NIIS ke Panggung Global
MH Samsul Hadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2015
Rentetan
teror Negara Islam di Irak dan Suriah melanda dunia sepanjang 2015. Tahun
ini, milisi ekstrem itu go
international. Ada perubahan strategi teror mereka, yang harus ditangani
lebih waspada.
Setelah
mendeklarasikan kekhalifahan Islam dengan area teritorial di sebagian wilayah
Irak dan Suriah, akhir Juni 2014, milisi Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) telah digempur tidak kurang dari 8.900 kali oleh koalisi negara Barat
dan Arab pimpinan Amerika Serikat (AS). Ditambah serangan Rusia sejak 30
September lalu, jumlah gempuran terhadap mereka tentu lebih banyak lagi.
Serangan-serangan
itu bisa membatasi kemampuan NIIS menggunakan taktik militer konvensional.
Dengan taktik ini, pada pertengahan 2014, mereka merebut wilayah luas di Irak
dan Suriah. Berkat gempuran koalisi Barat dan Rusia, pergerakan ekspansi NIIS
terbatas. Dalam skala tertentu, mereka terdesak.
Namun, itu
bukan berarti aksi teror dan napas kelompok ekstrem itu terhenti. NIIS masih
memiliki daya pikat bagi warga dan milisi asing untuk bergabung ke Suriah.
Selain itu, di tengah gempuran masif koalisi Barat dan Rusia, NIIS
mengalihkan fokus: dari memperluas teritorial jadi teror kepada "musuh-musuh
di kejauhan".
Serangan
teror di Paris yang menelan korban 130 orang tewas, 13 November lalu, seolah
membangunkan dunia soal adanya perubahan strategi teror NIIS. Dunia
sebenarnya telah diingatkan tentang rencana perubahan strategi teror itu ketika
juru bicara NIIS Abu Muhammad al-Adnani menyampaikan seruan kepada pengikut
dan simpatisan NIIS agar menyerang AS dan para partnernya di mana pun berada.
Seruan itu
diumumkan pada 22 September 2014, sebulan setelah NIIS kehilangan kontrol
atas Bendungan Mosul, Irak. Untuk misi itu, NIIS membentuk unit operasi luar
negeri yang diduga di bawah supervisi Adnani. Abdelhamid Abaaoud, otak
serangan teror di Paris, diperkirakan anggota pertama unit itu.
Sebelum
serangan di Paris, tahun 2015 teror NIIS telah merambah sejumlah kota di
negara-negara di luar Irak dan Suriah. Serangan di Sousse dan Tunis, Tunisia,
menyebabkan 57 orang tewas; Sana'a, Yaman (137 tewas); Qatif, Arab Saudi (21
tewas); Kuwait City, Kuwait (27 tewas); Suruc dan Ankara, Turki (130 tewas);
Beirut, Lebanon (43 tewas), dan serangan terhadap pesawat komersial Rusia,
Metrojet, yang bertolak dari Sharm el-Sheikh, Mesir (224 tewas).
Jika
penembakan massal (14 tewas) pasangan suami-istri Syed Rizwan Farook dan
Tashfeen Malik di San Bernardino, California, 2 Desember, ditambahkan, teror
simpatisan NIIS itu telah merambah AS. Dari penyelidikan sementara, serangan
itu tak terkait langsung NIIS. Namun, dalam akun Facebook mereka, pasangan
Farook-Malik menyatakan sumpah kesetiaan kepada NIIS.
Dalam studi
yang dimuat jurnal Perspectives on
Terrorism, Agustus 2015, Thomas Hegghammer dan Petter Nesser
memperlihatkan adanya peningkatan serangan NIIS di negara-negara Barat pasca
seruan Adnani. Keduanya mencatat 30 plot serangan terkait NIIS, 26 di
antaranya sepanjang Juli 2014 hingga Juni 2015.
Menarik
dicermati, serangan NIIS di luar sarangnya (Irak dan Suriah) lebih banyak
terjadi pasca serangan udara koalisi Barat dan Rusia. "Berputar-putar
tanpa arah dan mengirim lebih banyak pengebom (ke Suriah dan Irak) tidak
menyelesaikan masalah. Itu bahkan membuat situasi sedikit lebih buruk,"
kata Richard Barrett, mantan Kepala Operasi Kontra-Terorisme Global Inggris
yang kini wakil presiden kelompok think tank di New York, Soufan Group (AFP,
20/12).
Masih bertahan
Sejarah
kemunculan NIIS berakar pada langkah aktivis militan Jordania, Abu Musab
al-Zarqawi, selepas dibebaskan dari penjara di Jordania pada 1999. Dari kamp
pelatihan di Provinsi Kandahar, Afganistan, yang dia dirikan dengan pinjaman
200.000 dollar AS (Rp 2,4 miliar) dari Al Qaeda, organisasi Zarqawi
berkembang mengiringi konflik dan kekacauan di negara tempat gerakan itu
bercokol hingga berbuah deklarasi kekhalifahan Islam dengan penetapan Abu
Bakr al-Baghdadi sebagai khalifahnya, 29 Juni 2014.
Sejak deklarasi
kekhalifahan itu, Barat berusaha menangkal NIIS dengan bertopang pada tiga
pilar. Pertama, serangan udara untuk menahan perkembangan NIIS dalam jangka
pendek; kedua, kolaborasi dengan partner kelompok bersenjata lokal untuk
penghancuran jangka menengah; dan ketiga, reformasi politik melalui
rekonsiliasi dan demokratisasi untuk pencegahan jangka menengah dan panjang
(Omar Ashour, BBC, 14/12/2015).
Terkait
serangan udara, AS menggalang koalisi negara-negara Barat plus Arab dan telah
melancarkan serangan udara pada target NIIS di Suriah sejak 22 September
2014. Menurut data Departemen Pertahanan AS per 16 Desember 2015, serangan
koalisi itu mencapai 8.912 kali-sebanyak 6.934 serangan digelar AS-dengan
perincian 5.856 serangan pada target NIIS di Irak dan 3.056 serangan di
Suriah.
Mulai 30
September, atas permintaan Damaskus, Rusia juga menggelar intervensi militer
di Suriah. Pertanyaannya, mengapa NIIS masih bisa bertahan setelah hampir 1,5
tahun digempur bertubi-tubi oleh koalisi Barat plus Rusia?
Atau singkat
kata, mengapa NIIS belum bisa dikalahkan? Bahkan, berdasarkan riset Soufan
Group, per Desember 2015, NIIS masih memiliki daya magnet untuk menarik warga
dan pejuang asing ke Suriah. Jumlah warga dan pejuang asing itu, demikian
hasil riset itu, lebih dari berlipat ganda jika dibandingkan saat NIIS
mendeklarasikan kekhalifahan: dari sekitar 12.000 pejuang asing pada Juni
2014 menjadi 27.000-31.000 pejuang asing dari sedikitnya 86 negara pada saat
ini.
Dana NIIS
juga masih kokoh. Dalam sidang Dewan Keamanan (DK) PBB, Kamis lalu, Menteri
Keuangan AS Jack Lew mengungkapkan, setiap tahun NIIS diperkirakan meraup 500
juta dollar AS (Rp 6,9 triliun) dari penjualan minyak di pasar gelap, 250
juta dollar AS (Rp 3,4 triliun) dari penjualan fosfat, 200 juta dollar AS (Rp
2,7 triliun) dari penjualan gandum, dan 100 juta dollar AS (Rp 1,3 triliun)
dari penjualan semen. NIIS mengalokasikan 30 juta dollar AS (Rp 418 miliar)
per bulan untuk membeli senjata dan amunisi.
Mengenai
serangan udara militer asing kepada NIIS, terutama dalam kasus Suriah, sejak
awal telah disadari keterbatasannya. Tanpa pasukan darat, sulit operasi udara
itu melumpuhkan kekuatan militer NIIS. Bukan rahasia lagi, NIIS
menyembunyikan aset militer di permukiman warga sipil untuk berlindung dari
serangan udara koalisi Barat-Arab dan Rusia.
Selain itu,
dalam kasus Suriah, intervensi militer koalisi Barat-Arab dan Rusia
"ditunggangi" kepentingan politik masing-masing yang saling
bertabrakan. Koalisi Barat-Arab menargetkan tumbangnya rezim Bashar al-Assad,
sedangkan Rusia-didukung Iran-berusaha mempertahankan Assad.
Di tengah
silang sengkarut kepentingan dan kekacauan semacam itu, NIIS memainkan
strategi. Namun, sadar posisinya di Suriah terdesak, mereka melebarkan sayap
di Libya sebagai antisipasi jika kolaps di Suriah dan Irak. Kesepakatan dua
kelompok yang bertikai di negeri itu untuk membentuk pemerintahan bersatu
jelas menggembirakan, antara lain untuk menangkal ekspansi NIIS di Libya
Lebih berbahaya
Perang
melawan NIIS diperkirakan masih bakal berlangsung lama. Pekan lalu, Arab
Saudi mengumumkan pembentukan koalisi militer Islam melawan organisasi
teroris, termasuk NIIS, dengan klaim berkekuatan 34 negara Muslim. Beberapa
negara, termasuk Indonesia, komplain atas "tindakan main catut" Arab
Saudi dan menegaskan tidak masuk koalisi tersebut.
Di tengah
persaingan AS-Rusia, koalisi itu justru bisa menambah silang sengkarut
konflik yang ada. Dalam laporan terbarunya, Desember ini, Soufan Group
mengingatkan komunitas internasional, ancaman NIIS di masa depan bakal kian
sulit dihadapi. "Meski NIIS sedang jadi organisasi gagal dengan
kemerosotan perlahan, mereka mampu memengaruhi aksi pengikutnya dan bakal
lebih berbahaya saat (organisasi) itu mati," tulis Soufan Group.
Indonesia,
negara dengan 700-800 warganya bergabung di NIIS, tak luput dari ancaman itu.
Tahun 2015, sedikitnya dua kali polisi menangkap dan membongkar jaringan NIIS
yang merencanakan serangan bom di Tanah Air. Rencana serangan bom itu
digagalkan polisi jelang peringatan HUT Kemerdekaan RI, Agustus. Minggu lalu,
polisi kembali menangkap jaringan NIIS yang-menurut dokumen yang didapat
kantor berita AFP-merencanakan bom bunuh diri di Jakarta saat pergantian
tahun nanti.
Walhasil,
NIIS mungkin sedang goyah di Irak dan Suriah. Namun, saat-saat seperti ini,
dunia justru harus lebih waspada dan ekstra hati-hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar