Indonesia
dan Perdamaian dengan Jepang FX Widiarso ; Diplomat dan Sejarawan |
KOMPAS, 17 Agustus 2021
Perjanjian
damai dengan Jepang menjadi salah satu perhatian politisi Indonesia sejak
awal 1950. Sejak Januari 1950, beberapa politikus Indonesia telah mengusulkan
agar Indonesia menjadi bagian dari pihak yang merundingkan perjanjian
tersebut karena korban jiwa massal dan kerugian material yang terjadi sewaktu
Jepang menduduki Indonesia. Mereka
mengingatkan pemerintah bahwa di masa depan Jepang akan sangat berarti bagi
Indonesia karena posisi penting Jepang di Timur Jauh. Pemerintah menyadari bahwa perjanjian itu akan
memperkuat posisi internasional Indonesia dan mencoba untuk mendapatkan ganti
rugi sebesar 8 miliar dollar AS untuk kerugian materi dari Jepang. Untuk
melaksanakan kebijakan ini, Kabinet Hatta memutuskan membentuk Misi Tetap
kepada Panglima Tertinggi Sekutu di Tokyo dan mengirimkan surat kepada
Jenderal Douglas MacArthur pada 5 Juli 1950. Menanggapi surat Hatta,
MacArthur menyetujui pembentukan
Kantor Perwakilan RI untuk Sekutu pada
4 Agustus 1950. Meski
demikian, rencana Hatta hanya dapat dilaksanakan pada masa Kabinet Sukiman.
Pada 28 Mei 1951, kabinet memutuskan mengirim misi di bawah seorang duta
besar tetap ke Jepang di bawah Sudjono. Sudjono adalah mantan Sekretaris
Jenderal Kementerian Luar Negeri pada masa jabatan pertama Ahmad Subardjo
sebagai Menteri Luar Negeri pada 1945. Sehubungan
dengan misi Sudjono, kabinet juga memutuskan mengirim misi lain ke San
Francisco pada 24 Juli 1951 untuk merundingkan perjanjian damai dengan
Jepang. Misi ini dipimpin Menteri Luar Negeri Soebardjo dan terdiri dari 10
orang, termasuk lima diplomat senior. Menyadari
sensitifnya masalah perjanjian ini bagi politik internal Indonesia serta
hubungan Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya, Sukiman mengadakan
pertemuan khusus untuk membahas keputusan Indonesia untuk menandatangani
Perjanjian San Francisco pada 7
September 1951. Rapat khusus tersebut memutuskan untuk mengirimkan surat
kepada PM Nehru, yang berisi penyesalannya bahwa dalam perjanjian damai
dengan Jepang, Indonesia tidak dapat sejalan dengan India dan Burma. Pada
akhirnya, kabinet memutuskan bahwa Indonesia harus menandatangani Traktat San
Francisco atau Traktat Perdamaian dengan Jepang pada 8 September 1951
meskipun Indonesia masih memiliki keberatan tentang Pasal 14 tentang
kemampuan Jepang untuk melakukan pembayaran pampasan perang. Pasal 14
tersebut berbunyi sebagai berikut: ”Jepang
bersedia membayar pampasan kepada Sekutu atas kerusakan dan penderitaan yang
diakibatkannya selama perang. Meski demikian, diakui bahwa sumber daya Jepang
saat ini tidak cukup, jika ingin mempertahankan ekonomi yang layak, kalau
harus mengganti semua kerusakan dan penderitaan tersebut dan pada saat yang
sama memenuhi kewajiban-kewajiban yang lain. Oleh
karena itu, Jepang akan segera mengadakan negosiasi dengan Sekutu yang
menginginkan diadakannya negosiasi, yang wilayahnya diduduki oleh pasukan
Jepang dan dirusak oleh Jepang, dengan maksud untuk membantu memberikan
kompensasi kepada negara-negara tersebut atas biaya perbaikan kerusakan yang
terjadi, dengan menyediakan jasa-jasa dari rakyat Jepang dalam produksi,
penyelamatan dan pekerjaan lain untuk yang bersangkutan dengan Sekutu.” Keputusan
kabinet Sukiman ini ditentang oleh partai oposisi. Partai Komunis Indonesia
(PKI) melalui sayap pemudanya, Pemuda Rakyat, mengkritik penandatanganan
perjanjian itu. Mereka menyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan bukti
bahwa pemerintah menolak kebijakan independennya sendiri dan menganggapnya
sebagai ancaman bagi solidaritas Asia, karena India dan Burma menolak
undangan ke San Francisco dan memutuskan untuk tidak menandatangani
perjanjian itu. Lebih lanjut organisasi itu menyerukan penolakan ratifikasi
perjanjian di parlemen. Partai
Murba juga menolak perjanjian dengan dasar yang sama dengan PKI, karena
rancangan perjanjian itu hanya dibuat oleh Amerika Serikat dan Inggris tanpa
partisipasi Uni Soviet dan China, seperti yang diamanatkan oleh PBB. Lebih
lanjut Murba menyatakan bahwa sekarang Jepang telah menjadi bagian dari
sekutu dekat AS di Pasifik dan digunakan oleh AS sebagai salah satu pangkalan
militer penting, yang tidak akan melayani perdamaian dunia. Partai
Islam PSII juga tidak setuju dengan kebijakan kabinet karena Indonesia tidak
pernah menyatakan perang kepada Jepang dan mendesak pemerintah untuk membuat
perjanjian tersendiri dengan Jepang. Mitra koalisi Masyumi, PNI, awalnya menolak
perjanjian itu, tetapi setelah menderita kekalahan dalam pemungutan suara
kabinet memutuskan untuk mendukung posisi pemerintah. Penolakan PNI ini tidak
sesuai dengan pandangan salah satu tokoh PNI, Ali Sastroamidjojo, yang turut
serta mendukung perundingan dalam posisinya sebagai Dubes RI di Washington
DC. Kabinet
bereaksi terhadap oposisi ini dengan membentuk misi lain untuk merundingkan
perjanjian bilateral terutama untuk membahas secara komprehensif pampasan
perang dengan Jepang, berdasarkan Pasal 14 Perjanjian San Francisco pada 12
Desember 1951. Misi kali ini dipimpin Menteri Perhubungan Djuanda dan terdiri
dari birokrat dan anggota parlemen. Dalam kelanjutan perundingan dengan
Jepang ini, antara 22 Desember 1951 dan 18 Januari 1952, dan didukung oleh
AS, Indonesia terus mempersoalkan Pasal 14 Traktat San Francisco. Kabinet
baru di bawah Wilopo (PNI), bagaimanapun, memiliki kebijakan yang berbeda
mengenai perjanjian damai dengan Jepang. Wilopo terutama ingin lebih dahulu
menenangi oposisi dari parlemen. Akibatnya, kabinet memutuskan untuk menunda
pengesahan perjanjian, menghentikan perundingan dengan Jepang, memanggil
kembali Duta Besar Sudjono, dan menurunkan tingkat Perwakilan RI di Tokyo
menjadi Konsulat Jenderal RI. Untuk
negosiasi dengan Jepang, pada 19 Juni 1953 kabinet memutuskan membentuk
panitia ad hoc untuk menyelidiki masalah pampasan perang dengan cermat.
Panitia ad hoc ini diketuai Sudarsono, mantan Duta Besar untuk India dan
Kepala Direktorat Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri, dan terdiri dari
pejabat beberapa kementerian dan juga anggota parlemen, termasuk Sunario,
yang akan menjadi Menteri Luar Negeri pada kabinet berikutnya. Sejalan
dengan kebijakan kabinet Wilopo, PNI menyatakan di parlemen bahwa telah
menolak Traktat San Francisco. Selain itu, mereka juga mendukung rencana
pemerintah menurunkan status kantor perwakilan di Tokyo menjadi konsulat
jenderal karena Indonesia belum memberikan pengakuan resmi kepada Jepang. Posisi
baru PNI ini didukung oleh Parkindo (Partai Kristen Indonesia), yang selalu
menjadi bagian dari koalisi, tetapi menyarankan pemerintah untuk menunda
semua perjanjian dengan Jepang, dan Indonesia tidak boleh membuka pos
perwakilannya di Tokyo sampai Jepang menjadi anggota PBB. Kebijakan
Wilopo atas Jepang dilanjutkan oleh Ali Sastroamidjojo. Dalam pidato
pertamanya di depan parlemen pada 25 Agustus 1953, ia menyatakan bahwa
pemerintah akan berusaha membangun hubungan normal dengan Jepang sesegera
mungkin dengan mengganti Perjanjian San Francisco dengan perjanjian
bilateral. Untuk melanjutkan perundingan dengan Jepang, Ali mengutus Menlu
Sunario dan Sudarsono, sebagai ketua delegasi ke Tokyo. Namun,
perundingan itu menemui jalan buntu karena sengketa besaran pampasan perang.
Selain itu, negosiasi tersebut diwarnai dengan skandal, yakni Sudarsono
dituding mendorong Kementerian Keuangan untuk memberikan persetujuan mengenai
pendirian Bank Indonesia-Jepang tanpa persetujuan Menteri Luar Negeri
Sunario. Akibatnya, Sudarsono dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Direktorat
Asia Pasifik dan sebagai kepala delegasi perundingan dengan Jepang. Pada
akhirnya Indonesia berhasil membuat perjanjian tersendiri dengan Jepang, yang
ditandatangani pada 20 Januari 1958 oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio.
Kesepakatan mengenai besarnya pampasan perang disepakati dalam pasal 4
perjanjian tersebut, yaitu sebesar 223.080.000 dollar AS. Jumlah tersebut
akan diangsur dalam dollar AS sampai dengan tahun ke-11 dan akan dilunasi
dalam tahun yang ke-12. Dari
pampasan perang Jepang tersebut, Indonesia berhasil membangun proyek-proyek
besar, di antaranya Monas, Gelora Bung Karno, Gedung Sarinah, dan Hotel
Indonesia. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/17/indonesia-dan-perdamaian-dengan-jepang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar