Negeri yang Terbelah
Wiranto ; Mantan Menko Polkam
|
KOMPAS,
07 Desember 2015
Dewasa ini bangsa
Indonesia terperangkap dalam kondisi memprihatinkan.
Negara yang memiliki
Pancasila melalui sila keempatnya dengan sangat jelas mengamanatkan
"Persatuan Indonesia" yang oleh para pendiri bangsa Pancasila itu
disebut sebagai Staatsfundamentalnorm
atau sebagai "Dasar Negara", sebagai Weltanschauung, atau "Pandangan Hidup Bangsa" telah
terjebak dalam suasana disharmoni.
Melalui sejarah
panjang, para pendiri negeri ini
dengan pengorbanan luar biasa telah berhasil mempersatukan lebih dari
750 suku bangsa yang berbeda-beda menjadi bangsa yang utuh bersatu dalam wadah
NKRI. Dewasa ini, sadar atau tidak,
dengan sangat mudah telah terbelah secara politik oleh koalisi parpol
(Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat). Eksistensi koalisi yang
terbentuk menjelang Pilpres 2014 ternyata telah menimbulkan permasalahan
politik berkelanjutan di DPR, MPR, serta di berbagai kehidupan bangsa karena,
diakui atau tidak, telah mengarah kepada oposisi permanen di parlemen yang
membangun "pemerintahan yang terbelah" (divided government).
Fenomena pemerintahan
yang terbelah lazim ditemukan di beberapa negara dengan sistem presidensial
yang mengakui atau menempatkan oposisi sebagai kekuatan yang sah dalam sistem
ketatanegaraan mereka. Adanya pemerintahan yang terbelah ini sering
mengakibatkan terjadinya gridlock
(situasi saling mengunci) antarparlemen dan pemerintahan yang menimbulkan
banyak masalah, terutama dalam penyusunan kebijakan pemerintahan.
Di Amerika Serikat
(AS), misalnya, pernah dialami Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat
menghadapi mayoritas Kongres yang dikuasai Partai Republik, dengan sangat
terpaksa menggunakan APBN tahun sebelumnya, tatkala RAPBN 1997 ditolak
kekuatan mayoritas Kongres. Keadaan itu dapat terjadi karena sistem
pemerintahan di AS kombinasi sistem presidensial dan sistem parlementer Westminster
Inggris yang unsurnya partai pemerintah dan partai oposisi dengan orientasi
perdebatan terbuka pada sidang pleno di antara kedua kekuatan politik.
Koalisi permanen
Berbeda dengan di
Indonesia, kombinasi antara sistem presidensial dan sistem parlementer model
Eropa telah menyusun penggabungan fraksi-fraksi politik dengan orientasi
permusyawaratan dalam komisi-komisi parlemen. Oleh karena itu, sangat
mengherankan dan rancu tatkala dalam sistem presidensial di Indonesia muncul
semacam kekuatan koalisi yang didesain permanen dan dengan langkah politiknya
seakan menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi sebagaimana terjadi di AS.
Secara yuridis,
keberadaan kelompok partai penguasa dan kelompok partai oposisi tak dikenal
dalam perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan dan badan
perwakilan di negara kita. Ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 dengan sangat
jelas hanya menyebutkan "Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum".
Ketentuan ini sama sekali tak mengandung konsekuensi yang mengarahkan
partai atau gabungan parpol yang menang atau kalah dalam pemilu masih
melanggengkan koalisi yang dibentuk menjelang pemilu.
Membelah kebersamaan
Setelah pemilu usai
dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden, serta terbentuknya susunan
pemerintahan, koalisi parpol yang dibentuk menjelang pemilu seharusnya secara
otomatis bubar karena tugasnya telah selesai. Tugas melakukan kontrol
pemerintahan tak lagi melalui pengelompokan parpol semacam oposisi, tetapi
telah diatur melalui cara check and
balances dalam sistem pemerintahan presidensial. Koalisi parpol, baik
yang kalah maupun yang menang dalam pilpres, meleburkan diri ke dalam lembaga
perwakilan rakyat (DPR) yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja
pemerintahan melalui alat kelengkapan DPR, terutama komisi-komisi mitra kerja
pemerintah.
Dengan tak adanya
kekuatan oposisi seperti dalam sistem parlemen Eropa yang berbasis
multipartai, tentu saja tidak lagi relevan untuk mempertahankan secara
permanen keberadaan koalisi parpol yang dibentuk menjelang pilpres lalu.
Kalau kita masih tetap mempertahankan koalisi itu, hasilnya hanya akan
membelah kebersamaan kita sebagai bangsa, mengingkari persatuan yang
diamanatkan Pancasila, serta menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam
jaring-jaring perselisihan berkelanjutan dan menguras energi sebagai bangsa
yang ingin maju.
Yang kita harapkan
sejatinya adalah adanya kerja sama parpol melalui representasi masing-masing
di DPR untuk memahami dan menyerap kemauan rakyat (public opinion) dan keinginan rakyat (public interest) sebagai modal utama yang digunakan dalam check and balances bersama pemerintah
yang juga melakukan kegiatan serupa dalam rangka melahirkan kebijakan yang
bermanfaat untuk rakyat.
Oleh sebab itu,
sangatlah tepat Koalisi Indonesia Hebat mengakhiri eksistensinya dan
meleburkan diri ke dalam Kerja Sama Partai Pendukung Pemerintah serta
mengajak partai lain bekerja sama melakukan pengawasan pemerintahan melalui
cara-cara yang tepat, bermartabat, dan konstitusional untuk kepentingan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar