Senin, 01 Maret 2021

 

Bahasa Indonesia Tanpa Asal-usul

 A Windarto  ;  Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

                                                     KOMPAS, 28 Februari 2021

 

 

                                                           

Opini Taufik Ikram Jamil berjudul ”Asal-usul Bahasa Indonesia” (Kompas.id, 21/2/2021) menarik untuk didiskusikan. Sebab, apa yang dinamai sebagai bahasa Indonesia itu sebenarnya tanpa asal-usul. Mengapa? Karena sebagai lingua franca (bahasa pengantar), bahasa Indonesia hanyalah media yang digunakan untuk memperantarai beragam kelas sosial dalam berinteraksi secara lisan.

 

Artinya, bahasa Indonesia adalah penanda yang diakui secara bersama-sama agar berbagai pihak dapat bertemu dan bertegur sapa tanpa perlu saling rikuh, apalagi saling becermin diri. Dan, sebagaimana ditunjukkan oleh Furnivall (1948), hanya di pasarlah mereka dapat berbahasa dengan bahasa pengantar itu.

 

Dalam konteks ini, Mas Marco Kartodikromo adalah salah seorang pelopor yang memanfaatkan bahasa itu dalam bentuk tulisan untuk kepentingan melawan kolonialisme. Itulah mengapa Mas Marco sering kali disebut ”menulis koyo Cino” (Mrazek, 2006).

 

Dengan kata lain, tulisannya yang berbahasa ”Melayu bazaar” atau ”Melayu pasar” itu sesungguhnya adalah bahasa campuran seperti digunakan dalam berinteraksi secara lisan di era kolonialisme Hindia Belanda. Masuk akal jika bahasa itu kerap disebut sebagai ”bahasa gado-gado” atau ”bahasa oblok-oblok”.

 

Dengan bahasa itu, hal dan masalah yang terlampau sulit untuk diatasi dengan bahasa ibu, atau bahasa daerah tertentu, dapat dengan mudah dimediasi. Contohnya, ketika di pasar para pembeli dengan berbagai latar bahasa bertemu dengan para penjaja yang sebagian besar adalah orang Tionghoa, maka bahasa campuran menjadi efektif dan operatif dalam bertransaksi.

 

Hanya sayangnya, bahasa yang tanpa asal-usul itu justru dipandang terlalu kasar, bahkan liar, lantaran tanpa terikat dengan tata dan struktur bahasa yang baku. Dengan demikian, bahasanya menjadi sedemikian lugas dan terus terang tanpa diembe-embeli dengan gaya bahasa yang cenderung menghaluskan.

 

Karena itu, bahasa seperti ini memang terdengar tidak akrab dan tidak hangat di telinga orang-orang yang masih percaya dengan keadiluhungan dalam berbahasa.

 

Intinya, bahasa yang bertata krama dengan pembagian kelas yang kaku dan beku dipandang lebih bermartabat, bahkan beradab, daripada bahasa yang spontan tanpa perlu ditutup-tutupi dengan simbol-simbol yang tak jarang bukan memperlancar, tapi justru menghambat.

 

James T Siegel, dalam kajiannya yang berjudul ”Berbahasa” (2009) memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang magis atau ajaib. Maksudnya, di Indonesia penerjemahan terjadi dengan mudah, seakan-akan semua bahasa dapat tampil dalam bahasa Indonesia.

 

Sebaliknya demikian pula, bahasa Indonesia seakan-akan dapat ditangkap dengan tepat dalam semua bahasa. Keajaiban ini dapat ditemukan di sejumlah toko buku yang menjajakan beragam buku terjemahan. Salah satunya di sebuah toko buku besar di Jakarta, hampir separuh atau malah lebih dari buku-buku yang diperjualbelikan adalah terjemahan.

 

Yang menjadi sumber dari buku-buku terjemahan itu adalah bahasa Inggris, bahasa Jepang (dengan komik Manga), bahasa Arab, dan terakhir bahasa Perancis. Dari kenyataan itu dapat dilihat betapa bahasa Indonesia telah menjadi semacam bahasa pengantar yang memungkinkan beragam bahasa ibu, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, dibaca dan dipahami.

 

Meski tak sepenuhnya mampu mewakili keasliannya, lewat hasil terjemahan berbahasa Indonesia itu dapat diperoleh suatu pengetahuan atau pengalaman yang sebelumnya tak dikenal.

 

Berbeda misalnya, dengan di Aljazair di mana berbahasa dapat menjadi persoalan hidup atau mati. Di sana orang dapat saling bunuh hanya karena identitasnya, yang dibentuk oleh bahasa, dirasa dipermainkan.

 

Demikian pula dengan di Perancis, orang yang tidak menegur tetangganya dengan ujaran bonjour akan dituduh melakukan penghinaan tak terampuni. Tak heran banyak orang asing, Amerika khususnya, di Perancis yang mengatakan betapa susah berbicara bahasa Perancis di Perancis.

 

Apakah hal serupa terjadi pada bahasa Indonesia ketika seseorang sedang berada di Madura, Flores, Nias, atau Papua? Kemungkinan besar tidak, sebab dengan memakai perangkat bahasa yang berjarak seperti bahasa Indonesia, tak ada lagi yang perlu dirisaukan. Bahasa tersebut, sebagaimana dicatat sekali lagi oleh Mrazek, ”seperti rasaloos, ’tidak punya perasaan’, atau maloeloos, ’tidak punya malu’”.

 

Memang sejarah telah menunjukkan bagaimana bahasa Melayu yang menjadi embrio dari bahasa Indonesia pernah menjadi bahasa bersama yang interaktif dalam masyarakat Hindia Belanda yang plural. Bahasa Melayu itu mampu menyediakan sebuah ”panggung sandiwara” bagi masyarakat kolonial untuk bersaksi dan mengakui kedaulatan serta keakraban dengan sesama yang lain.

 

Salah seorang wartawan ternama, yang punya nama samaran Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing), dapat menjadi kawan sekaligus lawan bagi sesamanya dengan berbahasa Melayu gaya Mas Marco atau Haji Misbach dalam 1910-an dan 1920-an.

 

Sebuah (gaya) bahasa yang, menurut Benedict Anderson, dalam ”Kata Pengantar” di buku berjudul Tjamboek Berdoeri, Indonesia dalem Api dan Bara (Elkasa, 2004), terkesan enak-bebas dan dekat dengan bahasa lisan. Dalam bahasa itu tak ada dinding antara fiksi dan raportasi.

 

Itu sebabnya, tak sedikit pihak atau kalangan yang merasa terancam dengan tulisan para jagoan pers itu sebab yang mereka tulis sesungguhnya suatu peristiwa yang biasa-biasa saja, hanya dampaknya ibarat ”mencuci kolor di halaman depan rumah sendiri”.

 

Bukan kebetulan bahwa bahasa Indonesia sempat mewarisi semangat seperti itu pula. Wajar bahwa dalam berbahasa Indonesia tak ada masalah yang cukup beralasan menyatakan adanya salah kaprah, bahkan salah komunikasi, dalam masyarakat. Justru ia membuat komunikasi jauh lebih mudah.

 

Maka, arti pentingnya bahasa yang mampu mengatasi bahasa-bahasa ibu itu adalah tak menimbulkan rasa rikuh dan saling mencerminkan satu sama lain.

 

Contohnya, seperti dialami sekali lagi oleh Siegel, jika di jalan (di Solo) ada orang asing yang disapa dengan teguran, ”Hello, Mister”, sesungguhnya tak ada risiko seandainya tak ada balasan terhadap tegur sapa itu. Paling-paling mereka yang berupaya bertegur sapa itu berkomentar netral ”Tidak bisa bahasa Jawa”.

 

Namun, jika dibalas dengan bahasa Jawa yang halus dan sopan, mereka pun akan mengatakan orang asing itu dapat berbicara bahasa Indonesia dengan amat baik.

 

Sayangnya, ketika bahasa itu disatukan dalam Sumpah Pemuda pada 1928, tuturan trengginasnya justru menjadi baku dan beku dalam kebijakan kolonial Belanda yang menempatkannya sebagai ”Melayu yang benar”, ”Melayu Tinggi”, atau ”Melayu Ophuijsen”.

 

Syukurlah masih ada bahasa Indonesia lain yang dipakai kalangan sastrawan muda, misalnya, untuk menggambarkan kekuatan suatu peristiwa dari keadaan politik tempat kekerasan tumbuh. Itulah bahasa Indonesia yang tanpa asal-usul, tetapi tetap mampu menyambungkan suara dan kepentingan orang banyak, seperti dalam bentuk kritik, tanpa takut dicekal, bahkan dibui sekalipun. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar