Spiritualisme Maulid sang Nabi
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya;
Dosen di Universitas Pasundan
Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Desember 2015
BERTEPATAN 24 Desember 2015/12
Rabiulawal 1437, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau
kita kenal dengan Maulid (hari yang menjadi penanda kelahiran sang Nabi).
Tujuan pokok Maulid diperingati untuk meneladani ucapan dan tindakan Nabi
Muhammad SAW, untuk mengontekstualisasikan perangainya agar menjadi bagian
dari pengalaman hidup kita.
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu semua, yaitu
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah“ (QS 33:21) dan “Sesungguhnya telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan keimanan (dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih an lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin“ (QS 9:128).
Nyaris di setiap negara berpenduduk
mayoritas muslim, pada peringatan Maulid ini, kitab-kitab yang memotret
perjuangannya dibacakan penuh takzim seperti tergambarkan dalam senarai kitab
maulid serupa Jawahir al-Nazm al-Badi' Fi Maulid alSyafi' karya Syeikh Yusuf
al-Nabhani, Kitab al-Yumnu wa al-Is'ad bi Maulid Khar al-'Ibad karya Ibn
Ja'far alKattani, Itmam al-Ni'mah `Ala al-'Alam Bi Maulid Saiyidi Waladi Adam
karya Ibn Hajar Al-Haitsami, dan al-Maurid al-Hana ditulis al-Hafiz al-Iraqi.
Kitab-kitab lain yang tidak kalah
menarik menulis sosok Muhammad SAW secara utuh, sebut saja di antaranya
Husain Haikal dalam Hayat Muhammad (1935), Amir Ali lewat The Spirit of Islam
(1922), Khawaja Kamaludin melalui The Ideal Prophet (1925), Hafiz Ghulam
Sarwar mengeluarkan Muhammad the Holy Prophet (1949), dan Martin Lings
menulis Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources (1983).
Di pesantren-pesantren
tradisional, nun di pelosok, umat Islam di hari kelahiran Nabi dengan khidmat
membaca puisi-puisi al-Barzanji, karya seorang sastrawan Persia terkemuka
abad ke-17, secara bergiliran satu persatu sembari berdiri.
“Engkau
mentari/engkau purnama/ engkau cahaya di atas cahaya/engkaulah iksar tidak
terperi/engkaulah pelita di tiap dada/duhai kekasih, duhai Muhammad/duhai
mempelai penebar rahmat/duhai muayyad, duhai mumajjad/duhai sang imam kedua
kiblat.“
Dalam puisinya, penyair Pakistan
Muhammad Iqbal memberikan gambaran elok tentang Nabi, “Titik yang berkilau yang disebut diri/selalu mendengarkan percikan
kehidupan di dalam tubuh kita/melalui cinta ia semakin bertahan/semakin
hidup, semakin kukuh dan semakin berkilau/ melalui cinta esensinya
berkobar/dan perbendaharaan tersembunyi berkembang/diri membutuhkan api dan
cinta...Dia beristirahat dalam pelukan gua hira/dan membangun bangsa,
konstitusi dan pemerintahan/malam demi malam berlalu/dengan isi ranjang
menemukannya dalam keadaan jaga/ dengan demikian rakyatnya dapat
beristirahat.“
Tidak kalah memukau seorang
penyair berkebangsaan Jerman Goethe dalam Nyanyian Muhammad, seperti
diterjemahkan Abdul Hadi WM, menulis:
“Lihat
sungai ini/antara karang/kemilau riang/bagaikan gemerlap bintang/di mana masa
mudanya/ masuk roh budiman/di karam dalam semak belukar/segar bagaikan muda
rupawan/muncul dari gulungan awan, menari/sungai ini turun/melintasi batubatu
pualam/dan kembali mengarungi langit/menuruni lembah-lembah/di bawah
jejaknya/kembang-kembang dimunculkan/dan napasnya memberikan/hayat atas
padang-padang.“
Visi
kedamaian
Salah satu bentuk keteladanan yang
mendesak kita tiru hari ini ialah sikapnya yang tidak pernah lelah
mempromosikan hidup damai, lapang, dan toleran. Bahkan, dianggitnya kesadaran
ini sebagai bagian penting dari modus kenabian, visi profetik yang tidak
boleh dikorbankan atas nama apa pun juga. Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil
alamin.
Agama yang dibawanya tidak dinamai
dengan nama dirinya atau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya, tapi justru
penamaan itu dihunjamkan pada jantung hakikat keberagamaan itu sendiri,
kepasrahan kepada Sang Kuasa, yakni Islam.Kata Nabi, sebarkan salam di antara
kalian. Di lain kesempatan disampaikannya, “Mereka yang menebarkan kasih di
bumi, akan mendapatkan kasih dari langit“. Tercatat dalam beberapa riwayat
Imam Bukhari, “Kamu tidak bisa menjadi muslim sejati sampai kamu mendoakan
orang lain apa yang ingin kamu dapatkan.“
Atau “Yang paling baik di antara manusia adalah orang yang melakukan
kebaikan kepada manusia lain.“ Di lain kesempatan Nabi menyerukan, “Berbuat baiklah kepada seluruh makhluk
hidup, maka Allah akan berbuat baik kepadamu.“
Ritus sembahyang sebagai
pengabdian penting dalam ajaran Islam, dimulai pengakuan kedaifan di hadapan
Tuhan lewat manifesto takbir Allahu
Akbar, diakhiri dengan tekad menyebarkan damai dan kasih kepada
sekeliling seperti disimbolkan ucapan salam.
Peristiwa Futuh Makkah yang
menandakan kemenangan Islam menarik kita renungkan. Muhammad SAW yang dahulu
dinista orang Mekah bahkan disebutnya sebagai pendusta, tukang sihir, dan
sampai nyawanya hendak dihabisi kaum muda Mekah, justru ketika kesempatan
balas dendam berada di pelupuk mata, malah memaafkan dan membebaskan mereka. Antum thulaqa, kalian semua bebas.
Politik permaafan dijadikan pilihan. Jalan rekonsiliasi dibentangkan. Agama
sama sekali tidak mengajarkan kebencian dan sikap berlebih-lebihan.
Refleksi
hari ini
Harus kita akui bahwa hari ini ada
banyak teladan Nabi yang telah ditanggalkan dari tindakan keberagamaan kita.
Yang paling mutakhir bagaimana agama sering kali dibajak untuk kepentingan
partisan, jangka pendek, dan tujuan-tujuan politik sesaat, bahkan kekerasan
pun dilegalkan atas nama agama seperti diperagakan kelompok IS dan
ormas-ormas fundamentalis yang akhir-akhir ini meruyak di Nusantara.
Agama yang semestinya mengobarkan
risalah kedamaian, akhirnya di tangan kaum puritan mengalami contradictio in terminis. Wajah agama
menjadi akrab dengan pentungan dan tindakan naif lainnya. Dakwah yang
seharusnya dilakukan lewat cara-cara santun seperti diperagakan Walisongo
malah identik dengan paksaan, hanya ajang mendesakkan keyakinan dan pemahaman
yang sejak awal telah dimonopoli secara sepihak.
Lewat Maulid Nabi yang kebetulan
tahun ini beriringan dengan kelahiran Isa Almasih, minimal kita dapat belajar
untuk memasuki pengalaman keragaman secara lapang, untuk memastikan bahwa
tujuan utama kehadiran agama ialah mewujudkan keutamaan publik menebarkan
rahmat dan menjalin kerukunan.
Ini penting digarisbawahi sebab kita ialah
masyarakat heterogen, yang tak hanya mengandaikan untuk disikapi sebagai
fakta sosial, tapi juga sudah selayaknya ditarik dalam tataran ontologis,
yakni kehadiran `lian' menjadi modus
eksistensial keberadaan kita. Untuk membangun masa depan keindonesiaan
yang harus diterakan ialah jalan `kekitaan' bukan `keakuan'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar