Tantangan Perekonomian 2016
Iman Sugema
; Ekonom IPB
|
REPUBLIKA,
28 Desember 2015
Ada beberapa tantangan perekonomian yang harus dihadapi dan
dicarikan pemecahannya oleh pemerintah. Situasi perekonomian global belum
menampakkan perbaikan yang signifikan, terutama ditandai dengan masih
melambatnya perekonomian Cina, kenaikan suku bunga the Fed, masih rendahnya
harga komoditas, perubahan geopolitik global, dan ancaman terorisme.
Di sisi perekonomian nasional, permasalahan yang cukup berat
adalah beban defisit neraca pembayaran yang akan terus berlanjut, beban utang
luar negeri, defisit anggaran yang semakin lebar, serapan anggaran yang masih
rendah, dan pembangunan infrastruktur yang masih perlu dipercepat. Mari kita
bahas satu persatu.
Perekonomian Cina tampaknya masih akan mengalami perlambatan.
Masalahnya adalah ekonomi dunia masih terlalu banyak bergantung pada
pertumbuhan Negeri Tirai Bambu tersebut. Secara tidak langsung, kita akan
menerima dampaknya dari dua sisi.
Karena Cina merupakan lokomotif perekonomian global, dengan
sendirinya perlambatan ekonomi Cina diterjemahkan menjadi perlambatan ekonomi
global. Dengan demikian, kita tidak bisa berharap banyak bahwa permintaan
ekspor akan mulai pulih.
Kalaupun beruntung, permintaan ekspor minimal tidak melambat. Di
lain pihak, Cina akan berusaha sekeras-kerasnya untuk memacu ekspornya,
terutama ke negara-negara yang masih mengalami pertumbuhan cukup baik seperti
Indonesia dan India.
Persaingan dengan produk-produk dari Cina akan semakin brutal.
Politik dumping akan semakin marak, terutama untuk produk besi dan
elektronika.
Tantangan global yang kedua adalah kenaikan suku bunga the Fed
yang sampai akhir tahun 2016 diperkirakan akan mencapai dua persen atau enam
kali kenaikan. Angka dua persen memang rendah buat ukuran perekonomian
Indonesia.
Tetapi, untuk standar perekonomian Amerika Serikat yang masih
tertatih-tatih, hal tersebut merupakan pukulan yang cukup telak. Dengan
kecenderungan ini hampir bisa dipastikan bahwa perekonomian global akan terus
mengalami perlambatan.
Dampak langsung yang mungkin sangat terasa adalah aliran dana
portofolio atau hot money yang arahnya semakin tidak pasti. Bisa jadi, aliran
dana internasional semakin sulit untuk didapat, dan kalaupun tersedia maka
biayanya akan semakin mahal.
Di lain pihak, kita masih membutuhkan dana tersebut terutama untuk
melakukan refinancing utang swasta. Jadi, minimal swasta nasional harus
menanggung beban pembiayaan yang semakin berat.
Permasalahan utang luar negeri swasta memang cukup pelik karena
sudah mencapai 168 miliar dolar dengan tenor kurang lebih satu tahun dan suku
bunga satu persen di atas Libor.
Masalahnya ada dua, yakni ketersediaan dana global untuk refinancing
dan suku bunga yang semakin mahal. Beban pembayaran bunga saja akan mencapai
6 miliar dolar setahun. Itu dengan catatan bahwa suku bunga the Fed akan
terus meningkat.
Dengan melambatnya perekonomian global maka harga komoditas juga
tidak akan cepat membaik. Sementara itu, ekspor kita banyak bergantung pada
ekspor komoditas primer seperti batu bara, mineral, gas, dan kelapa
sawit.
Di lain pihak, impor kita lebih banyak dalam bentuk barang
konsumsi dan barang modal yang harganya stabil. Secara neto, hal ini tentunya
akan memberatkan neraca perdagangan. Sudah waktunya kita menggenjot ekspor
produk akhir supaya penerimaan ekspor tidak terlalu bergantung pada fluktuasi
harga.
Hilirisasi produk-produk mineral dan perkebunan harus
dipercepat. Tetapi ini sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur
listrik dan pelabuhan. Tampaknya pembangunan kedua infrastruktur tersebut
harus lebih dipercepat lagi. Kita
tidak lagi bisa menunggu. Serapan dana
infrastruktur dan ketersediaan pembiayaan dalam negeri harus cepat
dipecahkan.
Perkembangan neraca pembayaran selama tahun 2015 menunjukan
gejala anomali. Di satu sisi, neraca perdagangan semakin membaik, tetapi di
lain pihak arus modal jangka pendek semakin sulit untuk didapatkan.
Karena neraca transaksi berjalan masih negatif sejak tahun 2012,
perekonomian menjadi sangat kecanduan terhadap aliran hot money. Stabilitas makro dalam jangka pendek ini akan sangat
bergantung pada deras-tidaknya hot
money.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, aliran modal ini semakin sulit
diharapkan dalam situasi peningkatan suku bunga global. Jadi, alternatifnya
hanya satu, yakni meningkatkan ekspor dan menurunkan impor. Ini hanya bisa
ditebus dengan kerja keras untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri,
terutama melalui percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi
birokrasi.
Percepatan pembangunan infrastruktur tampaknya masih akan
mengalami hambatan, terutama karena ketersediaan anggaran dari APBN yang
sampai saat ini masih sangat seret.
Masalah utamanya adalah penerimaan dari pajak masih sangat rendah dan
masih harus menunggu waktu untuk bisa digenjot.
Sebagai catatan, dalam situasi pertumbuhan yang melambat maka
menjadi hampir tidak mungkin untuk bisa menggenjot penerimaan pajak.
Implikasinya, peningkatan anggaran infrastruktur harus ditempuh dengan cara
realokasi anggaran dari hal-hal yang kurang perlu.
Belanja barang dan jasa tampaknya harus kita tekan
habis-habisan. Tidaklah masuk akal manakala harga barang dan jasa yang
dibayar oleh pemerintah 50 persen lebih mahal dari harga pasar. Itu berarti
reformasi birokrasi merupakan sebuah keharusan.
Tentunya dengan situasi yang cukup pelik ini tidaklah perlu
menjadi pesimistis. Situasi yang sulit biasanya merupakan saat yang tepat
untuk berbenah. Kita yakin hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah. Semoga hal
itu bisa menjadi kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar