Hanya Komisi ”Pencegahan” Korupsi?
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2015
Catatan
sejarah pemberantasan korupsi di negeri yang korupsinya membeludak menuntut
ada institusi pemberantas yang kapabel, tepercaya, dan berani.
Tetapi,
belakangan ini idiom itu yang mestinya menjadi landasan KPK selaku institusi
khusus mulai dipatahkan. KPK jilid ketiga dituding hanya mengedepankan
penindakan ketimbang tugas lainnya seperti koordinasi, supervisi, pencegahan,
dan monitoring. Sepertinya kata ”kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang digaungkan dalam alinea kedua
Penjelasan Umum UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK) mulai dipinggirkan dari
wacana pemberantasan korupsi.
Juga, tidak
lagi memahami penegasan Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013
bahwa korupsi itu kejahatan luar biasa. Begitu pula, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) menyebut
korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
Saya setuju
lima tugas KPK dalam Pasal 6 UU KPK dilaksanakan secara sinergis. Tidak boleh
hanya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang membuat publik kagum
garagara menangkap pejabat negara sekelas menteri aktif, ketua umum partai
politik, anggota DPR, kepala daerah, dan pengusaha hitam yang berkelindan
dengan penyelenggara negara. Saya juga setuju KPK perlu diawasi institusi
lain agar tudingan pelanggaran HAM dalam penindakan tidak selalu dijadikan
titik pelemahan.
Penyadapan dan Pencegahan
Kalau KPK
didesain sekadar ”pencegahan” tanpa diiringi penindakan yang tegas seperti
selama ini, saya khawatir KPK berubah nama menjadi Komisi ”Pencegahan”
Korupsi. Lima pimpinan KPK yang dipilih DPR (17/12/2015) yang ingin lebih
mengefektifkan upaya pencegahan, dari satu sisi tentu diapresiasi.
Namun, jangan
mengabaikan penindakan yang awalnya didasari hasil penyadapan. Transaksi suap
dan gratifikasi di ruang-ruang gelap hanya bisa dideteksi dan diungkap dengan
penyadapan. Sebelum ada KPK, tidak pernah terdengar ada kasus suap dibawa ke
pengadilan. Kenapa begitu, karena penyidik polisi dan kejaksaan dibatasi
wewenang penyadapannya yang harus mendapat izin.
Selain proses
administrasinya rumit dan lamban, juga informasi penyadapan bisa bocor. Saya
juga setuju penyadapan KPK diperbaiki agar lebih efektif, tetapi tidak
dibonsai dengan proses administrasi. Penyadapan harus dilakukan dengan
memerhatikanetika, tidakmenyalindan merekam pembicaraan orang yang bersifat
pribadi yang tidak ada kaitannya dengan perkara.
Begitu pula
pencegahan KPK yang masih lemah, juga perlu ditingkatkan. Pasal 13 UU KPK
mengatur tugas pencegahan yang harus diefektifkan. Pertama, pendaftaran dan
pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Harus ada sanksi
bagi penyelenggara negara yang lalai melaporkan harta kekayaannya. Kedua ,
menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.
KPK harus
memotivasi pegawai negeri dan penyelenggara negara bersikap jujur dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya. Itulah filosofi pengaturan gratifikasi,
bukan diarahkan pada penindakan semata. Ketiga, menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan.
Di sini KPK
berkoordinasi dengan Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah
untuk meramu kurikulum antikorupsi. Di perguruan tinggi misalnya mata kuliah
pemberantasan korupsi masih banyak yang tidak berdiri sendiri. Ia membonceng
pada mata kuliah ”Tindak Pidana Khusus” sehingga amat sedikit porsi
pembahasannya karena hanya diberikan dalam dua kali pertemuan. Keempat,
program sosialisasi dan kampanye antikorupsi.
Sebetulnya
KPK cukup intensif melakukan hal ini dengan melibatkan aktivis antikorupsi,
kampus, media massa, dan instansi pemerintah. Kelima, kerja sama bilateral
dan multilateral dalam upaya memberantas korupsi. Semua pola pencegahan
begitu penting disinergikan. Tetapi, lebih penting lagi kesungguhan setiap
institusi pemerintah dan swasta melakukan pencegahan di lingkungannya. Jangan
hanya berharap pada KPK.
Kepercayaan Publik
Penelitian Center for Strategic and International
Studies (CSIC) menyebut sebagian besar masyarakat menginginkan pemiskinan
para koruptor. Sebesar 92,4% responden setuju ketegasan hukum untuk
memiskinkan koruptor.
Sementara
hasil survei Indo Barometer menempatkan KPK sebagai institusi
penegakhukumyang” palingdipercaya publik”, disusul Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Mengacu pada survei itu, tentu tidak keliru jika KPK dan TNI mendapat
tempat terhormat di hati publik. Setidaknya dua aspek yang mendasarinya.
Pertama, publik melihat KPK dan TNI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
membawa rasa keadilan dan kepastian bagi rakyat.
Ada keyakinan
publik bahwa KPK dan TNI senantiasa tegas dan tanpa kompromi dalam
melaksanakan amanah rakyat. Keberanian menindak para koruptor bagi KPK, dan
ketegasan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi
TNI, telah mengonfirmasi kehadiran rasa keadilan dan kepastian bagi rakyat.
Kedua, publik melihat dua institusi itu selalu membawa kesejukan dan
kepercayaan. Para pengemplang uang rakyat yang ditangkap KPK dirasakan
langsung manfaatnya. Kenapa begitu?
Karena,
rakyatlah yang ”menjadi korban” para koruptor. Kalau ada yang ditetapkan
tersangka atau ditangkap tangan KPK, rakyat merasa ada perlindungan lantaran
korupsinya tidak berlanjut, bahkan uang yang dikorup bisa dikembalikan.
Publik ingin KPK jilid keempat tidak luntur ketegasan dan profesionalitasnya
seperti KPK sebelumnya.
Jika lima
pimpinan KPK yang kemarin dipilih DPR berangkat dari ”pesimisme” publik,
sebaiknya dijadikan cambuk untuk berbuat lebih baik. Kalau hanya melulu
melakukan pencegahan, tetapi abai pada penindakan, publik bisa menilai buat
apa institusi khusus dibentuk. Kalau ada penilaian, penindakan KPK tidak
berbanding lurus dengan penurunan perilaku korupsi karena korupsi memang
banyak dan masif. Itu sebabnya kasus korupsi juga banyak diungkap KPK,
kepolisian, dan kejaksaan.
Saya khawatir
perang terhadap perilaku korup tidak akan pernah kita menangkan jika pola
penanganannya bergeser drastis. Perlu diingat, pelaksana pengadaan barang dan
jasa selalu ingin menggampangkan prosedur yang diatur dalam Perpres Nomor
4/2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan
Barang/ Jasa Pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar