Natal Politik Cinta
Yudi Latif ; Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila,
Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
29 Desember 2015
Kemunculan pemerintahan Joko Widodo dan M Jusuf Kalla ditandai
oleh kegairahan musim semi kesukarelaan yang membangkitkan harapan. Setelah
sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin
yang saat pemilihan dipandang relatif otentik mengembalikan darah segar ke
jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh tubuh
kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang digerakkan simpul-simpul
relawan yang tersebar di seluruh negeri. Tanpa menunggu komando dan janji
imbalan, simpul-simpul relawan ini bergerak serempak, mengatasi keterbatasan
logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja, Indonesia disapu
gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.
Fenomena tersebut menunjukkan sumber utama pesimisme dan
apatisme publik terhadap politik di negeri ini tidaklah terletak pada
"sisi permintaan" (demand-side)
seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat,
pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak
pada kelemahan "sisi penawaran" (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk
membangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat
dipercaya, kegairahan warga untuk terlibat secara politik kembali menguat.
Sayang sekali, bulan madu musim semi pengharapan itu cepat
berlalu. "Pembajakan" kekuasaan oleh kekuatan oportunistik dan
investor politik serta pertikaian berkepanjangan antarkubu politik, yang
menyeret konflik internal dalam lingkaran dalam kekuasaan, meniupkan udara
panas ke jantung politik. Mendapati petinggi politik dengan jiwa kenegarawanan
yang kering, udara panas itu pun cepat membakar ranting jiwa kering,
menimbulkan kebakaran di berbagai lini dengan menyisakan asap tebal di langit
kekuasaan.
Ketika pusat kuasa diliputi kekeringan dan asap tebal yang sulit
dipadamkan, sandaran terakhir yang kita nantikan adalah kedatangan musim
hujan penyegaran. Perayaan Hari Natal bersamaan kembalinya musim hujan semoga
bisa membawa hadiah keberkatan bagi bangsa ini. "Natal tidaklah menjadi
Natal tanpa sesuatu hadiah," tulis novelis Louisa May Alcott. Dan tiada
hadiah lebih berharga daripada cinta. Ia obat bagi yang sakit, lilin bagi
kegelapan, harapan bagi kebuntuan.
Kebanyakan penyakit ditimbulkan oleh kalbu yang kusut. Kekusutan
jiwa dihantarkan ke dalam tubuh, menimbulkan ketegangan antara hati yang
sakit serta tubuh yang sehat, berujung pada kerontokan. Obat yang paling
mujarab untuk sakit mental, menurut Sigmund Freud, adalah cinta. Sedemikian
kuatnya daya kuratif cinta sehingga Freud memandang "psikoanalisis pada
hakikatnya merupakan pengobatan lewat cinta".
Cinta menimbulkan banyak perbedaan. Orang yang bangkit dari
keterpurukan kerap menuding kasih orangtua atau gurulah yang memotivasi untuk
berubah positif. Secara historis, Christian compassion yang mendorong
"Politik Etis" di masa kolonial menghadirkan jalan cinta sebagai
koreksi terhadap ketamakan rezim liberalisme. Jalan cinta inilah yang membuka
jalan pembebasan Indonesia.
Cinta jualah yang menjadi dasar mengada dan menumbuhkan
negara-bangsa Indonesia. Bung Hatta mengingatkan, "Indonesia luas
tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya." Pemerintahan negara
semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab
yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab
itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih
dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.
Atas dasar itu, Bung Karno pernah menyesalkan pudarnya jiwa
cinta kerakyatan para pemimpin kita. "Berapa orangkah dari alam pemimpin
Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar 'rakyati' seperti dulu, masih
benar-benar 'volks' seperti dulu?" Padahal, menurut Bung Karno,
"Dulu itu kita semua adalah 'rakyati', dulu itu kita semua adalah
'volks'. Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat.
Segala pikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan
rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu ialah satu masyarakat adil dan makmur
bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat dulu
kita pakai sebagai alat perjoangan. Segenap kekuatan perjoangan kita dulu itu
adalah kekuatan rakyat."
Beruntunglah, di tengah kemarau cinta di aras kekuasaan politik,
kita masih menyaksikan ketahanan daya cinta di masyarakat. Di tengah
cengkeraman korupsi, kekerasan, dan mafioso, negeri ini masih menyimpan
banyak pejuang cinta tanpa pamrih, yang dengan kekuatan cintanya mampu
menyirami bumi yang kering, merenda kembali dunia yang terkoyak. Bahkan
Indonesia dinilai sebagai negara yang paling kreatif dalam menggunakan media
sosial untuk gerakan sosial.
Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia
dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti
menginginkannya hidup. "Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan
teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan
mereka," ujar Lao Tzu.
Ujian cinta dibuktikan oleh pengorbanan, seperti Yesus yang siap
mengorbankan diri demi keselamatan warga bumi. Setiap Natal, saatnya mengisi
kembali baterai cinta, dengan menghidupkan jiwa pengorbanan, demi kebaikan
dan kesuburan negeri tercinta. "Cintailah satu sama lain," ujar
Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34). Nabi Muhammad menggemakan anjuran
ini dengan sabda, "Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai
belas kasih, saling mencintai serta berbagi kebaikan satu sama lain." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar