Yang Kiri, yang tanpa Ajektif
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
KORAN
TEMPO, 21 Desember 2015
—
penghormatan untuk Benedict Anderson (1936-2015)
Di awal musim dingin 1956, ketika
Ben Anderson berumur 20 tahun, sesuatu terjadi—sesuatu yang mengarahkan jalan
hidupnya.
Hari itu di kampus Universitas
Cambridge sejumlah mahasiswa India dan Sri Lanka menyuarakan protes yang
berapi-api. Ben, mahasiswa tahun terakhir Jurusan Klasik, ikut mendengarkan.
Tapi tiba-tiba sebarisan laki-laki Inggris menyanyikan God Save the Queen dan
menyerbu. Mereka merangsek dan memukuli mahasiswa-mahasiswa kurus berkulit
warna gelap yang sedang unjuk rasa itu. Ben mencoba melerai. Tapi anak muda
Irlandia yang rabun dan tak berotot itu kena tonjok. Kacamatanya jatuh, dan
sejumlah kaki menghancurkannya. "Aku belum pernah semarah itu seumur
hidupku," ceritanya kemudian.
Marah itu awal kebangkitan
politik. Para mahasiswa Asia itu sedang memprotes agresi pasukan Israel,
Inggris, dan Prancis ke Mesir di awal November 1956. Ketiga negara itu
berkomplot hendak menjatuhkan Presiden Nasser yang mengambil alih Terusan
Suez, wilayah Mesir yang semula dikuasai Inggris. Akhirnya usaha para agresor
itu gagal, tapi Ben telah menyaksikan bagaimana kekuatan, kekuasaan, dan
kebuasan saling merapat. Yang lemah, yang tak masuk hitungan, mungkin sia-sia
melawan, tapi akan lebih sia-sia bila diam.
Kesadaran politik itu, "my
moment", tulisnya, makin mendalam di tengah haru-biru dekolonisasi di
bekas-bekas jajahan di Asia dan Afrika.
Dengan itu Ben, yang lulus dengan
gemilang dari Cambridge, melanjutkan belajar ke Amerika, ke Universitas
Cornell. Ia tertarik pada Indonesia. Waktu itu, kata Ben, awal 1958, di
Indonesia "unsur-unsur sayap kanan dengan dibantu CIA" hampir
berhasil melawan seorang presiden "sayap kiri", Sukarno. Tentu saja
bila dilihat dari dekat, pembangkangan PRRI di Sumatera dan Permesta di
Sulawesi itu akan tampak tak sesederhana itu; tapi yang penting adalah apa
yang menggerakkan Ben. Ia, yang pernah kuliah pada sejarawan Marxis, Eric
Hobsbawm, hendak menegaskan dan merumuskan amarah di lapangan kampus
Cambridge itu: amarah anti-kolonialisme, protes kepada tata yang mengukuhkan
ketidaksetaraan.
Ia datang ke Indonesia. Selama dua
tahun, 1962-1964, ia menelaah, mengumpulkan bahan riset, dan hidup
"dengan bahagia di Indonesia yang kacau". Ketika itulah teman saya,
Soe Hok Gie, adik sahabat saya, Arief Budiman, mengajak saya menemui anak
muda dari Universitas Cornell itu. Kami berkenalan. Saya duduk di sebelah Ben
di tepi sebuah jalan di Menteng, Jakarta. Dengan Onghokham. Makan durian.
* * * *
Di Indonesia, tentang Indonesia,
Ben menelaah banyak hal, yang kelak akan menghasilkan karya-karya cemerlang
yang begitu orisinal hingga memikat—dan kadang-kadang tak meyakinkan.
Terutama karena, pada tahap awal, pandangannya adalah pandangan seseorang
yang terkesima. Dalam blusukannya dengan Onghokham, yang waktu itu masih
mahasiswa sejarah, ia ikut "terseret" (ini pengakuannya) keasyikan
bersama "candi, gamelan, wayang, pertunjukan rakyat desa, dongeng, sopan
santun, batik...". Ia akrabi hal-hal yang dianggapnya unik, tak lazim
buat (dan sebab itu tak tertangkap oleh) sudut pandang yang berlaku.
Ketika ia menulis The Idea of Power in Javanese Culture,
misalnya, ia coba tunjukkan sesuatu yang tak dilihat para ilmuwan lain:
adanya pemahaman yang berbeda antara orang "Barat" dan orang Jawa
tentang "power". Tentu
saja ini sangat menarik—meskipun bagi saya sejak mula meragukan. Bagi saya,
Ben Anderson membandingkan dua hal yang sulit dibandingkan: ia sendiri
mengakui ia tak menemukan kata Jawa yang sepadan dengan istilah power sebagaimana yang ia maksudkan.
Saya, yang berbahasa Jawa, juga
tak menemukannya. Maka untuk praktisnya saya sebut saja itu "X".
Dalam bahasa politik Indonesia, power
berarti "kekuasaan"; tapi itu juga tak pas dengan "X"
yang diuraikan Ben. "Kekuasaan" adalah konsep yang
"relasional", menyiratkan hubungan antara subyek dan obyek, antara
orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai, sedangkan "X" bukan. "X"
bisa disebutkan tanpa ada hubungannya dengan orang lain—seperti ketika
"X" terpancar pada teja
yang tampak di wajah seseorang yang terpilih. Walhasil, "X", atau
"power-bagi-orang-Jawa", benda yang unik. Ia mempesona—tapi tanpa
sejarah, tanpa politik.
The
Idea of Power,
yang membuat politik "orang Jawa" tampak misterius dan eksotis,
terbit pada 1972. Kini, hampir setengah abad kemudian, thesis buku ini bisa
dianggap "esensialis": mendasarkan diri pada pandangan bahwa ada
esensi "Jawa" yang tak berubah, tak digerakkan sejarah.
Ben Anderson memang tak
menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan "Jawa". Dalam
administrasi kependudukan kolonial, yang hingga kini dilanjutkan dengan
membabi-buta, "Jawa" adalah satuan demografis yang disederhanakan
dengan mengabaikan keragaman mereka yang hidup antara batas Jawa Barat dan
Jawa Timur—dan tentu saja mengabaikan konflik dan pergulatan hegemoni di
dalamnya. Tak hanya itu: pengertian yang mengacu pada "sebuah amalgam
yang unik" (menurut Ben) yang disebut "Jawa" itu sebenarnya
representasi "cara Jawi" yang, sebagaimana ditunjukkan John
Pemberton dalam On the Subject of
'Java' (terbit 1994), baru tersusun pada pertengahan 1800-an. Cara Jawi
hadir sejak kerajaan-kerajaan Jawa Tengah terdesak "Kompeni",
sebagai strategi keraton, dalam hal ini Surakarta, untuk mengukuhkan diri
dengan membangun ritual yang bagi orang luar, bagi orang Belanda, nyaris tak
tertembus.
Seandainya Ben melihat
"Jawa" sebagai sesuatu yang historis, terbentuk dan berubah oleh
sejarah, saya kira ia tak akan menulis The
Idea of Power.
Tapi dua hal kemudian
melepaskannya dari pesona awal. Yang pertama kekejaman di sekitar Oktober
1965: ribuan orang yang dianggap PKI dibantai dengan bengis—kebuasan yang
menyebabkan sahabatnya, Onghokham, mengalami trauma, dan kemudian mencoba,
dengan jadi penenggak alkohol, menghapuskan mimpi buruk tentang deretan mayat
berdarah di sepanjang jalanan Jawa Timur yang pernah disaksikannya. Bagi Ben,
mendengar pembantaian massal di negeri yang menambat hatinya itu seperti
diberi tahu bahwa saudara kandungnya pembunuh.
Ia ikut menyusun naskah akademik
yang kemudian terkenal sebagai Cornell Paper, yang mencoba menunjukkan bahwa "Peristiwa G-30-S" bukan kudeta, bukan
rancangan PKI, melainkan konflik di dalam Angkatan Darat—dan bahwa Soeharto
terlibat, langsung atau tak langsung. Harus diakui kesimpulan itu
dibuat tergesa-gesa, ketika bahan belum memadai. Tapi pemerintah "Orde
Baru" tak tambah meyakinkannya ketika dengan cara kasar dan pengecut
melarangnya masuk ke Indonesia, sejak 1972 sampai setelah Soeharto jatuh.
Hal kedua yang mengubah
perspektifnya adalah Perry, adik kandung yang ia sebut adik secara biologis
tapi kakak secara intelektual. Anderson yang lebih muda ini sejarawan
terkemuka yang memimpin New Left Review,
dan dialah, kata Ben dengan sedikit melucu, yang meyakinkannya "bahwa... orang Indonesia bukan
makhluk yang unik, melainkan bagian dari spesies manusia".
Sebagaimana halnya manusia lain, tak ada sifat-sifat makhluk ini yang tak
berubah sepanjang riwayatnya. Ben, yang selama 27 tahun tak pernah melihat
Indonesia dari dekat, punya kesempatan mengambil jarak. Ia misalnya bisa
melihat bahwa tradisi Jawa sebenarnya sebuah konstruksi di abad modern. Ia
pun cenderung lebih peka kepada peran gerak sejarah dalam pembentukan ide dan
wacana. Ia menulis Imagined Communities-nya
yang termasyhur itu sebagai usaha mengkombinasikan "sejenis materialisme
sejarah" dengan apa yang kemudian disebut discourse analysis.
Dengan perspektif Marxisme itu
(digabungkan dengan "postmodernisme" sebelum kata itu ditemukan,
kata Ben) ia tunjukkan wacana nasionalisme di tempat-tempat yang berjauhan
dan dalam kronologi yang berbeda.
Yang sering orang luput ketika
membaca Imagined Communities adalah
elemen universal dalam pelbagai nasionalisme itu. Bukan teknologi dan modal
dalam "kapitalisme cetak", bukan jejak universalitas yang terputus
dari agama-agama, melainkan (saya sebut ini dengan sedikit bergurau)
"marahku-di-kampus-Cambridge". Bung Karno akan mengumpamakannya
dengan pemberontakan seekor cacing, sekalipun hanya cacing, yang diinjak.
Tanpa orang ramai yang menolak keadaan, "kapitalisme cetak" tak akan
punya dampak. Rancière akan menyebutnya sebagai "subyektivasi
politik": kemampuan memproduksi "polemik" yang mengungkapkan
kontradiksi antara para penjaga tatanan (la police) dan politik (la
politique). Adapun "politik" di sini berarti aksi-aksi mengguncang
tatanan itu, le partage du sensible itu, agar mereka yang tak masuk hitungan
hadir, yang membisu berbicara, yang disisihkan tampil, yang digelapkan
muncul.
* * * *
Di masa kecilnya, Ben Anderson gemar
membaca cerita-cerita Sherlock Holmes. Yang selalu diingatnya adalah pesan
sang detektif: dalam meneliti satu kasus, tak cukup hanya menganalisis barang
bukti yang ada. "Seorang detektif harus mengetahui ada yang absen, yang
tak terlihat."
Mungkin itu sebabnya Ben cenderung
menyorot ke arah "yang absen, yang tak terlihat". Sementara
sebelumnya orang menulis sejarah nasionalisme dari ide-ide dan perang
antar-penguasa, Ben melihatnya (sesuai dengan perspektif materialisme
sejarah) pada lembar surat kabar harian, pada hubungan percetakan, pasar,
modal, dan bahasa; atau pada sensus, museum, peta, dan makam pahlawan tak
dikenal.
Ben sendiri memang cenderung
tertarik pada yang sehari-hari di jalanan ("'polytheism' of scattered practices", kata De
Certeau), yang praktis tak tampak dari atas karena bukan yang adiluhung dan
tak diadiluhungkan.
Ia akrab dengan Pipit Rochijat,
aktivis mahasiswa Indonesia di Jerman yang sejak 1980-an dikenal sebagai
pembuat kisah wayang sebagai parodi yang tajam tentang Rezim Soeharto—dengan
akibat tak bisa pulang ke Tanah Air. Pipit memang memilih berada di luar garis
apa pun. Berandal dalam pikiran, suka meledek, menulis dengan bahasa
Indonesia yang eksentrik, émigré Indonesia di Berlin yang kreatif ini dengan
segera menarik hati Ben. Surat-surat Ben kepadanya (Pipit mengizinkan saya
membacanya) memperlihatkan sisi lain penulis The Idea of Power: bukan sebagai ilmuwan yang termasyhur karena
wawasannya yang impresif dan prosanya yang memukau, melainkan sebagai Ben
yang selalu muda, suka bercanda dengan omongan yang mbeling, kurang ajar,
sarkastis, tidak "baik-dan-benar".
Saya petik surat di awal 1985:
"Belum tahu, ya, kalian, bahwa ogut sudah naik pangkat, eh pantat, jadi
masih kuat bertanding dengan B.M., Bahaya Maut itu!" Ia memakai kata
"ogut" dari pergaulan remaja Jakarta; ia mencemooh militer dengan
menyebut dirinya "Kolonel" dan menyebut Pipit "Overste"
(lebih sering, "Sersan"); ia menyamakan "pangkat" dengan
"pantat", dan ia mengolok-olok Jenderal Benny Moerdani
("B.M.") sebagai "Bahaya Maut".
Dalam sebuah tulisan yang tak
dimuat, yang juga dikirimkan ke Pipit, Ben memaparkan kontras antara Taman
Pahlawan, yang berisi nama besar dan pangkat besar, dan kuburan orang-orang
yang disebut "djago", pendekar tanpa hierarki. "Majat mereka
sulit diselipkan kedalam Taman Pahlawan, jang dinas imigrasinja tjukup
ketat," tulis Ben dalam ejaan pra-Orba. Nama para "djago" itu
juga tak pernah muncul di papan nama jalan. Tapi sementara Taman Pahlawan
cuma diziarahi "klompok resmi dan pada waktu jang ditentukan oleh pihak
jang berwadjib", para "djago" yang terkubur di kampung-kampung
hidup dalam pelbagai bentuk ingatan kolektif, dalam puisi dan teater rakyat.
Dengan menunjukkan kontras itu,
kita tahu di mana hati Ben terarah.
Sadar atau tak sadar, ada benang
merah antara bahasa olok-olok yang mencemooh para jenderal dan
"marah-di-kampus-Cambridge" 1956. Langsung atau tak langsung, ada
kontinuitas antara pemihakan kepada yang tak resmi, yang tak terhormat, dan la politique, aksi yang mengguncang
tatanan yang melembagakan pembagian itu.
Bangsa, sebagai "masyarakat
yang dianggit", memang bisa terbentuk jadi tatanan yang resmi dan
represif. Tapi proses imagining dalam sejarah nasionalisme yang dipaparkan
Ben Anderson adalah bagian dari dialektika sejarah, selamanya berlangsung
dengan antagonisme: pembangkangan terhadap status quo.
Maka siapa yang tak melihat gerak
radikal la politique dalam proses terjadinya bangsa akan keliru membaca
thesis Kiri Ben Anderson—dan akan tak bisa pula mengenali rasa anarkisme
dalam perspektif nasionalismenya. Di Bawah Tiga Bendera, yang versi Indonesianya
diperkenalkan hanya beberapa hari sebelum ia meninggal, sebenarnya sebuah
statemen "anarkisme tanpa ajektif", untuk memakai rumusan Fernando
Tarrida del Mármol, tokoh Kiri yang perjuangannya diceritakan Ben dengan
memikat. Di akhir buku itu Ben bercerita bagaimana di sebuah rapat para
aktivis di Manila ia membacakan selembar pamflet yang tak ditandatangani
siapa pun: Organize Without Leaders! Dan ia membacanya dengan senang.
Di situlah Ben Anderson tak ada
duanya: Marxis yang tak pernah mengutip teori, ilmuwan progresif yang tak
pernah mengenakan label. Kelebihannya tidak hanya pada thesis-thesisnya yang
membuat kita berpikir, tapi juga pada kesetiaannya kepada kemarahan di kampus
Cambridge, 1956. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar