekonomi dan pengendalian
pandemi atau mengombinasikan kedua misi itu secara berimbang. Untuk meminimalkan dampak negatif pandemi
pada perekonomian sekaligus mendukung upaya pemulihan, pemerintah menjaga
kelancaran arus penumpang dan barang/logistik, tentu saja dengan menerapkan
protokol kesehatan dan prosedur standar (SOP) secara ketat. Dengan demikian, transportasi publik tak
menjadi media transmisi virus, baik antarmanusia maupun dari barang ke manusia.
Transmisi dari barang ke manusia pun dimungkinkan karena dalam berbagai kasus
ditemukan adanya virus korona pada komoditas, seperti kemasan seafood beku
yang diekspor/impor. Kebijakan dan regulasi sektor transportasi
selama pandemi beserta penegakannya di lapangan menjadi instrumen
pengendalian penyebaran Covid-19 di sektor ini. Regulasi ini mulai dari level
peraturan menteri hingga petunjuk teknis dan pelaksanaan melalui surat
edaran, meliputi bidang/subsektor transportasi darat, perkeretaapian, transportasi
udara (internasional dan domestik), dan transportasi laut. Pada bulan-bulan pertama respons terhadap
pandemi, untuk mengendalikan penyebaran Covid-19, per April 2020 diterbitkan
Permenhub No 18/2020 per April 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam
Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19, dan disusul Permenhub No 25/2020
tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19
Selama Mudik Idul Fitri 1441 H. Memasuki fase new normal, per Juni 2020
beberapa ketentuan sedikit direlaksasi dengan Permenhub No 41/2020 tentang
Perubahan Permenhub No 18/2020. Permenhub ini kemudian disusul dengan
pedoman/petunjuk teknis dan pedoman/petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan
transportasi darat, laut, udara, dan perkeretaapian pada masa AKB (beserta
perubahan-perubahan), dengan sederet surat edaran (SE) dari SE No 11 sampai
No 26/ 2020, dan SE No 1/2021 sampai No 22/2021. Relaksasi untuk AKB itu, misalnya, jumlah
penumpang untuk pesawat terbang komersial, kereta api, dan bus AKAP,
sebelumnya dibatasi maksimum 50 persen kapasitas, diperlonggar menjadi
maksimum 70 persen kapasitas. Sehubungan dengan perkembangan jumlah kasus
baru Covid-19 harian yang tak seperti diharapkan, yakni adanya indikasi
gelombang kedua pasca-AKB, dan sejumlah daerah seperti DKI kembali ”menginjak
rem” dengan PSBB ketat, maka menjelang perayaan Natal 2020 dan Tahun Baru
2021, Kementerian Perhubungan menerbitkan petunjuk pelaksanaan perjalanan
orang dengan transportasi darat/laut/udara/perkeretaapian selama masa Natal 2020
dan Tahun Baru 2021 dengan SE No 20 sampai dengan SE No 24/2020. Intinya, di antaranya memperketat
persyaratan para pelaku perjalanan dengan pesawat udara dengan menunjukkan
surat keterangan hasil negatif pemeriksaan swab RT-PCR yang berlaku 3 x 24 jam
sebelum keberangkatan ke luar negeri dan surat keterangan hasil negatif
menggunakan RT-PCR paling lama 7 x 24 jam sebelum keberangkatan, untuk
penerbangan menuju Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Para pelaku
perjalanan juga wajib isi kartu kewaspadaan kesehatan (e-HAC). Merespons perkembangan varian-varian baru
Covid-19, antara lain B117 dan SE Ketua Satgas Penanganan Covid-19 No 1/2021,
dan PPKM Jawa-Bali, Kementerian Perhubungan mengeluarkan sejumlah SE,
termasuk larangan sementara bagi WNA memasuki wilayah RI, baik melalui laut
maupun udara, dengan beberapa pengecualian seperti pemegang izin diplomatik
dan izin tinggal dinas. Selain itu, lebih memperketat persyaratan
pelaku perjalanan, antara lain, dengan menunjukkan surat keterangan hasil negatif
RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2 x 24 jam atau
hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu
maksimal 1 x 24 jam sebelum keberangkatan, untuk penerbangan ke Bandar Udara
I Gusti Ngurah Rai, Denpasar. Pada satu sisi, pemerintah berupaya agar
transportasi publik tak menjadi media transmisi Covid-19. Namun, pada sisi
lain pemerintah terus menjalankan program-program transportasi logistik untuk
distribusi barang-barang pokok/penting, terutama ke wilayah 3TP (tertinggal,
terpencil, terluar, dan perbatasan) yang sebagian besar berada di kawasan
timur Indonesia, melalui tol laut dan ”jembatan udara. Muatan tol laut bahkan terus menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun. Per Oktober 2020, tercatat kenaikan muatan
178 persen, dari 2.396 TEUs (2019) menjadi 6.653 TEUs. Logistik
kemanusiaan Luasnya wilayah Indonesia dengan geografis
kepulauan menjadi tantangan tersendiri dalam distribusi logistik alat-alat
kesehatan (alat-alat dan obat-obatan serta vaksin untuk penanggulangan
pendemi Covid-19. Selain itu, logistik kemanusiaan ini berkaitan dengan
distribusi bantuan sembilan bahan pokok (sembako). Dalam distribusi logistik kemanusiaan ini
amat diperlukan koordinasi antarkementerian/lembaga terkait, seperti BNPB,
PMI, TNI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah,
dan korporasi alat kesehatan/farmasi. Covid-19 dinyatakan sebagai bencana
nasional nonalam sesuai Keputusan Presiden No 12/2020. Penanggulangan bencana
nasional, yang diakibatkan oleh penyebaran Covid-19, termasuk distribusi
logistik kemanusiaan, dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Covid-19. Gugus Tugas ini kemudian menjadi Satuan
Tugas yang diketuai oleh Kepala BNPB dan menjadi bagian dari Komite Penanganan
Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) sejak Juli, 2020, sesuai
Perpres No 82/2020. Transportasi logistik kemanusiaan terkait
Covid-19, bukan pekerjaan mudah, yakni-men-delivery bantuan/hibah alat- alat
dan material kesehatan ke seluruh rumah sakit rujukan (940 unit per November
2020) dan laboratorium rujukan nasional (510 unit per November 2020) melalui
gugus/satuan tugas di daerah-daerah dan BPBD. Dalam periode ini (2020) telah
terdistribusi, antara lain hazmat suit (9.726.449 unit), masker bedan
(25.183.369 unit), masker N-95 (7.819.632 unit), dan face shield (175.995
unit), sarung tangan medis (1.090.588 unit), rapid test kit (antibodi dan
antigen) 10.600.000 unit, dan mesin apheresis 1310 unit. Belum lagi,
ventilator, boot, sanitizer, obat-obatan, bantuan sembako untuk warga
terdampak, dan lainnya. Yang sangat krusial saat ini adalah
logistik kemanusiaan untuk vaksinasi Covid-19 sejak pengadaan hingga
distribusinya ke wilayah-wilayah dan penduduk sasaran di seluruh Indonesia. Pertama, vaksin ini harus ditangani secara
spesifik, mulai dari impor (barang jadi atau bahan baku dalam bentuk bulk),
dalam perjalanan sampai pabriknya (Bio Farma), hingga ke gudang-gudang
membutuhkan cold chain/ultra-cold chain. Vaksin Sinovac, misalnya, dapat disimpan
dalam lemari pendingin bersuhu antara minus 2 hingga minus 8 derajat celsius.
Demikian pula vaksin Moderna dapat disimpan pada suhu yang sama, tetapi dalam
delivery-nya perlu suhu minus 25 derajat celsius. Sementara vaksin Pfizer butuh suhu penyimpanan
minus 70 derajat celsius. Kadaluarsa umumnya diperkirakan enam bulan. Vaksin
yang sudah dibuka umumnya hanya dapat bertahan selama enam jam dalam vaccine
carrier atau kontainer pasif yang digunakan. Total kebutuhan vaksinasi bagi 181,5 juta
penduduk sebanyak dua kali suntik, sudah termasuk buffer, diperkirakan 426
juta dosis. Dengan volume per dosis 0,5 mililiter (cc), totalnya ”hanya”
213.000 liter, tetapi mengemasnya ke dalam 426 juta botol (vial) dan
mendistribusikannya ke 181,5 juta penduduk sasaran vaksinasi di seluruh
wilayah, merupakan pekerjaan besar dan berat. Yang membuat berat juga pengadaannya, baik
dalam bentuk bahan baku maupun vaksin jadi yang tergantung dari impor. Untuk
mendapatkan 426 juta dosis, kita harus berpacu dengan waktu dan berkompetisi
dengan banyak negara, meski menurut info sudah ada komitmen kontrak 270 juta
dosis dari berbagai produsen vaksin. Idealnya, vaksin sebanyak 426 juta dosis
dapat tersedia dalam waktu beberapa bulan saja, kemudian mendistribusikannya
ke seluruh wilayah untuk vaksinasi serentak, sehingga pada awal semester
II-2021, seluruh penduduk sasaran sudah tervaksinasi. Meski demikian, gambaran ideal ini
tampaknya amat berat, sebab sampai awal Maret 2020, baru terealisasi 3 juta
dosis (vaksin jadi) dan 35 juta dosis bahan baku (ekuivalen 28 juta dosis
vaksin jadi), atau 7,3 persen dari total kebutuhan untuk vaksinasi. Selain itu, logistik vaksinasi Covid-19
tidak hanya menyangkut vaksin, akan tetapi juga safety box dan alkohol untuk
swab. Untuk menuntaskan agenda besar vaksinasi ini, kita wajib bahu-membahu
dan bergotong-royong, termasuk kesiapan dari aspek distribusi logistiknya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar