Kehormatan yang Divoting
Laksamana Sukardi ; Anggota DPR 1992-1997
|
KOMPAS,
07 Desember 2015
Setiap orang memiliki
nilai kehormatan yang subyektif dan obyektif, bergantung pada karakter,
prestasi, kontribusi, dan hubungan kekeluargaan. Dalam hubungan hierarkis,
seorang anak secara alamiah menghormati orangtua, pegawai menghormati atasan,
santri menghormati kiai, dan murid menghormati guru. Kehormatan itu bisa
dikatakan subyektif.
Dalam hal hubungan
horizontal, misalnya antarsesama profesi, kehormatan dinilai dari prestasi.
Mahasiswa yang punya nilai akademis tinggi pasti dihormati sesama mahasiswa.
Para ilmuwan mendapat kehormatan penghargaan Nobel jika menemukan sebuah
teori yang berpotensi mengubah kehidupan umat manusia.
Yang patut dipertanyakan
tak hanya bagaimana mendapatkan kehormatan, tetapi bagaimana kehormatan bisa
hilang. Dalam hubungan perkawinan, suami akan kehilangan kehormatannya di
mata istri jika tepergok berselingkuh atau memiliki wanita idaman lain. Akan
tetapi, yang bersangkutan mungkin saja justru mendapat kehormatan dari wanita
selingkuhannya karena jadi sumber rezeki, berbaik hati membelikan mobil,
rumah, dan memberi saham perusahaan.
Dari uraian itu dapat
disimpulkan, kehormatan ternyata sebuah penilaian seseorang atau sekelompok
orang terhadap orang lain atau kelompok lain. Dalam hubungan vertikal,
kehormatan umumnya bersifat kewajiban, seperti anak menghormati orangtua,
murid menghormati guru; dalam hal ini faktor adat dan budaya berperan
penting. Termasuk budaya malu yang berbeda tingkatannya. Misalnya budaya malu
di Jepang berbeda tingkatannya dengan budaya malu di Indonesia.
Dalam hubungan
horizontal, dalam sebuah komunitas atau organisasi profesional, kehormatan
lebih bersifat obyektif, yaitu bergantung pada karakter, perilaku, dan
prestasi anggotanya. Perilaku dan prestasi itu umumnya sudah baku dan jelas.
Kehormatan terhadap anggota atau sebuah organisasi merupakan pengakuan
terhadap prestasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun, kehormatan
adalah sesuatu yang subyektif, bergantung pada sudut pandang mana seseorang
dilihat. Artinya, ada unsur dua arah: timbal balik dan sebab akibat.
Utamanya, kehormatan dilahirkan dari sebuah pengabdian dan pemberian
kepercayaan yang bersifat timbal balik.
Pasangan suami-istri
yang saling mengabdi dan saling percaya akan menerima kehormatan yang
bersifat timbal balik. Seorang dokter harus dipercaya dan dihormati pasiennya
untuk memberikan kesembuhan kepada pasien. Jika sang dokter memiliki reputasi
jelek, pasien tak akan datang dan memercayainya, atau dengan kata lain tidak
dihormati pasien.
Kehormatan anggota DPR
Lalu bagaimana
hubungan timbal balik kehormatan anggota DPR yang notabene dipanggil sebagai
anggota yang terhormat? Pengabdian dan kepercayaan kepada siapa, oleh siapa,
dan ukuran prestasi seperti apa yang dapat membuat mereka berhak mendapat
kehormatan dan perilaku seperti apa yang dapat membuat kehormatannya hilang?
Sama halnya dengan
profesi lain, keanggotaan DPR juga memiliki kehormatan, baik bersifat
vertikal maupun horizontal. Secara politik, membela kehormatan rekan separtai
atau menghormati pimpinan partainya merupakan kewajiban, tetapi ini
kehormatan subyektif. Sementara kepada rakyat yang mereka wakili, kehormatan
anggota DPR lebih bersifat abstrak. Tak ada ukuran atau wujud yang bisa
dipegang/diukur. Lebih banyak diakibatkan dari perilaku anggota Dewan yang
bisa memengaruhi timbul dan tenggelamnya kepercayaan rakyat.
Dalam kasus
pelanggaran etika atau perilaku yang dibawa ke Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) ada baiknya kita melihat dari sudut pandang berikut. Pertama,
kehormatan vertikal. Anggota MKD yang berasal dari satu partai dengan anggota
DPR terlapor akan memiliki sifat subyektif atau wajib membela kolega atau
pimpinannya dari partai yang sama. Dengan kata lain, peradilan oleh MKD
dengan kehadiran hakim yang merupakan kolega satu partai dengan anggota DPR
terlapor, sia-sia dan mubazir.
Kedua, kehormatan
horizontal. Hubungan anggota DPR terlapor dengan rakyat yang memilihnya tak
dapat dinilai atau diukur oleh MKD tanpa melibatkan rakyat pemilih atau
konstituen anggota DPR terlapor. Karena itu, penilaian terhadap apakah rakyat
telah terluka hatinya atau merasa dikhianati oleh perilaku anggota DPR
terlapor tidak dapat diwakili oleh siapa pun kecuali rakyat yang
berkepentingan.
Ketiga, tata kelola
yang baik (good governance). Ini
untuk menilai apakah ada pelanggaran etika atau pengkhianatan terhadap sumpah
anggota DPR, berdasarkan prinsip good governance, harus dibuat Majelis
Kehormatan yang independen. Tak boleh ada hakim dari unsur anggota DPR, baik
dari partai yang sama dengan anggota terlapor ataupun dari partai berbeda,
karena keduanya akan dipengaruhi agenda politik masing-masing.
Oleh karena itu, jika
hakim diambil dari anggota DPR, kita tak perlu kaget jika keputusan MKD
dilakukan dengan metode voting ketimbang mencari kebenaran dan menegakkan
kehormatan DPR sebagai lembaga tinggi negara. Jika kehormatan ditentukan
melalui mekanisme voting, definisi kehormatan tersebut jadi subyektif.
Hasil voting sebuah
kehormatan akan berbeda jika dilakukan organisasi berbeda. Organisasi mafia
narkoba akan memberikan voting sebuah kehormatan kepada mereka yang dapat
melaksanakan penyelundupan narkoba dengan selamat dan merahasiakan
organisasinya. Sebaliknya organisasi kepolisian akan memberikan kehormatan
kepada anggotanya yang berhasil menangkap penyelundup narkoba dan membongkar
rahasia informasi organisasi mafia narkoba.
Sudah saatnya kita
mengambil keputusan cerdas dengan menerapkan good governance, menghilangkan
unsur benturan kepentingan dengan membuat Mahkamah Kehormatan DPR RI dengan
anggota yang independen. Mereka terdiri dari mantan hakim senior, unsur
perguruan tinggi yang tak terlibat dalam kegiatan parpol. Kebutuhan akan MKD
yang independen kian diperlukan mengingat anggota DPR datang dari beraneka
ragam organisasi dan profesi. Apalagi ada yang berasal dari pedagang, yang
masih membawa standar kehormatan sebagai pedagang ketimbang menjaga
kepercayaan rakyat yang harus dihormati sebagai sesuatu yang sakral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar