Belajar
untuk Tidak Mudah Menghakimi Orang Lain Impian Nopitasari ; Penulis, tinggal di Solo |
DETIKNEWS, 15
Agustus 2021
Saya tidak
sengaja menemukan akun teman saya yang lama lost contact di Twitter. Kami dipertemukan di sebuah posting-an
tentang kucing. Saya meyakinkan diri untuk mengiriminya pesan. Kami pun heboh
karena berhasil terhubung kembali setelah sekian tahun kehilangan kontak. "Piye kabare mamahmu?" tanya saya. "Masih ngurus
warga terdampak covid sekaligus marah-marahin warga yang nggak segera masang
bendera dan umbul-umbul. Biasalah, asisten Bu RT," jawaban teman saya
melegakan karena berarti ibunya sehat. Saya langsung
tanya kabar ibu teman saya ini memang bukan hanya basa-basi belaka. Sosok
ibunya memang masih melekat dalam ingatan saya. Dulu pertama kali diajak ke
rumahnya, saya sudah diperingatkan untuk tidak kaget. Saya mengerti kenapa
teman saya berpesan seperti itu setelah saya bertemu langsung dengan ibunya. Ibu teman saya
yang dipanggil mamah ini adalah seorang waria atau transpuan. Saya malah jadi
ingat film yang saya tonton ketika SMP dulu yang berjudul Realita, Cinta dan
Rock n Roll. Di situ ada tokoh yang ayahnya menjadi waria. Jadi sebenarnya
saya juga tidak kaget. Tapi saya paham kenapa teman saya berhati-hati. Sudah
berkali-kali dia diejek "anak banci" oleh teman-temannya. Teman saya ini
cerita hidupnya sinetron banget, tapi herannya dia bisa mengisahkan dengan
biasa saja. Cenderung santai malah. Ketika dulu pada masa kecil kita sering
ditakut-takuti bahwa kita sebenarnya anak pungut yang dibuang di tempat
sampah, teman saya justru mengalaminya. Dia ditemukan oleh ibunya di tempat
sampah ketika masih berwujud bayi merah. Ibunya ini yang merawatnya dari bayi
sampai dia sudah mandiri seperti sekarang. Saya tidak kaget karena ibunya
seorang waria; saya malah kaget karena dia menceritakan kisah hidupnya yang
tragis itu dengan tertawa-tawa. Ibu teman saya
ini membantu di rumah Bu RT yang punya usaha katering. Beruntung warga
sekitar menerimanya dengan baik. Kata Bu RT, yang penting berbuat baik pada
warga sekitar, warga sini juga akan baik. Sesederhana itu. Ibu teman saya
dikenal ulet dalam bekerja dan yang paling saya ingat adalah dia gigih
belajar mengaji. Memang belajar ketika sudah berumur itu lebih sulit, tapi
lebih baik terlambat daripada tidak, katanya. Masih saya ingat ketika dia
mengeja huruf hijaiyyah di buku Iqra dengan terbata-bata tapi tetap semangat. "Dulu
saya tidak mendapat pelajaran agama yang cukup, Nak. Makanya (menyebut nama
teman saya) tak-suruh ngaji yang bener, supaya bisa gentian ngajari mamahnya.
Saya kan tidak yakin ada guru ngaji yang mau ngajari saya," begitu
ceritanya pada saya. Menjadi waria,
baginya, bukan maunya. Sudah digariskan seperti itu, tapi dia tetap hambanya
Gusti Allah yang wajib "sowan" kepada-Nya. Bulan puasa
kemarin saya berkesempatan hadir dalam salah satu kajian di Ponpes Kaliopak,
Yogya. Setelah selesai mengikuti kajian, teman saya memberi satu buku karya
Mbak Masthuriyah Sa'dan berujudul Santri Waria: Kisah Kehidupan Pondok
Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta. Walau berwujud laporan tentang kehidupan
santri waria, saya bisa membacanya sampai tuntas karena bahasanya mengalir,
tidak kaku. Buku ini seperti melengkapi dua buku yang saya baca sebelumnya
tentang waria yaitu Waria, Bahasa, dan Dunia Malam karya Stanislaus Yangni
dan sebuah novel karya A. Mustafa berjudul Anak Gembala yang Tertidur Panjang
di Akhir Zaman. Ketika saya
membaca buku Waria, Bahasa, dan Dunia Malam, sebenarnya saya hanya ingin
mencari informasi tentang bahasa binan yang digunakan teman-teman waria. Tapi
ternyata saya malah mendapat banyak informasi tentang kehidupan mereka yang
sungguh keras dan tidak mudah. Waria selalu diidentikkan dengan kehidupan
malam dan prostitusi seperti yang digambarkan dalam novel Anak Gembala yang
tertidur Panjang di Akhir Zaman. Yang saya perhatikan, tokoh utama, Rara
Wilis si ratu waria ini pada akhirnya kembali ke jalan Tuhan walau dengan
cara yang sulit dan berdarah-darah. Pergulatan batin tokoh ini bisa saya
rasakan ketika membaca buku Santri Waria dan obrolan dengan ibu teman saya.
Saya merasakan bahwa novel itu tidak sekadar cerita fiksi, tapi penggambaran
sisi lain waria di dunia nyata. Ibu teman saya
itu seperti orang-orang yang diceritakan di buku Santri Waria. Seseorang yang
ingin dekat dengan Tuhannya, tapi terhalang oleh kondisi. Saya salut dengan
perjuangan almarhumah Ibu Maryani, Ibu Shinta Ratri, Bunda Rully Malay, dan
lain-lain ketika mendirikan dan menghidupi ponpes waria dengan segala
keterbatasan. Dari mereka saya melihat sisi lain waria yang tidak melulu
berkaitan dengan kehidupan malam. Mereka juga manusia, punya kebutuhan
spiritual yang harus dipenuhi. Tentunya hal
tersebut lebih sulit mereka lakukan karena stereotip miring dari kebanyakan
masyarakat. Kegiatan pesantren yang seharusnya bukan kegiatan maksiat saja
bisa dipersekusi oleh kelompok lain yang mengatasnamakan agama. Ibu teman
saya memilih belajar mengaji dari anaknya sekadarnya karena malu jika belajar
ke guru ngaji langsung. Waktu itu pernah dia ingin belajar privat, tapi guru
ngaji tersebut dilarang keluarganya karena malu jika nanti dikatakan ustaz
kok ngajar banci. Saya mengapresiasi pengajar-pengajar di ponpes waria yang
masih mau mengajar teman-teman waria di sana. Sebelum
dikomentari panjang tentang ini saya bilang dulu, saya bukan sok-sokan
membela kaum LGBTQ biar dikira keren. Tidak. Saya hanya teringat ibu teman
saya yang memungutnya ketika bayi dari tempat sampah. Dia adalah manusia,
sama dengan kita yang punya kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, termasuk
kebutuhan spiritual. Kita tidak bisa menyangkal kalau kaum waria itu ada di
sekitar kita. Di lingkungan masa kecil saya saja hal itu sudah biasa. Saya
hanya ingin menghargai mereka dengan cara yang sederhana, misal dengan
memanggil dengan panggilan yang mereka inginkan dan tidak memanggil dengan
nama mati (dead name) mereka. Di lingkungan
saya saat ini pun masih menganggap waria yang memakai jilbab dan mengaji
adalah sesuatu yang aneh. Tapi bagi saya waria muslim itu biasa. Ya, memang
tidak menampik kalau ingin membantu mereka, tidak semudah ketika menggalang
donasi umum. Saya punya teman-teman yang hobinya berdonasi. Tiap bulan pasti
tanya mana saja yang butuh donasi. Tapi ketika saya ingin menyumbang sesuatu
untuk ponpes waria, saya hanya membuka kepada teman-teman dekat yang sepaham
saja. Saya pernah
dikomentari soal busana yang teman-teman waria kenakan. "Masa sih
laki-laki pakai jilbab? Apa kita tidak ikut berdosa jika malah mendukung
mereka?" Saya tidak
mikir soal dosa mereka. Jika mereka ingin difasilitasi untuk mengaji, ya
sudah biarkan saja mereka mengaji. Yang penting tidak maksiat sudah cukup.
Soal ibadah mereka diterima Tuhan atau tidak, tentu saja itu bukan ranah
saya. Biarkan menjadi urusan Tuhan. Mereka juga umatnya Kanjeng Nabi. Soal
sisi gelap dan dosa-dosa mereka, ya memangnya kita tidak punya sisi gelap dan
dosa? Siapalah kita kok mudah menghakimi orang lain yang kita anggap berbeda. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5682679/belajar-untuk-tidak-mudah-menghakimi-orang-lain |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar