Menggali
Lebih Dalam Dasar Pemikiran Demokrasi Indonesia Sudirman Said ; Ketua Institut Harkat Negeri |
KOMPAS,
10 Maret
2021
Apa arti penurunan indeks demokrasi bagi
warga kebanyakan, khususnya mereka yang berdiam berdesak-desakan di lapis
terbawah piramida sosial? Apakah penyusun indeks sempat bertanya kepada
mereka tentang bagaimana cara menimbang kinerja demokrasi? Ukuran-ukuran atau
timbangan apa yang dipakai? Apakah timbangan tersebut selalu
dikalibrasi sehingga ukurannya dapat selalu menampilkan kenyataannya
sebagaimana adanya, atau timbangan tersebut telah pula tercemar oleh virus
jahat yang menggerogoti hak-hak dasar warga? Bagaimana memastikan hal ini? Jika kita tidak perlu mempersoalkan hal-hal
tersebut, maka pertanyaan dapat dibuat lebih mudah. Mengapa kinerja demokrasi
menurun? Apakah karena demokrasi tidak kompatibel dengan gerak pembangunan,
dianggap dapat melambatkan gerak, atau bahkan menghentikan langkahnya? Apakah demokrasi, menjadi semacam mata
proyek, yang dengan demikian, dapat menambah beban pekerjaan pada
pembangunan? Apakah demokrasi dianggap sebagai kegiatan yang terpisah dan
berlawan dengan kegiatan pembangunan? Atau, apakah memang demokrasi sesungguhnya
tidak dikehendakinya oleh rakyat, sehingga wajar jika tidak ada upaya untuk
memperkuatnya, atau menjadikan demokrasi sebagai jalan utama dalam membangun
bangsa. Demokrasi
Indonesia Apabila kita diperkenankan untuk membuat
rumusan suatu bentuk demokrasi yang hendak kita sebut sebagai "demokrasi
Indonesia", bagaimana sosok demokrasi tersebut? Pandangan ini tentu akan
mudah dianggap sebagai cara untuk mengelak dari "keumuman"
demokrasi. Stempel partikularisasi demokrasi, akan
segera dilekatkan. Atau dengan kata lain, tidak ada demokrasi yang khas.
Atribusi akan dipandang sebagai siasat untuk agar tidak menjalankan sejumlah
keharusan yang melekat pada sosok demokrasi. Namun jika kita diperbolehkan mengajukan
pertanyaan: apakah ada praktek demokrasi yang sama dan sebangun, kongruen,
antara satu wilayah dengan wilayah lainnya? Dengan segera dapat dijawab bahwa
tidak ada penerapan demokrasi yang sama persis. Masing-masing negara punya
kekhasan. Ada segi-segi yang sama dan ada segi-segi
yang berbeda, disesuaikan dengan kondisi setempat. Jika memang tidak ada,
maka seharusnya tidak masalah adanya ide tentang demokrasi Indonesia, sejauh
ide tersebut bukan merupakan teknik membungkus otoritarianisme dengan
demokrasi. Karena itu, tantangan yang perlu dijawab
bukan dengan menyelenggarakan respon terhadap berbagai tudingan atau
pertanyaan tersebut di atas, melainkan dengan menggali lebih dalam
dasar-dasar dari apa yang disebut sebagai demokrasi Indonesia. Sampai titik ini kita berpandangan bahwa
demokrasi Indonesia datang dari dua sumber utama: (1) sejarah perjuangan
bangsa membebaskan diri dari kolonialisme. Yang artinya, suatu kehendak untuk
bebas dari segala bentuk keadaan yang membuatnya tidak bebas, atau tidak
dapat bertindak sebagai manusia dengan seluruh jati dirinya, sebagaimana
diatur dalam ketentuan deklarasi hak asasi manusia sedunia. Dan (2) Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yang artinya, suatu kehendak
untuk membentuk tata kehidupan baru yang sepenuhnya berlawanan dengan tata
kolonial. Dalam tata baru tersebut, bangsa tidak
hanya "terbebas dari", tetapi juga punya "kebebasan untuk':
suatu jenis kebebasan yang membuatnya dapat mewujudkan semua potensi
kebangsaannya. Dengan itu, langkah bukan jenis petualangan tanpa tujuan,
melainkan suatu perjalanan untuk mencapai tempat dimana seluruh idealitas
berada. Dalam makna itu, demokrasi Indonesia,
memuat tiga hal sekaligus, yakni: (1) dasar-dasar bagi adanya; (2) tujuan
yang hendak dicapai; dan (3) cara atau prosedur, yang sedemikian rupa
sehingga langkah berjalan di atas dasar dan sekaligus dengan arah. Demokrasi dengan demikian tidak hanya
tentang prosedur-prosedur, namun keseluruhan aspek tersebut. Kita bisa
bayangkan apa yang sedang terjadi, manakala yang berlangsung hanya suatu
prosedur yang disebut prosedur demokrasi, sementara dasar dan arahnya, tidak
sebagaimana maksud demokrasi Indonesia. Hal
prosedur Ada baiknya diajukan pula pertanyaan:
apakah demokrasi Indonesia menyodorkan prosedur, atau hal yang dapat disebut
sebagai prosedur? Kita dapat menyederhanakan pertanyaan menjadi: bagaimana
suatu keputusan diambil? Tentu maksudnya bukan keputusan tentang hal privat,
melainkan keputusan tentang hal publik, atau yang menyangkut hajat hidup
orang banyak. Jika yang terlibat untuk mengambil
keputusan hanya beberapa orang, mungkin lebih terbayang bagaimana proses
dilakukan. Namun yang menjadi masalah adalah jika yang hendak mengambil
keputusan adalah seluruh rakyat: bagaimana cara rakyat mengambil keputusan untuk
kepentingan dirinya? Soal ini tidak mudah untuk dijawab. Sejarah
banyak negara memperlihatkan suatu dinamika yang panjang, penuh pertentangan
yang tidak jarang memakan korban. Jika dahulu kekerasan dipakai sebagai cara
untuk mengambil keputusan, maka di jaman kini, telah dikembangkan jalan
politik untuk mengambil keputusan. Tetapi, apakah jalan tersebut telah bertemu
dengan metode yang paling baik? Kenyataan itu pula yang rasanya masuk dalam
pergulatan pemikiran di kalangan pendiri negara. Atas dasar ingin agar bangsa tetap dalam
kebersamaan (kekeluargaan, gotong royong), telah diambil jalan tengah, yakni
bahwa keputusan diambil tidak didasarkan atas "perhitungan jumlah",
melainkan atas dasar kebijaksanaan. Apa artinya? Bila keputusan tidak diambil atas dasar
jumlah, maka hal ini secara implisit mensyaratkan bahwa yang terlibat di
dalam proses pengambilan keputusan publik bukan manusia biasa, melainkan
manusia pilihan, atau jenis manusia terpilih. Mengapa? Karena dalam proses
akan terjadi suatu “musyawarah” yang tidak ada maksud lain yang hendak
dicapai kecuali kebaikan umum. Suatu kebaikan umum pasti bukan kebaikan
pribadi, bukan kebaikan keluarga, bukan kebaikan kelompok atau golongan. Atau
bukan kebaikan yang membuat satu pihak merasa dirugikan dan pihak lain merasa
mendapatkan keuntungan. Dalam musyawarah yang demikian itu, akan
tidak mungkin terjadi jika memuat elemen yang pada dirinya belum selesai, dan
atau pada dirinya terpikul kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan
publik. Jadi, sebelum kita membahas tata cara
pengambilan keputusan yang ideal, yakni suatu proses yang dipimpin oleh
hikmah dan kebijaksanaan, terasa penting untuk membayangkan, bagaimana
caranya agar tribun pengambilan kebijakan publik, hanya berisi mereka yang
benar-benar berorientasi publik. Dengan ini, masalah menjadi melebar, kepada
proses rekruitmen politik (publik). Kebutuhan akan keberadaan mereka yang
mampu mewakili kepentingan publik, sesungguhnya mengharuskan suatu teknik
menyaring, yang sedemikian rupa sehingga hanya mereka yang sesuai dengan
kebutuhan publik yang dapat masuk ke dalam arena tersebut. Artinya, jika ditemui peristiwa dimana
mereka yang lolos jaring tersebut, lantas bermasalah dengan hukum, maka suatu
evaluasi menyeluruh atas jaring tersebut perlu dilakukan. Pertanyaan penting yang perlu diajukan: (1)
apakah telah terjadi kebocoran pada jaring, sehingga yang tidak dibutuhkan
rakyat, atau malah yang akan melawan kepentingan rakyat bisa lolos; (2)
apakah telah terjadi kesalahan dalam disain atas jaring, sehingga lubangnya
justru melakukan kesalahan dalam meloloskan; dan (3) apakah telah terjadi
kesangajaan dalam desain proses, sehingga yang dibutuhkan rakyat tidak dapat
lolos, dan sebaliknya yang lolos adalah yang justru tidak mengerti rakyat, dan
malah berpotensi merugikannya. Masalah ini amat perlu mendapatkan
perhatian publik, agar energi publik dalam melakukan perbaikan atas tata
hidup bersama, berarah kepada titik soal yang benar. Jika hal ini telah dapat dibenahi, dan
dalam kenyataan yang masuk ke arena publik adalah mereka yang pada dirinya
tertanam kuat jiwa publik, atau sebagaimana lambang Garuda Pancasila, yakni
di dada Sang Garuda ada terletak Pancasila, yang dapat diartikan bahwa di
“dada” setiap pemimpin seharusnyalah terpancang kokoh Pancasila. Dengan formasi yang demikian, tentu kita
akan percaya bahwa seluruh diskusi (musyawarah) di tribun pengambilan
keputusan publik, adalah hal tentang kebaikan umum. Kepemimpinan nilai, atau musyawarah yang
dipimpin oleh kebijaksanaan, adalah proses yang pada dirinya hanya punya
keinginan tunggal yakni mencapai kebaikan umum, sebagaimana yang menjadi
kehendak umum. Dengan demikian, proses rekruitmen politik
(publik) dan proses yang berlangsung di tribun pengambilan keputusan politik,
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kelengkapan ini membuat
jumlah tidak punya arti atau tidak lagi relevan. Mendua Bagi bangsa, suatu upaya yang dimaksudkan
untuk mencapai apa yang menjadi idealitas merupakan hal yang baik, sepanjang
upaya dimaksud memang berada pada jalur yang benar, dan dilandasi oleh “niat”
yang juga benar. Lantas bagaimana publik mengetahui kesemuanya itu? Mungkin, kita bisa menawarkan beberapa cara
untuk dapat menjadi sudut penglihatan. Pertama, setiap demokrasi, tidak
mungkin mengabaikan inti keberadaannya yakni publik. Jika suara publik tidak
mendapatkan tempat, maka sudah tentu demokrasi sedang menghadapi tantangan. Kedua, kinerja demokrasi, selain ditentukan
oleh partisipasi (suara publik), juga oleh kinerja lembaga-lembaga demokrasi.
Hal ini akan sangat bergantung pada rekrutmen politik. Apabila rekrutmen politik tidak meloloskan
yang mengerti publik, dan sebaiknya membiarkan mereka yang selalu berlawan
dengan kepentingan publik untuk menjadi penggerak utama kinerja lembaga
demokrasi, maka pasti demokrasi dalam bahaya. Ketiga, demokrasi mengandalkan kebersamaan
publik, yakni kesadaran bahwa meskipun publik terbangun dari elemen yang
sangat beragam, namun mereka dalam keinsyafan politik akan hakekat hidup
bersama, yakni mencapai kebaikan umum. Apabila keakraban publik tidak dapat
terbentuk, dan sebaliknya kohesi sosial mengalami tantangan yang serius, maka
bukan tidak mungkin lembaga demokrasi, bukan menjadi alat untuk mencapai
kebaikan umum, sebaliknya justru akan diperebutkan demi mencapai kebaikan
sendiri, kebaikan golongan, atau kebaikan yang melawan kebaikan publik. Keakraban warga dalam kerangka kebersamaan
sangat penting, dan karena itu, kepemimpinan kebijaksanaan, sesungguhnya
tidak saja pada ruang pengambilan keputusan publik, melainkan juga dalam
ruang hidup bersama. Sampai di sini, kita, sebagai publik perlu
bertanya, apakah telah tampak dengan jelas bahwa gerak kebangsaan kita
benar-benar mengarah kepada titik ideal tersebut, yakni: (1) kita ingin agar suara
rakyat (sebagai keseluruhannya) mendapatkan tempat tertinggi; (2) kita ingin
agar arena publik benar-benar diisi atau berisi elemen terbaik dari warga,
yakni mereka yang mengerti secara persis hal yang menjadi dasar, hal yang
menjadi tujuan jauh, dan cara mencapainya. Atau kita ingin, agar arena tersebut
dipastikan berisi mereka yang telah selesai dengan dirinya, sehingga tidak
tersedia kesempatan sedikitpun untuk tidak mengarahkan daya pada kepentingan
publik; dan (3) kita ingin agar di kalangan warga tumbuh subur kesadaran
hidup bersama, yakni kesadaran yang mampu menjadi rabuk kohesivitas sosial,
karena hanya dengan itu, demokrasi akan punya basis legitimitas yang kokoh. Tentu kita percaya bahwa seluruh upaya
diarahkan kepada pencapaian yang ideal. Indeks demokrasi, dapat menjadi
cermin, meskipun seharusnya kita menyusun sendiri indeks, atas dasar konsep
demokrasi Indonesia. Oleh karena kita menghendaki kinerja demokrasi dinilai
tidak saja terselenggaranya seluruh prosedur, melainkan pencapaiannya dalam
mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Apa yang menjadi tantangan bagi bangsa
adalah manakala upaya ideal tidak sedang berlangsung. Hal tidak diinginkan
adalah keadaan dimana nilai-nilai demokrasi Indonesia diterima sebagai hal
yang resmi dan legal, sementara dalam praktek riil, yang berlangsung justru
hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ideal, atau yang tidak dikehendaki
oleh nilai-nilai ideal. Jika hal ini yang berlangsung, dimana
indeks demokrasi dari The Economist Intelligent Unit memberi kita petunjuk
awalnya, maka mungkin suatu anomali sedang berlangsung: menduakan demokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar