Ambang Batas Sengketa Pilkada
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2015
Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Serentak Tahun 2015 memasuki
tahap-tahap akhir. Setelah pemungutan suara yang berlangsung aman pada 9
Desember 2015, rekapitulasi perhitungan dan penetapan calon terpilih pun
telah selesai dilakukan. Kini pasangan calon yang tidak menerima penetapan
calon terpilih sedang berupaya mengubah nasib melalui proses penyelesaian
sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Melacak tenggat waktu yang
disediakan, permohonan sengketa hasil diajukan paling lambat dalam waktu 3x24
jam sejak Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan perolehan suara hasil
pemilihan.
Berbeda
dengan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah sebelumnya,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (UU No
8/2015) memberikan ambang batas bagi pasangan calon untuk dapat mengajukan
sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada
penyelenggaraan pemilihan sebelumnya semua pasangan calon yang tidak menerima
hasil penetapan calon terpilih dapat mengajukan sengketa ke MK. Saat ini
dengan UU No 8/2015 tidak semua pasangan calon dapat mengajukan sengketa
hasil ke Medan Merdeka Barat.
Berdasarkan
ketentuan UU No 8/2015, pasangan calon yang diperkenankan untuk mengajukan
permohonan ke MK hanya dengan selisih tertentu. Dalam Pasal 158 ayat (1) UU
8/2015 dinyatakan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dapat
mengajukan permohonan dengan selisih peraih suara terbesar paling banyak 2%.
Batas suara tersebut bila jumlah penduduk di provinsi bersangkutan sama atau
di bawah 2 juta. Dalam hal jumlah penduduk 2-6 juta, batas pengajuan sengketa
1 1/2%. Penduduk provinsi dalam kisaran 6-12 juta, ambang batasnya 1%.
Terakhir, jumlah penduduk lebih besar dari 1 juta,
ambang batas 1 1/2%.
Tidak hanya
diatur dalam UU No 8/ 2015, sebagai institusi yang memiliki wewenang untuk
menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, secara formal,
pembatasan tersebut juga dituangkan dalam hukum acara MK. Pengaturan tersebut
dapat dibaca dalam Peraturan MK No 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
(PMK No 1/2015). Dengan ada PMK No 1/ 2015 tersebut, posisi ambang batas
pengajuan sengketa semakin kuat. Artinya, merujuk penetapan pasangan calon
terpilih hasil pemilihan serentak, dapat dipastikan permohonan sengketa hasil
ke MK menjadi sangat terbatas.
Pertanyaan
mendasar yang sangat menggelitik: bagaimana jika terjadi pelanggaran yang
bersifat terstruktur, masif, dan sistematis
(TSM) dalam proses pemilihan, sementara
selisih suara berada di luar ambang batas? Apakah dengan begitu ambang batas
tersebut harus dipertahankan sehingga pasangan calon yang terindikasi kuat
meraih suara terbesar karena pelanggaran yang bersifat TSM dibiarkan
melenggang menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah? Jikalau demikian,
apakah ambang batas tidak mengukuhkan demokrasi prosedural?
Dasar Pemikiran
Jika
ditelusuri pengalaman penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah
sedikit ke belakang, ruang menggunakan jalur ke MK tak sepenuhnya murni
digunakan pasangan calon untuk mengoreksi kesalahan penghitungan suara yang
memengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Sejumlah
fakta menunjukkan, sebagian pasangan yang kalah dalam proses pemilihan
seperti berupaya memakai jalur ke MK menjadi jalan pintas untuk mengoreksi
suara rakyat. Contoh yang paling menonjol, meski bentangan fakta menunjukkan
terjadi selisih suara sangat mencolok, pasangan calon yang kalah tetap
memilih jalan mengajukan sengketa ke MK.
Padahal,
dalam batas penalaran yang wajar, perbedaan suara tak mungkin dibuktikan
sebagai akibat dari kesalahan perhitungan.
Pilihan
menggunakan jalur MK menjadi seperti berubah menjadi modus baru ketika muncul
alasan multitafsir mengajukan sengketa yaitu terjadi pelanggaran yang
bersifat TSM. Dengan alasan tersebut, penyelesaian sengketa ke MK tak ubahnya
seperti keranjang sampah ketidaksiapan pelaku politik kontestasi pengisian
jabatan kepala daerah menerima pilihan rakyat. Meskipun sebagiannya terkesan
coba-coba, pilihan ke MK tetap dilakukan karena sebagiannya juga berupaya
memanfaatkan kemungkinan ”perilaku liar” hakim MK. Paling tidak, pengalaman
yang menimpa Akil Mochtar menjadi bukti pemanfaatan tersebut.
Tanpa
pembatasan, MK berubah menjadi tumpukan perkara penyelesaian sengketa
penyelesaian pemilihan kepala daerah. Pada salah satu sisi, disebabkan jumlah
hakim yang terbatas (yaitu sembilan orang) dan di sisi lain jumlah permohonan
sengketa yang menumpuk, MK harus lebih konsentrasi menyelesaikan sengketa
pemilihan kepala daerah. Akibatnya, MK memiliki waktu yang terbatas untuk
menyelesaikan wewenang konstitusional terutama pengujian undang-undang (judicial review) terhadap
undang-undang dasar sebagaimana diatur Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Apalagi,
sebelum dilakukan secara serentak, agenda pilkada hampir dilaksanakan
sepanjang tahun. Dengan penyelenggaraan demikian, sepanjang tahun pula MK
harus membagi perhatian dengan kewajiban menyelesaikan permohonan sengketa
pilkada. Karena itu, saya pernah mengemukakan, sekiranya dilakukan tanpa
pengaturan yang lebih ketat pihak-pihak yang dapat mengajukan sengketa
pilkada, MK potensial kehilangan fokus melaksanakan wewenang dalam UUD 1945
terutama judicial review. Padahal,
sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, judicial review merupakan mahkota MK.
Demokrasi Substansial
Sejak semula,
saya termasuk yang mendorong ada pembatasan persentase tertentu untuk dapat
mengajukan permohonan sengketa ke MK. Kendati demikian, pembatasan tersebut
tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kesempatan bagi pasangan calon yang
merasa dicurangi secara total memilih jalur ke MK. Artinya, ambang batas masih dapat diterobos
melalui mekanisme pemeriksaan pendahuluan (dismissal process) sepanjang pemohon mampu menunjukkan bukti-bukti
yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Bila dalam
proses awal bukti-bukti tidak kuat, ambang batas diperlakukan secara ketat.
Dalam batas
penalaran yang wajar, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, ruang menghidupkan
terobosan yang telah dilakukan MK dalam memeriksa permohonan yang
mengindikasikan ada pelanggaran yang bersifat TSM tetap bisa dipertahankan.
Misalnya, dalam Putusan No 57/PHPU.D-VI/2008 MK menyatakan bahwa konstitusi
dan Undang-Undang MK yang menempatkan MK sebagai pengawal konstitusi sehingga
berwenang memutus perkara pelanggaran atas prinsip-prinsip pemilu dan
pilkada. Selain itu, MK juga pernah memutuskan bahwa dalam mengawal
konstitusi, MK tak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural
(procedural justice) semata-mata,
melainkan juga harus mewujudkan keadilan substansial.
Banyak
kalangan percaya, ketika PMK No 1/2015 membuka tahapan pemeriksaan
pendahuluan, MK sebetulnya tidak hendak mematikan peluang pasangan calon yang
tidak memenuhi ambang batas. Artinya, dengan ada pemeriksaan pendahuluan,
semua permohonan yang masuk ke MK akan dinilai terlebih dahulu pada tahapan
ini. Sepanjang pemohon dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat telah terjadi
pelanggaran yang bersifat TSM dan bukti-bukti tersebut mampu memberikan
keyakinan pada hakim, ambang batas jangan dijadikan sebagai instrumen untuk
membunuh upaya pencarian keadilan substantif. Bagaimanapun, kepala daerah dan
wakil kepala daerah tidak boleh diisi oleh mereka yang meraih dukungan dengan
cara yang curang. Dalam konteks itu, peranti
ambang batas tidak boleh dijadikan sebagai tameng guna melindungi pelanggaran
yang nyata-nyata memenuhi unsur TSM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar