Bahasa
Indonesia Tanpa Asal-usul A Windarto ; Peneliti di Litbang Realino, Sanata
Dharma, Yogyakarta |
KOMPAS,
28 Februari
2021
Opini Taufik Ikram Jamil berjudul
”Asal-usul Bahasa Indonesia” (Kompas.id, 21/2/2021) menarik untuk
didiskusikan. Sebab, apa yang dinamai sebagai bahasa Indonesia itu sebenarnya
tanpa asal-usul. Mengapa? Karena sebagai lingua franca (bahasa pengantar),
bahasa Indonesia hanyalah media yang digunakan untuk memperantarai beragam
kelas sosial dalam berinteraksi secara lisan. Artinya, bahasa Indonesia adalah penanda
yang diakui secara bersama-sama agar berbagai pihak dapat bertemu dan
bertegur sapa tanpa perlu saling rikuh, apalagi saling becermin diri. Dan,
sebagaimana ditunjukkan oleh Furnivall (1948), hanya di pasarlah mereka dapat
berbahasa dengan bahasa pengantar itu. Dalam konteks ini, Mas Marco Kartodikromo
adalah salah seorang pelopor yang memanfaatkan bahasa itu dalam bentuk
tulisan untuk kepentingan melawan kolonialisme. Itulah mengapa Mas Marco
sering kali disebut ”menulis koyo Cino” (Mrazek, 2006). Dengan kata lain, tulisannya yang berbahasa
”Melayu bazaar” atau ”Melayu pasar” itu sesungguhnya adalah bahasa campuran
seperti digunakan dalam berinteraksi secara lisan di era kolonialisme Hindia
Belanda. Masuk akal jika bahasa itu kerap disebut sebagai ”bahasa gado-gado”
atau ”bahasa oblok-oblok”. Dengan bahasa itu, hal dan masalah yang
terlampau sulit untuk diatasi dengan bahasa ibu, atau bahasa daerah tertentu,
dapat dengan mudah dimediasi. Contohnya, ketika di pasar para pembeli dengan
berbagai latar bahasa bertemu dengan para penjaja yang sebagian besar adalah
orang Tionghoa, maka bahasa campuran menjadi efektif dan operatif dalam
bertransaksi. Hanya sayangnya, bahasa yang tanpa
asal-usul itu justru dipandang terlalu kasar, bahkan liar, lantaran tanpa
terikat dengan tata dan struktur bahasa yang baku. Dengan demikian, bahasanya
menjadi sedemikian lugas dan terus terang tanpa diembe-embeli dengan gaya bahasa
yang cenderung menghaluskan. Karena itu, bahasa seperti ini memang
terdengar tidak akrab dan tidak hangat di telinga orang-orang yang masih
percaya dengan keadiluhungan dalam berbahasa. Intinya, bahasa yang bertata krama dengan
pembagian kelas yang kaku dan beku dipandang lebih bermartabat, bahkan
beradab, daripada bahasa yang spontan tanpa perlu ditutup-tutupi dengan
simbol-simbol yang tak jarang bukan memperlancar, tapi justru menghambat. James T Siegel, dalam kajiannya yang
berjudul ”Berbahasa” (2009) memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa yang magis atau ajaib. Maksudnya, di Indonesia penerjemahan terjadi
dengan mudah, seakan-akan semua bahasa dapat tampil dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya demikian pula, bahasa Indonesia seakan-akan
dapat ditangkap dengan tepat dalam semua bahasa. Keajaiban ini dapat
ditemukan di sejumlah toko buku yang menjajakan beragam buku terjemahan.
Salah satunya di sebuah toko buku besar di Jakarta, hampir separuh atau malah
lebih dari buku-buku yang diperjualbelikan adalah terjemahan. Yang menjadi sumber dari buku-buku
terjemahan itu adalah bahasa Inggris, bahasa Jepang (dengan komik Manga),
bahasa Arab, dan terakhir bahasa Perancis. Dari kenyataan itu dapat dilihat
betapa bahasa Indonesia telah menjadi semacam bahasa pengantar yang
memungkinkan beragam bahasa ibu, baik bahasa asing maupun bahasa daerah,
dibaca dan dipahami. Meski tak sepenuhnya mampu mewakili
keasliannya, lewat hasil terjemahan berbahasa Indonesia itu dapat diperoleh
suatu pengetahuan atau pengalaman yang sebelumnya tak dikenal. Berbeda misalnya, dengan di Aljazair di
mana berbahasa dapat menjadi persoalan hidup atau mati. Di sana orang dapat
saling bunuh hanya karena identitasnya, yang dibentuk oleh bahasa, dirasa
dipermainkan. Demikian pula dengan di Perancis, orang
yang tidak menegur tetangganya dengan ujaran bonjour akan dituduh melakukan
penghinaan tak terampuni. Tak heran banyak orang asing, Amerika khususnya, di
Perancis yang mengatakan betapa susah berbicara bahasa Perancis di Perancis. Apakah hal serupa terjadi pada bahasa
Indonesia ketika seseorang sedang berada di Madura, Flores, Nias, atau Papua?
Kemungkinan besar tidak, sebab dengan memakai perangkat bahasa yang berjarak
seperti bahasa Indonesia, tak ada lagi yang perlu dirisaukan. Bahasa
tersebut, sebagaimana dicatat sekali lagi oleh Mrazek, ”seperti rasaloos,
’tidak punya perasaan’, atau maloeloos, ’tidak punya malu’”. Memang sejarah telah menunjukkan bagaimana
bahasa Melayu yang menjadi embrio dari bahasa Indonesia pernah menjadi bahasa
bersama yang interaktif dalam masyarakat Hindia Belanda yang plural. Bahasa
Melayu itu mampu menyediakan sebuah ”panggung sandiwara” bagi masyarakat
kolonial untuk bersaksi dan mengakui kedaulatan serta keakraban dengan sesama
yang lain. Salah seorang wartawan ternama, yang punya
nama samaran Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing), dapat menjadi kawan
sekaligus lawan bagi sesamanya dengan berbahasa Melayu gaya Mas Marco atau
Haji Misbach dalam 1910-an dan 1920-an. Sebuah (gaya) bahasa yang, menurut Benedict
Anderson, dalam ”Kata Pengantar” di buku berjudul Tjamboek Berdoeri,
Indonesia dalem Api dan Bara (Elkasa, 2004), terkesan enak-bebas dan dekat
dengan bahasa lisan. Dalam bahasa itu tak ada dinding antara fiksi dan
raportasi. Itu sebabnya, tak sedikit pihak atau
kalangan yang merasa terancam dengan tulisan para jagoan pers itu sebab yang
mereka tulis sesungguhnya suatu peristiwa yang biasa-biasa saja, hanya
dampaknya ibarat ”mencuci kolor di halaman depan rumah sendiri”. Bukan kebetulan bahwa bahasa Indonesia
sempat mewarisi semangat seperti itu pula. Wajar bahwa dalam berbahasa
Indonesia tak ada masalah yang cukup beralasan menyatakan adanya salah
kaprah, bahkan salah komunikasi, dalam masyarakat. Justru ia membuat
komunikasi jauh lebih mudah. Maka, arti pentingnya bahasa yang mampu
mengatasi bahasa-bahasa ibu itu adalah tak menimbulkan rasa rikuh dan saling
mencerminkan satu sama lain. Contohnya, seperti dialami sekali lagi oleh
Siegel, jika di jalan (di Solo) ada orang asing yang disapa dengan teguran,
”Hello, Mister”, sesungguhnya tak ada risiko seandainya tak ada balasan
terhadap tegur sapa itu. Paling-paling mereka yang berupaya bertegur sapa itu
berkomentar netral ”Tidak bisa bahasa Jawa”. Namun, jika dibalas dengan bahasa Jawa yang
halus dan sopan, mereka pun akan mengatakan orang asing itu dapat berbicara
bahasa Indonesia dengan amat baik. Sayangnya, ketika bahasa itu disatukan
dalam Sumpah Pemuda pada 1928, tuturan trengginasnya justru menjadi baku dan
beku dalam kebijakan kolonial Belanda yang menempatkannya sebagai ”Melayu
yang benar”, ”Melayu Tinggi”, atau ”Melayu Ophuijsen”. Syukurlah masih ada bahasa Indonesia lain
yang dipakai kalangan sastrawan muda, misalnya, untuk menggambarkan kekuatan
suatu peristiwa dari keadaan politik tempat kekerasan tumbuh. Itulah bahasa
Indonesia yang tanpa asal-usul, tetapi tetap mampu menyambungkan suara dan
kepentingan orang banyak, seperti dalam bentuk kritik, tanpa takut dicekal,
bahkan dibui sekalipun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar