Rabu, 18 Agustus 2021

 

Menggarami "Luka" Praja Mangkunegaran

Heri Priyatmoko ;  Dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, lahir di Solo

DETIKNEWS, 16 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tiada dijumpai pemandangan masyarakat menyemut di bibir jalan. Kota Surakarta memang masih dicengkeram pagebluk Covid-19; publik dilarang berkerumun. Minggu (15/8) siang, mobil mengusung layon (jenazah) membelah Jalan Slamet Riyadi menuju kaki Gunung Lawu. Diiringi bunyi sirine meraung, tubuh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX yang tutup usia pada Jumat, 13 Agustus 2021, akan disemayamkan di Astana Giri Layu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah.

 

Lelaki yang disapa Gusti Jiwo ini duduk di hampar kencana pada 1987. Di pundaknya, istana berpendopo megah ini berupaya "mereposisi". Pasalnya, alam feodalisme tak sanggup lagi menjawab tantangan zaman. Membuka diri untuk kepentingan pariwisata dan kebudayaan ialah siasat untuk bertahan hidup dan tetap migunani (bermanfaat) bagi khalayak. Maklum, kini tak ada lagi asok bulu bekti glondhong pangareng-areng alias pemasok upeti guna menjamin kehidupan keluarga aristokrat di tembok keraton.

 

Masih segar dalam ingatan tatkala saya kembali menjamah Perpustakaan Reksopustoko, Mangkunegaran. Selain bernostalgia zaman kuliah menyuntuki arsip untuk merampungkan skripsi, juga hendak menyapa sejumlah pegawai yang menggumuli pustaka lawas berdebu nan apek. Beda dengan kondisi satu dekade silam yang lumayan komplit, kali ini pulang dengan tangan kosong lantaran data tentang aset kekayaan praja, kepemilikan tanah, dan pabrik tak ditemukan.

 

Saya lekas sadar, sebab di pengujung kepemimpinan Mangkunegara IX kembali menghangat konflik Pabrik Gula (PG) Colomadu. Dibentuk Tim Penataan Aset Mangkunegaran (TIM PAM) untuk menangani kemelut itu, menghadapi Kementerian BUMN yang menyolek pabrik warisan Mangkunegara IV tersebut.

 

Sesungguhnya kita bisa merunut awal "luka" Mangkunegaran ini. Sembilan windu lebih silam, kemerdekaan Indonesia dan suasana batin yang bebas memang mempesona publik. Di sana terpacak sebuah harapan akan kehidupan yang jauh lebih baik, tidak lagi menyembah kaum feodal dan ditindas mesin kolonial.

 

Nuansa kemerdekaan yang diikuti gelombang revolusi sosial merobohkan impian aristokrat yang dianyamnya sejak kecil. Termasuk lenyapnya aset istana Mangkunegaran yang terkena program nasionalisasi. Inilah drama yang kelak ditangisi dan digugat.

 

Embrio nasionalisasi adalah Indonesianisasi. Sejarawan gaek Taufik Abdullah (2004) mengemukakan bahwa Indonesianisasi berkembang dalam arus pemikiran anti penjajahan lain, seperti "kemajuan", "pembentukan bangsa', "kemerdekaan", "demokrasi" dan "kerakyatan". Indonesianisasi ialah konsep ideal yang didekap barisan tokoh pergerakan yang hidup di alam penjajahan.

 

Wasino dkk (2013) menegaskan, Indonesianisasi ekonomi dimaknai dua proses, yaitu peralihan kelembagaan dan nasionalisasi. Peralihan kelembagaan berjalan lebih awal dibandingkan nasionalisasi. Proses peralihan kelembagaan berlangsung sejak 1945-1949. Sementara nasionalisasi ekonomi, terutama nasionalisasi perusahaan asing baru menjadi isu besar pasca pembatalan perjanjian Konferensi Meja Bundar tahun 1950-an.

 

PG ini harus berlabuh ke tangan pemerintah RI usai pecahnya revolusi sosial di Kota Bengawan tahun 1946. Revolusi menggelinding seperti bola liar, dan mengancam kekuasaan swapraja. Penculikan dan ancaman menimpa keluarga kerajaan gara-gara mereka dianggap berkarib dengan pemerintah kolonial sekaligus simbol feodalisme yang menikam nasib wong cilik. Era gemilang aristokrasi sudah lewat.

 

Melalui Menteri Dalam Negeri, pemerintah RI menelurkan Maklumat tanggal 23 Mei 1946 yang berisi (1) penempatan wakil pemerintah pusat di Surakarta sementara waktu untuk mengambil tindakan demi menciptakan suasana tenteram di wilayah Surakarta; (2) akan diambil tindakan tegas terhadap pihak yang melanggar aturan pemerintah.

 

Sebagai implementasi Maklumat itu, diangkat sejumlah tokoh antiswapraja yang memelopori pemerintahan Direktorium seperti Projosoedodo Joewadi dan Ronomarsono. Kemudian, pihak Tentara RI di Solo membentuk Dewan Pemerintah Rakyat dan Tentara Daerah Surakarta. Berakhirnya pemerintahan Mangkunegaran diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah no 16/S.D. tanggal 15 Juli tahun 1946 tentang Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta.

 

Dengan kukut-nya status pemerintahan Mangkunegaran, maka seluruh badan usaha, termasuk kedua industri gula Mangkunegaran diambil-alih pengelolaannya oleh pemerintah RI. Industri gula Mangkunegaran bersama industri milik Sunan dikelola badan baru bentukan pemerintah, yaitu Perusahaan Nasional Surakarta (PNS).

 

Guna meluaskan cakupan pengelolaan perkebunan yang diambil alih, lembaga plat merah membentuk Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI) pada 30 April 1947 di bawah Kementerian Pertanian. Menariknya, para pegawai PPRI juga bekas pegawai perusahaan Mangkunegaran. Misalnya, Prof. Mr Soenario Kala Paking (mantan superintenden kekayaan Mangkunegaran), Sempoe Soendaroe (mantan Administratur PG Colomadu), Soedjiman (mantan masinis PG Tasikmadu), dan lainnya.

 

Reaksi pihak Mangkunegaran terhadap nasionalisasi PG itu bersifat kooperatif. Hal itu ditempuh guna menghindari konflik dengan rakyat yang tergabung dalam kubu antiswapraja. Tanpa dinyana, tahun 1951 mencuat konflik terbuka perihal penguasaan PG antara Mangkunegaran dengan pemerintah RI.

 

Kala itu, pemerintah RI lewat Menteri Dalam Negeri menitahkan de Javasche Bank (embrio kantor BI) tidak mengizinkan superintenden harta kekayaan Mangkunegaran mengambil uang di lembaga bank itu. Imbasnya, Mangkunegaran kelabakan gara-gara tidak mampu menutup biaya keperluan praja dan pabrik.

 

Kerabat Mangkunegaran muntab. Ir Sarsito Mangoenkoesoemo sebagai priyayi Mangkunegaran mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri di Jakarta. Lelaki ini menuntut pemerintah yang menghalang-halangi dirinya selaku superintenden mengambil uang perusahaan pada de Javasche Bank. Argumentasinya ialah Keputusan Presiden tanggal 22 Februari 1952 No 52 tidak sah, sehingga pemerintah wajib membayar kerugian sebesar 3.200.800. (Wasino, 2005)

 

Tuntutan itu rupanya tidak dikabulkan, dan kasus dimenangkan pemerintah RI. Gugatan Sarsito ditolak mengacu alasan Swapraja Mangkunegaran sudah dihapus sedari tanggal 15 Juli 1946. Dengan demikian PG yang semula milik Mangkunegaran telah menjadi perusahaan pemerintah dan dikelola PRRI. Demikian putusan pengadilan negeri Jakarta, 24 Desember 1951 no15/R. Peristiwa di pengadilan pada pertengahan abad XX ini dikenang sebagai tonggak sejarah senjakala ekonomi elite bangsawan Mangkunegaran.

 

Kejayaan PG Colomadu kini menjadi memori kolektif masyarakat lokal dan keluarga Mangkunegaran. Celakanya, upaya revitalisasi oleh pihak BUMN dinilai merusak heritage, sebab ada bangunan pabrik yang digusur. Hasilnya pun mengecewakan, bisa dibilang malah menggarami luka Mangkunegaran. PG Colomadu adalah tetenger kemandirian ekonomi praja Mangkunegaran kian tak sedap dipandang mata. Kandungan nilai historisnya menguap, termasuk merusak arkeologi berbasis teknologi yang ditinggalkan leluhur Gusti Mangkunegara IX. Inilah segores luka di pengujung kekuasaan Gusti Jiwo.

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5683703/menggarami-luka-praja-mangkunegaran

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar