Senin, 08 Maret 2021

 

Relevansi Simbolisme ”Kayon” dalam Pembangunan

 Purnawan Andra ; Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud

                                                        KOMPAS, 07 Maret 2021

 

 

                                                           

Kita mengenal ”kayon”, bentukan bahan kulit yang melambangkan gunung dalam pewayangan itu. Di dalamnya tergambar pohonan rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi menyembul dalam ukiran yang renik: sesuatu yang teduh.

 

Di kerimbunan yang agung itu, seperti hidup sebuah wilayah kehidupan yang lain, yang berlangsung tenang dan syahdu—ada burung merak di antara harimau, banteng dan kera, juga gapura dengan tempat kunci berbentuk teratai. Simbolisme yang dikandungnya melampaui imaji yang kerap dibayangkan tentang kualitas hidup secara horisontal dan vertikal.

 

Gambaran itu kerap membawa kita membayangkan tentang Indonesia, zamrud khatulistiwa yang begitu indah, subur, dan kaya. Ia adalah tanah surga di mana ”Tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Ikan dan udang pun akan menghampiri”.

 

Dalam pergelaran wayang, kayon dimainkan dalang untuk menandai peristiwa penting. Ia juga dimainkan saat ada kenyataan yang bertentangan dengan kehidupan manusia, keadaan yang tak henti-hentinya berubah dan resah.

 

Suatu saat kayon bisa bergerak sedemikian rupa untuk menggambarkan kegelisahan alam: hujan badai, angin ribut, ataupun gelegar halilintar. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelip…. Manusia tengah menghadapi sebuah peristiwa dramatis.

 

Seperti kondisi Indonesia yang tengah menghadapi berbagai macam bentuk bencana sejak awal tahun 2021 ini. Kecelakaan pesawat, gunung berapi yang kembali aktif dan erupsi, gempa bumi, hingga bencana alam banjir dan tanah longsor terjadi.

 

Ratusan jiwa menjadi korban serta tak terhitung kerugian moril dan materiil yang dialami. Kesemuanya itu berlangsung ketika pandemi covid-19 masih terus meminta korban.

 

Alam seperti sedang gelisah, tak jenak sehingga terus bergerak dan beraktivitas. Bumi yang tadinya tenang, indah, dan memesona dengan segala aktivitas dan bentang alamnya kini seperti tengah merencanakan sesuatu yang tak pernah bisa kita duga.

 

Anomali cuaca ekstrem, angin puting beliung, hujan lebat berkepanjangan, hingga pergeseran lempeng bumi menjadi aktivitas yang kadang tak terdeteksi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

 

Namun, banyaknya bencana yang terjadi di Indonesia sebenarnya menjadi refleksi bahwa bencana itu bukan murni fenomena alam tanpa campur tangan manusia. Dalam perspektif etika lingkungan, bencana alam bukan masalah teknis, melainkan krisis moral yang bukan hanya mengenai perilaku manusia terhadap lingkungan, tapi juga tentang relasi di antara semua kehidupan alam semesta.

 

Aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak sengaja dan dilakukan secara terus-menerus berdampak buruk memicu atau mempercepat terjadinya bencana.

 

Selama ini kita memanfaatkan dan mengolah berbagai wujud kekayaan alam untuk dikonsumsi demi kebutuhan hidup. Manusia mengambil apa yang dimiliki dan disediakan alam untuk kehidupannya. Tapi, pada saat yang sama, konsumsi ini tidak diimbangi dengan konservasi dan pelestarian demi kebutuhan jangka panjang.

 

Perluasan dan pengalihan lahan dilakukan tanpa kompromi. Alhasil, degradasi lingkungan, kepunahan aneka jenis flora dan fauna, merebaknya konflik sosial, serta hilangnya pendapatan negara mengemuka. Indonesia berubah dari megadiversity menjadi megaextinction. Keserakahan manusia eksploitatif dan berorientasi bisnis tanpa memperhitungkan kerugian ekologis di masa mendatang.

 

Seperti bencana banjir yang terjadi di Kalimantan, diakibatkan curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir menambah efek masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus sehingga mengakibatkan terjadinya bencana ekologi.

 

Jika dulu Kalimantan lebat hutannya, kini berubah menjadi perkebunan sawit dan tambang batu bara. Begitu juga tanah longsor di Sumedang. Alih lahan yang tidak terkontrol dalam hasrat konsumtif tanpa memperhitungkan kondisi dan dampak lingkungan menjadi faktor utama penyebab terjadinya bencana.

 

Paradigma pembangunan yang selama ini terkonsentrasi pada sektor ekonomi harus diubah karena toh jejak ekologi yang dihasilkannya telah terbukti kontraproduktif sehingga tak bisa terus dilanjutkan.

 

Pengetahuan tentang dampak kerusakan lingkungan perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bukan malah dikompromikan. Orientasi tata ruang bukan hanya membangun perumahan, pabrik dan membuka perkebunan, tapi menyelamatkan lingkungan.

 

Maka, etika biosentrisme yang memahami bahwa manusia dan semesta sebagai sebuah kesatuan yang organismik sangat relevan untuk menjaga lingkungan hidup. Dalam etika lingkungan, alam mempunyai nilai intrinsik yang lepas dari kepentingan manusia. Alam adalah sistem sosial yang perlu dihormati, dipatuhi, dan diperlakukan sejajar dalam kehidupan bersama di bumi.

 

Visi ini harus dikedepankan demi menumbuhkan kepedulian dan usaha penyelamatan terhadap lingkungan. Bukan semata demi kepentingan manusia saja, tapi juga memberikan perhatian yang seimbang terhadap semua komponen lingkungan dan seluruh komunitas ekologis.

 

Pandangan ini sebenarnya telah ada dalam berbagai bentuk kearifan dan pengetahuan lokal yang ada di masyarakat. Peradaban Nusantara mengakui prinsip harmoni antara makrokosmos (jagat raya alam seisinya) dan mikrokosmos (jagat manusia). Ruwatan, larungan, bersih desa, dan konsep Tri Hita Karana menjadi contohnya.

 

Dan, dalam berbagai kesempatan itu, kayon juga kerap dimainkan dengan dinamis untuk menandai pergantian babak, adegan, ataupun cerita dalam siklus hidup yang kembali stabil dan seimbang.

 

Dan, ketika tancep kayon, hal itu menandakan bahwa seluruh cerita dan derita kemanusiaan telah berakhir dan berubah menjadi kehidupan yang harmonis dan berkualitas antara seluruh penghuni alam semesta. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar