Uni
Afrika untuk Palestina atau Israel AM Sidqi ; Diplomat RI di Riyadh |
KOMPAS, 16 Agustus 2021
Sebuah
ironi mengejutkan datang dari Afrika. Pada 22 Juli 2021, Israel mendapatkan status
observer (pengamat) di Uni Afrika. Menlu Israel menyebut status observer di
Uni Afrika ini merupakan hari kemenangan diplomasi Israel di Afrika. Ini
sekaligus menyempurnakan slogan mantan PM Israel Netanyahu, ”Israel akan
kembali ke Afrika, dan Afrika akan kembali ke Israel”. Padahal
pada KTT ke-34, Februari 2021, Uni Afrika (UA) menerbitkan deklarasi
menyatakan dukungan atas perjuangan kemerdekaan Palestina. Bahkan ketika
Israel menggempur Palestina pada Mei 2021, Ketua Komisi Afrika, Moussa Faki Mahamat
dari Chad juga mengecam keras Israel dan menegaskan dukungan AU untuk
kemerdekaan Palestina. Sebelumnya pada KTT ke-32 AU (2019), Presiden
Palestina Mahmoud Abbas menyerukan kepada negara-negara Afrika untuk
mendukung Palestina dan memboikot Israel. Namun kenyataan hari ini, AU justru
menerima Israel dengan tangan terbuka. Mengapa
ironi ini bisa terjadi? Dan apa dampaknya terhadap Palestina? Politik pengakuan dan aliansi
pinggiran Ketika
Organisasi Persatuan Afrika (Organization of Africa Unity/OAU) bereinkarnasi
menjadi Uni Afrika pada 2002, keinginan Israel menjadi observer diboikot oleh
pemimpin Libya Moammar Khadafy. Berkebalikan dengan OAU yang memberikan
status observer kepada Israel, UA justru bersimpati atas perjuangan
kemerdekaan Palestina dan memberikan kursi observer sejak Palestina pada
2013. Bahkan sejalan dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), UA secara
konsisten menyatakan keprihatinan atas penjajahan Israel terhadap tanah
Palestina serta menyebut Israel melanggar hukum internasional dan penyebab
konflik di kawasan. Jika
kita lihat lebih jauh, upaya Israel di Afrika bukan seumur jagung. Afrika
telah menjadi prioritas kebijakan luar negeri bahkan sejak Israel dibentuk.
Tidak terbantahkan lagi, Israel memiliki kepentingan geostrategis yang sangat
besar di Kawasan Tanduk Afrika karena kedekatannya dengan pintu masuk menuju
Israel di Laut Merah. Israel juga memiliki kepentingan ekonomi di Benua
Afrika sebagai pasar negara berkembang dan sumber bahan baku bagi industri
Israel. Namun
yang tak kalah penting, politik pengakuan menjadi tujuan utama Israel di
Afrika. Sistem voting pada hampir semua organisasi internasional menghargai
satu negara untuk satu suara. Dengan demikian, adalah pilihan kebijakan yang
sangat rasional bagi Israel, mengupayakan panen dukungan (vote) dari
negara-negara Afrika dibandingkan negara tetangga Arab yang memusuhi. Proklamator
sekaligus PM Israel pertama, Ben-Gurion, mencetuskan doktrin ”Aliansi
Pinggiran” (Alliance of the Periphery), yaitu aliansi strategis dengan negara
Muslim non-Arab dalam rangka mempertahankan eksistensi Israel di tengah
gempuran koalisi negara-negara Arab pada tahun 1950-1960-an. Pada
masa itu, Israel mendekati Iran, Turki, dan kelompok Kurdi di Irak. Israel
juga mendekati Indonesia dengan memberikan pengakuan kemerdekaan Indonesia
tahun 1950 dan bermaksud membuka misi diplomatik di Jakarta, tetapi
ditanggapi dingin oleh Hatta yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden
dan Menteri Luar Negeri RI. Direspons
dingin di Asia, Aliansi Pinggiran justru direspons antusias di negara-negara
Afrika. Pada 1950-an, Israel berhasil menjalin hubungan strategis dengan
Kaisar Etiopia, Haile Selassie. Tahun 1960-an, Israel mensponsori
pemberontakan Sudan Selatan mengakibatkan perang saudara terpanjang di Afrika
antara Sudan vs Sudan Selatan. Tidak
heran ketika Sudan Selatan memisahkan diri pada tahun 2011, Israel adalah
salah satu negara pertama yang mengakui negara Sudan Selatan. Israel juga
berperan penting menyokong naiknya Idi Amin sebagai diktator Uganda pada
1970-an. Namun,
ketika Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan
pasca-Perang Enam Hari tahun 1967, Israel mulai dipandang sebagai negara
penjajah, dan hubungan Israel-Afrika merenggang. Pasca perang Israel-Arab
pada 1973, banyak negara sub-Sahara memutuskan hubungan diplomatik dengan
Israel dan beralih ke aliansi pro-Arab. Sebagai
PM Israel terlama (2009-2021), Netanyahu memiliki kesempatan panjang untuk
membangun kembali poros Israel-Afrika. Netanyahu tercatat sebagai PM Israel
paling sering mengunjungi negara-negara Afrika. Dalam kurun waktu dua tahun
(2016-2017), Netanyahu melakukan tiga kali kunjungan ke negara-negara Afrika,
antara lain Chad, Etiopia, Eritrea, Rwanda, Uganda, Kenya, dan Liberia. Pada
kunjungannya ke Kenya (2016), Netanyahu juga mengadakan pertemuan dengan para
pemimpin Tanzania, Uganda, Zambia, Rwanda, Togo, Botswana, Namibia dan
Etiopia, serta Nigeria. Di Liberia (2017), Netanyahu menyampaikan slogan
”Israel akan kembali ke Afrika, dan Afrika akan kembali ke Israel”. Netanyahu
gencar merayu negara-negara Afrika untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota
Israel dan memindahkan kedutaan ke Jerusalem sebagaimana langkah Amerika
Serikat. Pada
saat yang sama, kemesraan Israel-Afrika dipermanis dengan rilisnya film-film
di Netflix, seperti The Angel (2018), The Red Sea Diving Resort (2019), dan
Spy (2019) yang berkisah tentang humanisme-heroik agen inteligen di Afrika
dan Arab. Hasilnya
tidak main-main. Kini, Israel memiliki hubungan diplomatik dengan 43 negara
dari 55 negara Afrika (78 persen) dan membuka 14 kantor kedutaan di Benua
Afrika, termasuk di Addis Ababa tempat markas AU berada. Pembukaan hubungan
diplomatik Israel dengan Sudan dan Maroko (2020) serta status observer di AU
(2021) menjadi gong keberhasilan penjangkauan Israel ke Afrika. AU membelah OKI Status
observer Israel di AU diprediksi juga akan membelah tubuh OKI, organisasi
internasional yang didirikan tahun 1969, karena nasib Palestina. Hampir
separuh (27 dari 57 negara) anggota OKI berada di Afrika dan 18 negara
OKI-Afrika telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Pasca
agresi Israel ke Palestina pada Mei 2021, sejumlah negara anggota OKI,
termasuk Indonesia, memotori resolusi tentang kondisi kesehatan Palestina
pada World Health Assembly (sesi ke-74, 25 Mei 2021) dan resolusi
penghormatan HAM di Palestina pada Dewan HAM PBB (resolution S-30/1, 27 Mei
2021). Meskipun
dua resolusi tersebut disepakati oleh mayoritas negara anggota, tercatat
peningkatan vote menolak (againts) dan abstain dari sejumlah negara-negara
Afrika yang juga anggota OKI, seperti Kamerun, Benin, Chad, Pantai Gading,
Komoro, Gabon, Guinea, Guinea-Bissau, Mali, Nigeria, Somalia, Sudan, dan
Togo. Selain menjadi bukti menguatnya dukungan Afrika untuk Israel, penolakan
resolusi tentang Palestina dari negara-negara Afrika-OKI ini dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran kesepakatan OKI, bahkan dapat memecah-belah
semangat solidaritas OKI. Pada
KTT OKI ke-14 di Mekkah, 31 Mei 2019, para raja dan pemimpin negara anggota
OKI bersepakat bahwa setiap anggota OKI wajib mendukung Palestina dan Al-Quds
Al-Sharif dalam setiap voting resolusi di organisasi internasional mana pun
(Resolusi No 1/14-Pal (IS)). Kesepakatan para pemimpin OKI tersebut diulangi
dan dipertegas oleh resolusi tingkat Menlu OKI Nomor 1/47-Pal dengan
menyatakan bahwa Israel, kekuatan penjajah, tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan posisi di PBB dan organisasi internasional lainnya; karena dengan
nyata melanggar dan mengabaikan berbagai hukum internasional. Pengakuan
organisasi internasional pada Israel akan mendorong dan meningkatkan
kepercayaan diri Israel untuk melanjutkan kebijakan kolonialnya berupa
perluasan permukiman ilegal, diskriminasi rasial, agresi militer, dan
pembersihan etnis di Palestina. Dengan mendapat status observer di UA,
misalnya, Israel berharap akan memiliki hak istimewa untuk mengamati dan
mendorong agenda Israel pada UA, serta memperluas keterlibatan diplomatiknya
di Afrika. Peran Indonesia Indonesia
selalu tegak lurus mendukung dan aktif menjadi motor solidaritas
internasional untuk perjuangan kemerdekaan Palestina, baik pada level
bilateral, regional, maupun multilateral. Namun, mencermati hubungan mesra
Israel dengan sejumlah negara-negara Afrika dewasa ini dan keberhasilan
Israel mendapatkan status observer di AU, tampaknya kita patut mengantisipasi
konstelasi baru di UA, OKI, dan organ-organ PBB terkait Palestina. Terlebih
lagi, pada November 2021, jabatan Sekjen OKI akan berpindah dari kawasan Arab
(Arab Saudi) ke kawasan Afrika (Chad), yaitu dijabat oleh Hissein Brahim Taha
(mantan Menlu Chad). Dengan demikian, Chad akan menjabat Ketua Komisi UA dan
Sekjen OKI pada saat yang bersamaan. Di sisi lain, Chad adalah salah satu
sekutu dekat Israel di Afrika. Indonesia
adalah pendiri OKI sejak tahun 1969 dan berstatus observer pada UA sejak
tahun 2012. Sebagai observer, Indonesia tentu tidak memiliki hak suara di UA,
tetapi Indonesia bisa berperan penting dalam menggalang dan mengokohkan
solidaritas OKI di Afrika, mengingat setengah anggota UA adalah anggota OKI
(27 dari 55 negara). Salah
satu cara mempengaruhi keputusan UA adalah dengan menyampaikan keberatan atas
status observer dari negara anggota UA-OKI kepada Ketua Komisi UA yang kini
dijabat Chad. Dengan demikian, Ketua Komisi AU aware akan adanya keberatan
dari banyak negara anggota terkait status observer Israel tersebut, sekaligus
menegaskan posisi UA dan OKI pada isu Palestina. Akhirnya,
dukungan perjuangan kemerdekaan Palestina tidak cukup diupayakan pada level
regional di Timur Tengah semata. Meningkatnya pengaruh Israel di Afrika
justru semakin menguatkan Afrika sebagai faktor kunci yang signifikan dalam
menentukan masa depan nasib Palestina. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/uni-afrika-untuk-palestina-atau-israel |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar