Pembusukan Moral dan Signifikansi Maulid Nabi
Abd A’la
; Guru Besar dan Rektor Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel, Surabaya
|
KOMPAS,
26 Desember 2015
Sepak terjang
beberapa elite pejabat Indonesia akhir-akhir ini yang sarat dengan hilangnya
marwah diri dan sifat wira'i
memperlihatkan kepemimpinan bangsa dan negara saat ini benar-benar dalam
krisis. Mereka sejatinya tidak layak menyandang dan disebut sebagai pemimpin.
Apa yang mereka pertontonkan sangat jauh dari nilai dan jiwa kepemimpinan
yang sejatinya harus memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Alih-alih dengan berdalih kepentingan rakyat atau sebagai wakil rakyat,
mereka justru merampas hak-hak rakyat, baik secara kiasan maupun hakiki.
Mereka menduduki jabatan sekadar sebagai kamuflase untuk menutupi kepentingan
diri yang sangat pragmatis dan sempit.
Mereka nyaris
seutuhnya melempar etik-moralitas luhur dari diri mereka. Kendati dipastikan
beragama dan mungkin taat menjalankan ritual agama, mereka tampaknya
menjadikan agama tak lebih dari aksesori semata. Mereka memperalat agama
untuk memoles kedirian mereka; menutupi bercak-bercak noda yang amoral yang
lekat pada mereka.
Di sini urgensi
mengembalikan agama pada misi perennial-nya
yang asasi. Agama perlu dihadirkan untuk mendewasakan manusia dalam segala
aspek kehidupan yang modal, substansi, implementasi, dan penampakannya
bersifat moral.
Kalau bangsa
ini, terutama umat Islam, meyakini bahwa agama memiliki peran penting dalam
kehidupan umat manusia, inilah saatnya-kendati sudah terlambat-untuk
melakukan hal itu. Jika tidak, lalu untuk apa kita beragama. Kelahiran
Rasulullah Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiulawal, yang tahun ini bertepatan
dengan 24 Desember 2015, niscaya diletakkan dalam posisi seperti itu.
Membaca kehidupan Rasulullah
Rasulullah
Muhammad diutus semata-mata untuk membumikan dan menyebarluaskan
etik-moralitas luhur. Melalui nilai itu, Rasulullah dengan agama Islam yang
dibawanya memiliki misi sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Sejarah
memperlihatkan, seluruh kehidupan-pandangan, sikap, dan perilaku-Nabi
merepresentasikan nilai-nilai itu. Rasulullah dilahirkan dalam kepapaan. Ayah
pun sudah mendahuluinya menemui Sang Pencipta sebelum ia lahir. Tak lama
kemudian sang Ibu menyusul si suami. Untuk sekadar mempertahankan hidup, Nabi
dalam usia sangat belia harus berjuang keras dengan menjadi pedagang. Modal
yang ia miliki "hanyalah" kejujuran dan ketulusan. Ia hanya
memiliki al-akhlak al-karimah, moralitas luhur.
Saat diangkat
sebagai Rasul dan kemudian menjadi pemimpin negara kota Madinah, Nabi
Muhammad menjalani kehidupan tanpa perubahan sikap sedikit pun. Ia, misalnya,
tetap hidup dengan penuh kesederhanaan. Rasulullah sama sekali tidak silau
dengan jabatan. Kejujuran, ketulusan, dan nilai-nilai luhur sejenis tetap
dipegang teguh sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah sekali pun menggunakan aji
mumpung. Semua jabatan disikapi sebagai amanah sehingga Nabi tidak memosisikan
diri sebagai pejabat. Ia menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat.
Maka ia biasa berbaur duduk bersama masyarakat. Sebagai pemimpin, Nabi hadir
untuk melayani, bukan untuk dilayani, apalagi minta dimanja. Kisah
ketelatenanRasul memberikan makan setiap hari seorang Yahudi buta
memperlihatkan senyatanya keberadaan Nabi sebagai representasi nilai-nilai
etik-moralitas luhur.
Maka kita
tidak perlu heran, ketika Nabi wafat, ia nyaris tidak meninggalkan warisan
harta benda apa pun, apalagi jabatan, kepada anak istri dan keluarga.
Satu-satunya warisan Nabi adalah sumber nilai yang tertuang dalam Al Quran
dan Sunah Rasul. Itu pun bukan hanya untuk sanak keluarga, melainkan untuk
umat Islam, bahkan seluruh umat manusia yang mau menjadikannya sebagai sumber
rujukan hidup.
Kontekstualisasi
Kehidupan
Rasulullah yang penuh dengan keluhuran itu senyatanya perlu dihadirkan dalam
kekinian, khususnya di Indonesia. Peringatan Maulid Nabi yang baru
dilaksanakan tidak bisa lagi sekadar bersifat seremonial tanpa memiliki
dampak konkret dalam kehidupan.
Acara
ini-khususnya saat Indonesia mengalami krisis kepemimpinan saat ini-harus
dikembangkan menjadi kegiatan yang transformatif. Peringatan Maulid Nabi
perlu dilanjutkan dengan upaya internalisasi nilai-nilai luhur ke dalam diri
setiap Muslim dan dalam segala dimensi kehidupan.
Melalui
peringatan Maulid, umat Islam, atau siapa pun yang merayakan, harus mampu
berdialog dengan Nabi dan menyelami keagungan kehidupannya. Pada saat yang
sama, umat Islam dituntut untuk membuat perjanjian dengan Rasul. Ia
senyatanya berkomitmen untuk meneladani Rasulullah dalam mengimplementasikan
dan menyebarkan etik-moralitas luhur dalam kehidupan.
Sejalan
dengan itu, peringatan Maulid tidak bisa dipahami dan disikapi secara
parsial. Peringatan keagamaan ini tidak bisa lagi dipisahkan dengan kegiatan
keagamaan lain. Kegiatan ini harus menyatu dengan kegiatan yang lain.
Peringatan ini perlu dikaitkan dengan pendidikan agama, bahkan dengan
kehidupan itu sendiri.
Strategi
holistik ini diharapkan dapat menumbuhkan dan menjadikan etik-moralitas luhur
sebagai bagian intrinsik dari umat Islam. Dengan demikian, keberagamaan bukan
lagi pengedepanan simbol semata, melainkan lebih pada praksis yang dapat
mewujudkan kehidupan yang lebih bermoral.
Kegiatan
agama-agama lain, seperti Natal, yang tahun ini berdempetan, sangat layak
diposisikan seperti itu. Melalui peringatan keagamaan dengan strategi ini,
kehadiran agama diharapkan akan lebih bermakna bukan hanya bagi penganut
agama masing-masing, melainkan juga bagi umat manusia secara keseluruhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar