Kemarau Pembangunan Kita
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Desember 2015
SALAH satu pertanyaan mendasar
kita sebagai sebuah bangsa setelah hampir tiga perempat abad negeri ini
merdeka dan membangun dirinya ialah apa sebenarnya yang telah kita lakukan
terhadap manusia dan seluruh entitas yang ada di sekelilingnya? Apa yang
telah kita bangun bersama untuk mereka? Apa yang dikerjakan dan dihasilkan
pemerintah yang silih ganti berkuasa? Untuk apa uang yang dikeringatkan oleh
rakyat banyak, termasuk pegawai rendahan, tukang nasi pinggir jalan atau para
TKI dan pembantu rumah tangga dihabiskan oleh pemerintah terpilih? Untuk apa
sumber daya natural dan kultural yang luar biasa kita miliki didayagunakan?
Tentu saja, sebagian, bahkan
mungkin sebagian besar orang di negeri ini akan menjawab dengan cepat, “Kita
telah berbuat banyak, menghasilkan banyak, membangun banyak.“ Jawaban itu
tidak retoris, tapi faktual. Kita menyaksikan bukti dari jawaban itu.
Banyak.Banyak yang berubah dan bertambah. Gedung-gedung, sekolahan, jalan
raya, bandarabandara internasional mewah, hotel taraf internasional, dan
jumlah digit dalam APBN kita. Banyak.
Namun, sebentar. Kata sifat atau
keterangan terakhir di atas menunjukkan satu hal, yang memang utama, tapi
bukan segalanya, yakni kuantitas.Kategori itu merupakan ekspresi dari jumlah
atau satuan yang terukur, hal-hal yang dapat dihitung, yang berupa materi
atau dimaterialisasi.Pembangunan 70 tahun lebih memang telah menghasilkan
banyak hal yang didominasi atau dikuasai capaian-capaian yang materialistis.
Bagaimana kemudian dengan dimensi
lain yang sulit atau tak bisa diukur, yang immaterial yang bersifat abstrak,
seperti jiwa atau mental, batin atau spiritual, dasar-dasar sebuah bangsa
dapat memiliki karakter, jati diri, integritas, kebanggaan, respek, atau rasa
hormat? Dasar-dasar manusia atau bangsa menghasilkan apa yang kita sebuat
nilai, norma, moralitas (semacam kepatutan, kepantasan, etos), etika, dan
estetika? Semua elemen yang kita tahu merupakan pembentuk sebuah kebudayaan,
cara hidup yang membuat manusia dianggap memiliki (per)adab(an) dan
membedakannya dengan makhluk-makhluk, bahkan malaikat, jin, iblis, atau paus.
Saya dan teman-teman yang
bergabung dengan Mufakat Budaya Indonesia (MBI), kaum cendekia, tetua adat,
rohaniwan, atau seniman dan budayawan dengan keragaman agama, suku bangsa,
profesi dari seantero negeri sepakat dalam kesadaran akal dan terangnya hati,
pembangunan yang kita selenggarakan selama ini, jika tidak gagal secara signifikan
membangun dimensi immaterial di atas, sekurangnya dimensi itu minor
posisinya, tersubordinasi oleh materi. Bahkan, dalam banyak hal terepresi,
itu terhumiliasi hingga terasasinasi, keberadaan atau dinamika yang ada di
dalamnya.
Kemarau
panjang
Hal itulah yang membuat
pembangunan di negeri ini terasa kering. Kering yang berkepanjangan. Seperti
ke marau yang membuat manusia di dalamnya mengalami dehidrasi akut pada
kejiwaan dan kebatinannya. Keadaan yang membuat, secara alamiah, insting liar
atau kebuasan manusia terekspos bahkan tereksploatasi menjadi penyakit atau
destruksi dari kebudayaan atau peradaban yang diciptakannya sendiri. Berbagai
persoalan sosial, politik, dan keamanan yang beberapa tahun belakangan kita
alami terjadi lantaran kemarau pembangunan yang begitu panjang itu.
Seluruh dasar pemikiran itulah yang dipahami dan
disetujui bersama, para sahabat MBI beberapa tahun belakangan kita alami
terjadi lantaran kemarau pembangunan yang begitu panjang itu.
Seluruh dasar pemikiran itulah
yang dipahami dan disetujui bersama, para sahabat MBI dan Joko Widodo, saat
Presiden ke-7 RI itu mengundang saya dan perwakilan MBI untuk berbincang
seraya makan siang bersama di Istana Negara, 22 Desember 2015 lalu. Bincang
atau dialog yang terjadi berlangsung cair, mengalir secara positif, dan
konstruktif karena diisi pikiran dan rohani yang memiliki keprihatinan
sama.Keprihatinan yang membuat dua pihak, masyarakat budaya dan pucuk
pemerintah, merasakan kedekatan, kehangatan, dan tekad yang sama untuk
berbuat yang sama.
Kemarau panjang negeri harus
segera dihentikan. Hujan kebaikan hati, kejujuran jiwa, dan kedalaman batin
(spiritual) harus mulai kita rintikkan bahkan deraskan untuk membuat kemarau
sirna sehingga seluruh pembangunan bermakna. Bermakna semata yang dilakukan
untuk membuat manusia semakin manusia (bukan semakin mekanik atau robotik
seperti yang terjadi dalam pembangunan berbasis materi), manusia semakin
sadar akan kodrat dan tugas keilahiannya. Sebab, sesungguhnya, kami
menyepakati semua hal itu merupakan inti atau substansi hidup dan adab dari
tradisi seluruh bangsa yang ada di Nusantara. Adab bahari. Substansi yang
selama ini tidak kita lupakan, kita ingat baik, tapi kita ingkari, khianati,
demi mengabdi pada substansi adab dan budaya milik orang lain, pihak atau
kepentingan asing.
Hijrah
kultural
Kami pun sadar visi semacam ini
bukanlah perkara mudah untuk dikomprehensi apalagi diimplementasi dalam
kebijakan dan program-program kerja para teknokrat hingga birokrat di seluruh
lapisan pemerintah dalam tiga dimensi demokratisnya (legislatif, eksekutif,
yudikatif, dan badan-badan otonom yang didirikannya). Kerja sungguh-sungguh,
keringat bahkan air mata mungkin harus ditumpahkan demi mengubah aparatus
yang sudah telanjur hidup dengan kepungan atau penjajahan materi.
Perubahan-perubahan mendasar harus
dilakukan. Perbaikan jiwa (mental) dan batin (spiritual) harus terjadi. Hijrah
kultural dan spiritual ini harus menjadi tanggung jawab bersama jika manusia
dan bangsa mau kita selamatkan demi anak, cucu, dan buyut kita. Revolusi
mental, antara lain, harus menjadi champion programme dari semua upaya di
atas dengan kreativitas, etos kerja,
kebersamaan yang sejak purba menjadi
identitas kita. Untuk itu, hijrah kultural harus terjadi, bukannya hanya
kembali menghargai dengan sepenuh hati tradisi, kearifan, dan pengetahuan
lokal kita sendiri, melainkan juga menemukan kekuatan-kekuatan terbaik di
dalamnya, yang sesungguhnya dapat menjadi solusi terbaik bagi tantangan zaman
mutakhir kita.
Kami, MBI, sadar tugas itu berat,
bahkan bagi seorang Presiden. Sebab, ia seperti harus mengonstruksi ulang
jiwa dan batin bangsanya yang sudah sekian dekade bahkan abad dimanipulasi
adab material yang serakah. Tidak ada pilihan lain demi pulihnya kemanusiaan,
muruah, dan kehormatan bangsa. Usaha itu perlu didukung sekuatnya. Tak ada
alasan berakal sehat lainnya yang membuat para sahabat MBI tidak mendukung
dan bekerja semampunya untuk mencipta hujan jiwa di kemarau bangsa ini. Makan
siang yang sederhana tapi nikmat pun kalah dengan hangatnya jabat tangan dan
hati kami sebelum pamit pergi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar