Sandiwara Politik Akhir 2015
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 Desember 2015
“Politisi selalu memikirkan pemilu
berikutnya, tetapi negarawan selalu memikirkan generasi berikutnya.” (James Freeman Clarke)
David
Blunkett, Menteri Dalam Negeri Inggris, mundur dari jabatannya, 15 Desember
2004. Dia lengser karena membantu mempercepat urusan visa pengasuh anak bekas
pacarnya. Meski cuma urusan visa, publik Inggris tidak bisa menerima.
Tindakan Blunkett termasuk penyalahgunaan jabatan. ”Sebagai manusia, sikap (mundur) Blunkett mendapat simpati. Tetapi,
sebagai politisi-negarawan, tidak sama sekali,” tulis The Telegraph
(16/12/2004).
Di banyak
negara, mundur dari jabatan merupakan bentuk pertanggungjawaban seorang
pemimpin atau pejabat. Bahkan di Jepang, seppuku
(bunuh diri) adalah bentuk pertanggungjawaban yang mentradisi. Namun, di
negeri ini, sikap mundur bukanlah kelaziman. Barangkali karena sejak kecil
masyarakat kita ditanamkan sikap ”pantang mundur”. Maka, mundurnya Direktur
Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito karena merasa gagal mengejar target
pajak tahun ini mestinya menjadi contoh bagi para politisi.
Ketaatan pada
nilai-nilai etik sesungguhnya akan menakar sampai di mana integritas seorang
manusia, terlebih mereka yang berstatus pemimpin atau pejabat negara. Maka,
sungguh sulit melihat mundurnya Ketua DPR Setya Novanto karena dorongan
kesadaran sebagai bentuk pertanggungjawaban etik dalam kasus ”papa minta
saham” PT Freeport Indonesia.
Andai sikap mundur
itu diambil sesaat setelah kasus ”papa minta saham” mencuat, barangkali
ceritanya akan lebih elok. Tetapi, Novanto memilih jalan beda dengan rakyat.
Langkah mundur itu diambil masa injury
time saat sidang diskors setelah 15 anggota Mahkamah Kehormatan Dewan—dari
17 orang—memutuskan Novanto bersalah melakukan pelanggaran etik, Rabu (16/12)
malam.
Suara rakyat
yang menghendaki Novanto mundur sejak awal tak digubris. Tak heran, banyak
pihak memandang sikap mundur Novanto menjadi jurus terakhir setelah berbagai
jurus tak mampu menghentikan suara rakyat. Jalan mundur tampaknya dilakukan
setelah posisinya tersudut di jalan buntu, setelah energi bangsa terkuras
luar biasa sebulan ini.
Bayangkan,
kasus ”papa minta saham” telah menimbulkan kegaduhan, seperti gempa tremor
yang tiada henti sepanjang hari. Urusan bangsa lainnya nyaris terbengkalai.
Runyamnya lagi, sidang-sidang MKD seperti menonton sandiwara politik akhir
tahun 2015. Untunglah banyak sidang terbuka sehingga rakyat bisa menyaksikan
langsung bagaimana galaknya ”Yang Mulia” mencecar pengadu dan saksi. Ada juga
sidang tertutup, tetapi itu menyangkut persoalan nyali saja.
Dan, pada
menit-menit menjelang sidang putusan MKD, Rabu lalu, anggota MKD yang sangat
kritis, yaitu Akbar Faizal, disingkirkan dari ruang sidang karena diadukan
membocorkan hasil sidang MKD oleh Ridwan Bae, juga anggota MKD. Sebaliknya,
tiga anggota MKD yang juga diadukan balik oleh Faizal karena hadir dalam
jumpa pers Luhut Pandjaitan, yaitu Ridwan Bae, Adies Kadir, Kahar Muzakir, tetap
berada di dalam ruang sidang.
Ketika rakyat
menuntut Novanto mundur, Golkar justru all-out
melakukan pembelaan. Sekarang malah diberi kursi Ketua Fraksi Partai Golkar.
Padahal, ”Yang Mulia” dari Golkar di sidang MKD telah menghukum Novanto
dengan sanksi pelanggaran berat. Melanggar, kok, dapat reward? Kita benar-benar dibuat gagal paham. Lalu, apa maksudnya
slogan ”suara Golkar, suara rakyat” itu?
Beginilah
apabila demokrasi lebih pada proses institusionalisasi, tetapi gagal
melakukan internalisasi pemahaman mendalam mengenai nilai-nilai demokrasi,
terutama pada pemain-pemain politik. Demokrasi sebatas prosedural dan
partisipasi (secara kuantitas), bukan substansial. Akhirnya demokrasi pun
cacat.
Maka,
menemukan politisi berintegritas yang tahu diri dan punya rasa malu seperti
mencari jarum di tumpukan jerami. Rasa malu menjadi alat ukur antara
kepatutan dan ketidakpatutan. Jika tak ada rasa malu, ibarat rem blong yang
tak bisa dikendalikan. Meskipun melakukan pelanggaran, santai saja
mengatasnamakan ”rakyat, bangsa, negara”. Huh!
The Washington Post, sekitar dua tahun lalu, membuat polling: apakah politisi sekarang
hidup dengan integritas dan intelegensi seperti para pendiri bangsa? Sebagian
besar responden (72 persen) menjawab ”tidak”, hanya 22 persen yang jawab
”iya”. Di Senayan, walau banyak politisi aneh, rasanya masih banyak yang
benar-benar mewakili rakyat. Mereka punya tugas berat: bersih-bersih di
Senayan, termasuk apabila hendak kocok ulang pimpinan DPR, menebarkan virus
kebaikan di rumah rakyat, dan mendengarkan suara rakyat. Sebab, rakyatlah
pemilik mandat sejati.
Dulu sejarah
dunia digerakkan orang-orang besar, seperti tesis sejarawan Thomas Carlyle
(1795-1881). Kini telah berubah. ”Orang-orang
kecillah yang mengubah sejarah. Bukan politisi atau orang-orang besar. Siapa
yang meruntuhkan tembok Berlin? Itu semua orang yang ada di jalanan,”
kata Luc Besson, sutradara film The
Lady (film tentang Aung San Suu Kyi).
Reformasi
1998 yang menumbangkan Presiden Soeharto juga gerakan rakyat dan mahasiswa.
Revolusi di Arab dan Afrika Utara yang menumbangkan penguasa-penguasa kuat
sekelas Presiden Hosni Mubarak juga gerakan rakyat. Jadi, para politisi
jangan berpaling dari rakyat jika tak ingin mereka bergerak kembali menduduki
Senayan seperti tahun 1998. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar