Politik Tunaetika
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
|
KOMPAS,
22 Desember 2015
Menjelang
akhir tahun 2015 politik Indonesia, seperti terepresentasi khususnya di DPR,
terlihat makin menjauh dari harapan rakyat. Politik tidak etis alias
tunaetika melalui berbagai trick
(tipu daya) dan gimmick (muslihat)
tampaknya bakal terus berlanjut pada 2016 nanti. Politik tunaetika itu
terlihat jelas dalam kasus ”papa minta saham” yang dilakukan Setya Novanto
(ketika itu Ketua DPR). ”Papa minta saham” dengan mencatut nama Presiden dan
Wakil Presiden saja jelas merupakan politik tunaetika.
Apa yang terjadi
dalam Mahkamah Dewan Kehormatan memperlihatkan politik tunaetika. Lihatlah
tarik-menarik di antara anggota yang terbelah; ganti-mengganti anggota MKD;
pernyataan para saksi di tengah berondongan pertanyaan atau interogasi
anggota MKD; semuanya mencerminkan politik tunaetika di kalangan DPR.
Politik
tunaetika itu terlihat lebih lanjut dengan ”vonis” pelanggaran berat yang
diputuskan anggota MKD dari Partai Golkar dan Gerindra terhadap Novanto.
Manuver atau persisnya trick
ini—jika berhasil—bisa membuat Novanto bertahan sedikitnya 90 hari karena
sanksi harus dibahas di panel dan sidang lengkap DPR.
Manuver yang
seolah-olah ”menghukum” berat Novanto gagal karena mayoritas anggota MKD lain
menjatuhkan vonis pelanggaran etika sedang yang membuatnya harus turun dari
jabatan Ketua DPR. Namun, sebelum sempat dimundurkan paksa, Novanto
”menyelamatkan” muka melalui trick
mundur. Politik tidak etis berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Ketua
Fraksi Partai Golkar. Dia seolah berganti tempat dengan Ketua Fraksi Partai
Golkar Ade Komaruddin yang ditunjuk sebagai Ketua DPR.
Banyak
kalangan mempertanyakan manuver Partai Golkar yang tidak etis tersebut,
termasuk Wapres Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Partai Golkar, yang menilai
langkah ini tidak menolong pemulihan citra partai yang rusak akibat kasus
Novanto. JK menegaskan, ”Politik itu
adalah kepercayaan masyarakat. Kepercayaan itu akan muncul dari persepsi.
Kalau persepsi (terhadap Novanto) sedemikian rupa sekarang ini, pasti sulit
mendapat kepercayaan rakyat.” (Kompas, 19/12)
Kepercayaan
rakyat bisa tumbuh jika politisi memegang prinsip dan nilai etika.
Sebaliknya, politik tunaetika hanya bakal mendatangkan kekacauan dalam
kehidupan politik, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan. Politik tunaetika
jelas menimbulkan banyak negatif. Jika politik tunaetika berlangsung di
lembaga legislatif, hampir bisa dipastikan institusi ini tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Sebaliknya, lembaga legislatif cenderung
sekadar menjadi ajang tawar-menawar politik untuk kepentingan pribadi,
kelompok, dan partai.
Keadaan
seperti ini membuat lembaga legislatif dan eksekutif yang dipilih melalui
proses demokrasi tidak efektif. Tata kelola publik juga jadi tidak efektif (ineffective public governance). Akibat
lebih lanjut, skeptisisme dan apatisme politik terhadap demokrasi dan tata
kelola publik dapat meluas.
Ketidakefektifan
tata kelola publik yang dapat mengancam masa depan demokrasi menjadi
keprihatinan banyak pihak yang bergerak dalam pemberdayaan demokrasi. Forum
Demokrasi Bali (FDB) VIII, misalnya, mengangkat subyek ini jadi tema pokok ”Democracy and Effective Public
Governance”, yang secara substantif berisi pembicaraan cara mengatasi
tata kelola publik tidak efektif yang dihasilkan demokrasi.
Berbicara
dalam panel FDB, penulis mengamati tata kelola publik Indonesia masih
ditandai praktik tunaetika; perilaku politik tidak demokratis; oligarki
keluarga dan kerabat; hegemoni pemodal; yang akhirnya membuat sulit bagi
demokrasi mewujudkan janji peningkatan kesejahteraan rakyat.
Karena begitu
luas dampak negatif politik tunaetika, upaya serius dan berkelanjutan
senantiasa perlu dan bahkan urgen. Masyarakat sipil perlu senantiasa menjalin
koalisi nurani (coalition of conscience)
dengan kalangan legislatif yang bersedia memperjuangkan aspirasi publik.
Dengan cara begitu, aspirasi publik dapat tersalur ke pihak lain yang
memainkan berbagai tricks dan gimmicks dalam legislatif maupun
eksekutif.
Selain
koalisi nurani, masyarakat sipil yang tergabung dalam ormas nonpolitik dan LSM
pemantau dan advokasi semestinya tetap merapatkan barisan. Masyarakat sipil
kelompok ini memiliki banyak figur pembentuk pendapat publik (public opinion makers) yang dapat
melakukan tekanan.
Upaya
masyarakat sipil pasti lebih menjanjikan dengan dukungan media cetak dan
elektronik yang bebas, independen, berani dan tegas dalam upaya membangun
demokrasi dan tata kelola publik yang efektif. Di tengah gejala bertumbuhnya
media partisan secara politik, tetap masih ada media cetak dan elektronik
yang memegang integritas.
Dalam kaitan
itu, penting menanamkan kewaspadaan para netizen terhadap gejala perkembangan
politik. Dalam berbagai kasus, termasuk ”papa minta saham”, media sosial
memainkan peran penting dalam menekan para pemangku kepentingan untuk berpihak
pada kepentingan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar