Menggarami
"Luka" Praja Mangkunegaran Heri Priyatmoko ; Dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma, lahir di Solo |
DETIKNEWS, 16
Agustus 2021
Tiada dijumpai
pemandangan masyarakat menyemut di bibir jalan. Kota Surakarta memang masih
dicengkeram pagebluk Covid-19; publik dilarang berkerumun. Minggu (15/8)
siang, mobil mengusung layon (jenazah) membelah Jalan Slamet Riyadi menuju
kaki Gunung Lawu. Diiringi bunyi sirine meraung, tubuh Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara IX yang tutup usia pada Jumat, 13 Agustus 2021,
akan disemayamkan di Astana Giri Layu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah. Lelaki yang
disapa Gusti Jiwo ini duduk di hampar kencana pada 1987. Di pundaknya, istana
berpendopo megah ini berupaya "mereposisi". Pasalnya, alam
feodalisme tak sanggup lagi menjawab tantangan zaman. Membuka diri untuk
kepentingan pariwisata dan kebudayaan ialah siasat untuk bertahan hidup dan
tetap migunani (bermanfaat) bagi khalayak. Maklum, kini tak ada lagi asok
bulu bekti glondhong pangareng-areng alias pemasok upeti guna menjamin
kehidupan keluarga aristokrat di tembok keraton. Masih segar
dalam ingatan tatkala saya kembali menjamah Perpustakaan Reksopustoko,
Mangkunegaran. Selain bernostalgia zaman kuliah menyuntuki arsip untuk
merampungkan skripsi, juga hendak menyapa sejumlah pegawai yang menggumuli
pustaka lawas berdebu nan apek. Beda dengan kondisi satu dekade silam yang
lumayan komplit, kali ini pulang dengan tangan kosong lantaran data tentang
aset kekayaan praja, kepemilikan tanah, dan pabrik tak ditemukan. Saya lekas
sadar, sebab di pengujung kepemimpinan Mangkunegara IX kembali menghangat
konflik Pabrik Gula (PG) Colomadu. Dibentuk Tim Penataan Aset Mangkunegaran
(TIM PAM) untuk menangani kemelut itu, menghadapi Kementerian BUMN yang
menyolek pabrik warisan Mangkunegara IV tersebut. Sesungguhnya
kita bisa merunut awal "luka" Mangkunegaran ini. Sembilan windu
lebih silam, kemerdekaan Indonesia dan suasana batin yang bebas memang
mempesona publik. Di sana terpacak sebuah harapan akan kehidupan yang jauh
lebih baik, tidak lagi menyembah kaum feodal dan ditindas mesin kolonial. Nuansa
kemerdekaan yang diikuti gelombang revolusi sosial merobohkan impian
aristokrat yang dianyamnya sejak kecil. Termasuk lenyapnya aset istana
Mangkunegaran yang terkena program nasionalisasi. Inilah drama yang kelak
ditangisi dan digugat. Embrio
nasionalisasi adalah Indonesianisasi. Sejarawan gaek Taufik Abdullah (2004)
mengemukakan bahwa Indonesianisasi berkembang dalam arus pemikiran anti
penjajahan lain, seperti "kemajuan", "pembentukan bangsa',
"kemerdekaan", "demokrasi" dan "kerakyatan".
Indonesianisasi ialah konsep ideal yang didekap barisan tokoh pergerakan yang
hidup di alam penjajahan. Wasino dkk
(2013) menegaskan, Indonesianisasi ekonomi dimaknai dua proses, yaitu
peralihan kelembagaan dan nasionalisasi. Peralihan kelembagaan berjalan lebih
awal dibandingkan nasionalisasi. Proses peralihan kelembagaan berlangsung sejak
1945-1949. Sementara nasionalisasi ekonomi, terutama nasionalisasi perusahaan
asing baru menjadi isu besar pasca pembatalan perjanjian Konferensi Meja
Bundar tahun 1950-an. PG ini harus
berlabuh ke tangan pemerintah RI usai pecahnya revolusi sosial di Kota
Bengawan tahun 1946. Revolusi menggelinding seperti bola liar, dan mengancam
kekuasaan swapraja. Penculikan dan ancaman menimpa keluarga kerajaan
gara-gara mereka dianggap berkarib dengan pemerintah kolonial sekaligus
simbol feodalisme yang menikam nasib wong cilik. Era gemilang aristokrasi
sudah lewat. Melalui
Menteri Dalam Negeri, pemerintah RI menelurkan Maklumat tanggal 23 Mei 1946
yang berisi (1) penempatan wakil pemerintah pusat di Surakarta sementara
waktu untuk mengambil tindakan demi menciptakan suasana tenteram di wilayah
Surakarta; (2) akan diambil tindakan tegas terhadap pihak yang melanggar
aturan pemerintah. Sebagai
implementasi Maklumat itu, diangkat sejumlah tokoh antiswapraja yang
memelopori pemerintahan Direktorium seperti Projosoedodo Joewadi dan
Ronomarsono. Kemudian, pihak Tentara RI di Solo membentuk Dewan Pemerintah
Rakyat dan Tentara Daerah Surakarta. Berakhirnya pemerintahan Mangkunegaran
diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah no 16/S.D. tanggal
15 Juli tahun 1946 tentang Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta dan
Yogyakarta. Dengan
kukut-nya status pemerintahan Mangkunegaran, maka seluruh badan usaha,
termasuk kedua industri gula Mangkunegaran diambil-alih pengelolaannya oleh
pemerintah RI. Industri gula Mangkunegaran bersama industri milik Sunan
dikelola badan baru bentukan pemerintah, yaitu Perusahaan Nasional Surakarta
(PNS). Guna meluaskan
cakupan pengelolaan perkebunan yang diambil alih, lembaga plat merah
membentuk Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI) pada 30 April 1947
di bawah Kementerian Pertanian. Menariknya, para pegawai PPRI juga bekas
pegawai perusahaan Mangkunegaran. Misalnya, Prof. Mr Soenario Kala Paking
(mantan superintenden kekayaan Mangkunegaran), Sempoe Soendaroe (mantan
Administratur PG Colomadu), Soedjiman (mantan masinis PG Tasikmadu), dan
lainnya. Reaksi pihak
Mangkunegaran terhadap nasionalisasi PG itu bersifat kooperatif. Hal itu
ditempuh guna menghindari konflik dengan rakyat yang tergabung dalam kubu
antiswapraja. Tanpa dinyana, tahun 1951 mencuat konflik terbuka perihal
penguasaan PG antara Mangkunegaran dengan pemerintah RI. Kala itu,
pemerintah RI lewat Menteri Dalam Negeri menitahkan de Javasche Bank (embrio
kantor BI) tidak mengizinkan superintenden harta kekayaan Mangkunegaran
mengambil uang di lembaga bank itu. Imbasnya, Mangkunegaran kelabakan
gara-gara tidak mampu menutup biaya keperluan praja dan pabrik. Kerabat
Mangkunegaran muntab. Ir Sarsito Mangoenkoesoemo sebagai priyayi
Mangkunegaran mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri di Jakarta. Lelaki
ini menuntut pemerintah yang menghalang-halangi dirinya selaku superintenden
mengambil uang perusahaan pada de Javasche Bank. Argumentasinya ialah
Keputusan Presiden tanggal 22 Februari 1952 No 52 tidak sah, sehingga
pemerintah wajib membayar kerugian sebesar 3.200.800. (Wasino, 2005) Tuntutan itu
rupanya tidak dikabulkan, dan kasus dimenangkan pemerintah RI. Gugatan
Sarsito ditolak mengacu alasan Swapraja Mangkunegaran sudah dihapus sedari
tanggal 15 Juli 1946. Dengan demikian PG yang semula milik Mangkunegaran
telah menjadi perusahaan pemerintah dan dikelola PRRI. Demikian putusan
pengadilan negeri Jakarta, 24 Desember 1951 no15/R. Peristiwa di pengadilan
pada pertengahan abad XX ini dikenang sebagai tonggak sejarah senjakala
ekonomi elite bangsawan Mangkunegaran. Kejayaan PG
Colomadu kini menjadi memori kolektif masyarakat lokal dan keluarga
Mangkunegaran. Celakanya, upaya revitalisasi oleh pihak BUMN dinilai merusak
heritage, sebab ada bangunan pabrik yang digusur. Hasilnya pun mengecewakan,
bisa dibilang malah menggarami luka Mangkunegaran. PG Colomadu adalah
tetenger kemandirian ekonomi praja Mangkunegaran kian tak sedap dipandang
mata. Kandungan nilai historisnya menguap, termasuk merusak arkeologi berbasis
teknologi yang ditinggalkan leluhur Gusti Mangkunegara IX. Inilah segores
luka di pengujung kekuasaan Gusti Jiwo.
● Sumber
: https://news.detik.com/kolom/d-5683703/menggarami-luka-praja-mangkunegaran |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar