Pesan-pesan
Keagamaan Nenek Saya
Achmad Munif ; Bekerja di Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa (STPMD) ”APMD” dan Institut Dakwah Masjid Syuhada (IDMS)
Yogyakarta
|
KOMPAS,
30 Desember 2015
Berikut pesan nenek saya kepada kami sesaudara ketika beliau
masih hidup.
”Wong Islam
kuwi nang masjid, mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan kanti
apik lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang
masjid.”
”Wong Nasrani
kuwi nang gereja,mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan kanti apik
lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang gereja.”
”Wong Buddha
kuwi nang wihara, mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan kanti
apik lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang
wihara.”
”Wong Hindu
kuwi nang kuil utawa pura, mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan
kanti apik lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang
kuil utawa pura.”
Artinya kurang lebih sebagai berikut.
”Orang Islam
itu ke masjid; maka kalau kitaingin orang semua orang Jawa hidup bersama
dengan baik dan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi
orang yang ke masjid.”
”Orang Nasrani
itu ke gereja; maka kalau kitaingin semua orang Jawa hidup bersama dengan
baikdan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi orang yang
ke gereja.”
”Orang Buddha
itu pergi ke wihara; maka kalau kitaingin semua orang Jawa hidup bersama
dengan baikdan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi
orang yang ke wihara.”
”Orang Hindu
itu ke kuil atau pura; maka kalau kitaingin semua orang Jawa hidup bersama
dengan baikdan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi
orang yang ke kuil atau pura.”
Jawa-Indonesia
Saya sampaikan maaf untuk nenek saya karena beliau menyebut
Jawa, bukan Indonesia. Mungkin bagi nenek saya Jawa itu, ya, Indonesia dan
Indonesia itu, ya, Jawa.
Juga maafkan nenek saya kalau tidak menyebut Khonghucu. Mungkin
itu karena ketidaktahuannenek saya.Maklum nenek saya orang desa kluthuk yang
hanya bisa membaca huruf Al Quran. Tiap malam setelah shalat maghrib beliau
selalu membaca Al Quran. Keluarga kami adalah petani kecil yang hanya
mempunyai secuil kebun salak dan sejengkal sawah yang ditanami padi. Jadi,
keseharian nenek saya kalau tidak ke sawah, ya, merawat kebun salak kami.
Saya tidak tahu dari mana kalimat-kalimatagak panjang itu
dipungut nenek. Mungkin dari kakek saya. Ketika pesan nenek itu disampaikan
kepada kami, kakek sudah meninggal. Namun, kakek saya memang seorang
pengembara dalam arti: pergi beberapa hari bahkan sampai setengah bulan.
Kakek pergi dari desa satu ke desa lain sebagai penyembuh sakit
kepala. Beliau penyembuh tradisional canduk, yaitu menyembuhkan sakit kepala
dengan tanduk kerbau. Rambut si sakit dicukur berbentuk bulat seluas lubang
pangkal tanduk kerbau, kemudian kakek meniupkan napasnya dari ujung tanduk
yang memang sudah dilubangi. Dengan cara itu kakek mengobati siapa saja dan
tentu saja mendapat upah seikhlasnya.
Dalam mengobati, kakek tidak pandang bulu. Apa pun agamanya, apa
pun partainya, kaya atau miskin, bahkan banyak juga orang Tionghoa, kalau
mereka minta pertolongan, kakek tidak pernah menolak. Kakek saya sangat
toleran kepada siapa saja dan sangat penyabar.
Setelah saya dan saudara saya sudah dewasa dan kakek sudah
meninggal, saya menduga-duga, kata-kata nenek itu berasal dari kakek.
Pasalnya, kami sering melihat setiap kakek pulang dari pengembaraannya selalu
bicara-bicara dengan nenek.
Barangkali kakek memang belum sempat menyampaikan pesan-pesan,
seperti yang disampaikan nenek tadi. Kakek lebih sering mengembara daripada
berdiam di rumah. Nenek saya pun juga agak aneh dan sedikit nyentrik.
Oh ya, perlu saya ceritakan, kami lima bersaudara memang hidup
dan dibesarkan nenek. Kakek meninggal ketika saya masih kecil. Kami semua
ikut nenek karena anak nenek hanya satu—yaitu ibu kami—dan meninggal ketika
melahirkan saya. Karena ayah keburu menikah lagi, kami berlima diboyong dan
dibesarkan nenek.
Tadi saya katakan nenek saya agak nyentrik karena kemauannya
yang keras. Ketika kakek meninggal, nenek masih cukup muda: 40 tahun. Masih
banyak orang yang melamarnya. Namun, tekad nenek tidak akan menikah lagi
karena ingin membesarkan kami. Ia ingin membuktikan kepada bekas menantunya,
yaitu ayah saya, bahwa ia mampu menghidupi dan membesarkan cucu-cucunya.
Nenek tidak mau kami semua ikut ibu tiri. Ayah saya pernah
mengatakan, ”Ben wae melu mbahne, mengko nek mbahne ora kuat kan dibalekke
nang aku.”(Biar saja ikut neneknya, nanti kalau neneknya sudah tidak kuat,
anak-anak saya akan dikembalikan ke saya). Bagi nenek ini adalah penghinaan.
Dan, beliau bertekad akan membesarkan kami sampai cucu paling kecil, yaitu
saya, menikah.
Doa nenek dikabulkan Allah. Beliau meninggal setelah saya, cucu
bungsunya, mempunyai seorang anak. Nenek saya meninggal pada usia 100 tahun.
Luar biasa
Kenyentrikan nenek, kalau saya renungkan sekarang, lumayan juga.
Pada Pemilihan Umum 1955, ketika hampir semua anggota keluarga besar memilih
Partai Nahdlatul Ulama (NU), nenek memilih dan bahkan mengajak beberapa
tetangga untuk mencoblos Partai Masyumi.
Bagi saya, sikap seperti itu sekarang dinilai cukup luar biasa
sehingga kalau ia menegakkan shalat berjemaah di surau sering mendapat cibiran
saudara dan tetangga. Beliau hanya bilang, ”Lha wong aku seneng Masyumi kok. Sing seneng NU yo babah ae”, (Lha
saya senang Masyumi kok, yang senang NU ya biar saja.)
Sekarang barulah saya sadar bahwa sekalipun nenek saya orang
desa yang hanya bisa mengaji, beliau cerdas dan memiliki pandangan hidup
bermasyarakat yang dalam sekali.
Suatu hari ketika saya akan berangkat melanjutkan sekolah di
Yogya, nenek banyak sekali berpesan. Baru kali itu nenek banyak bicara,
banyak sekali. Di antara pesannya yang saya ingat adalah, ”jangan pernah meninggalkan shalat lima
waktu, jangan suka mempermainkan anak gadis orang, ojo dahwen, panasten,
drengki srei, gampang nesu, sombong”. Dan, yang terakhir adalah lakum diinukum waliyadiin–bagimu
agamamu dan bagiku agamaku.
”Lee, nek koen
ora gelem dipeksa ngrengkuhagama sing dudu Islam, koen yo ojo meksa wong liya
ngrengkuh agamane awake dhewe.”— ”Nak kalau kamu tidak mau dipaksa memeluk
agama selain Islam, kamu ya jangan memaksa orang lain memeluk agama kita.”
Saya yakin betul pesan seperti itu juga pernah disampaikan nenek
kepada saudara-saudara saya. Seperti halnya kakek, nenek punya kenalan yang
beragam. Kalau panen, nenek suka menjual buah salak kepada para pembeli warga
Tionghoa. Waktu saya kecil banyak sekali warga Tionghoa dari kota datang ke
rumah saya untuk membeli salak.
Sekarang kalau saya mendengar wacana tentang pentingnya
kerukunan antarumat beragama, perlunya dialog antariman, dan ungkapan-ungkapan
lain semacam itu, saya selalu ingat nenek saya. Saya sangat bangga kepada
beliau yang selama hidupnya pontang-panting bekerja agar bisa membesarkan dan
menyekolahkan cucu-cucunya.Ke kebun, ke sawah, jual kelapa, jual mangga, jual
sawo, dan jual bambu (kebetulan kami memiliki sedikit kebun bambu) untuk
menghidupi kami.
Akan tetapi, bagi saya sekarang, warisan paling berharga dari
nenek adalah ajarannya tentangtoleransi antarsesama. Meskipun nenek saya
hanya orang desa yang benar-benar ndesit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar