Optimisme Pendidikan 2016
Mahyudin
; School Supervisor di Sekolah Sukma Bangsa,
Aceh
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Desember 2015
“Tanah Air kita meminta korban. Dari di sinilah kita siap sedia
memberi korban yang sesuci-sucinya. Sungguh, korban dengan ragamu sendiri
ialah korban yang paling ringan. Memang awan tebal dan hitam menggantung di
atas kita. Akan tetapi, percayalah di baliknya masih ada matahari yang
bersembunyi. Kapan hujan turun dan udara menjadi bersih karenanya?”
(Ki Hadjar Dewantara).
KUTIPAN dari
Ki Hadjar Dewantara di atas merupakan pertanda selalu ada optimisme dalam
mengelola pendidikan. Meskipun tantangan dan rintangan tidak mudah untuk
dihindari, dunia pendidikan harus terus meniupkan napas optimismenya karena
menyangkut masa depan bangsa. Cara yang paling mungkin dan mudah untuk
dilakukan ialah kemauan untuk selalu belajar dari kesalahan, melihat
data-data statistik persoalan-persoalan pendidikan kita secara cermat, dan
melakukan usaha perbaikan berdasarkan data-data tersebut.
Laporan OECD
tentang pendidikan selama 2015, misalnya, dapat menjadi acuan kita untuk
melakukan perubahan. Laporan tersebut setidaknya mengindikasikan masih
banyaknya negara yang kerepotan dalam menangani pembiayaan pendidikan karena
terjadinya perlambatan ekonomi. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan
angka-angka statistik yang berkaitan dengan angka kelulusan sekolah menengah
yang terserap dunia kerja, kaitan antara pendidikan dengan mobilitas sosial,
kemampuan guru dan siswa untuk menjadikan informasi dan teknologi, dan
kesejahteraan guru. Lama belajar dan mengajar rata-rata guru dan siswa juga
masih harus dianalisis secara saksama mengingat tiap-tiap negara menerapkan
sistem yang berbeda dalam mengelola kebijakan pendidikan mereka.
Untuk kasus
Indonesia, jelas masalah-masalah di atas masih menjadi isu sentral yang tidak
mudah diselesaikan. Karut-marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi
daerah jelas menjadi salah satu kendala yang sangat akut untuk mengubah
benang kusut pendidikan di Tanah Air. Bukan hanya kusut, dunia pendidikan
juga menjadi basah karena masa depan anak-anak selalu dipertaruhkan oleh
kebodohon sesaat dan sesat dari para politikus kita yang senang mengumbar
isu-isu pendidikan untuk kepentingan politik praktis semata.
Temuan kunci
Beberapa
temuan kunci proses pendidikan sepanjang 2015 boleh jadi akan mengangkat
optimisme kita untuk menyongsong 2016. Dalam hal pencapaian pendidikan,
ratarata lebih dari 85% anak-anak muda kita lulus sekolah menengah pertama.
Karena itu, kebijakan wajib belajar 12 tahun perlu terus diperhatikan. Ini
artinya belanja pendidikan kita untuk tingkat dasar dan menengah setidaknya
harus terus diseimbangkan dengan angka pertumbuhan usia anak. Jika dikaitkan
dengan angka pertumbuhan pre-school
program, jelas akan lebih banyak lagi dana yang dibutuhkan mengingat
angka lembaga-lembaga penyelenggara PAUD tumbuh sangat fantastis di
Indonesia.
Temuan kunci
lainnya berkaitan dengan kebijakan pendidikan sepanjang 2015 ialah tidak
dijadikannya UN sebagai basis kelulusan siswa meskipun tetap saja kebijakan
itu perlu diperhatikan dengan saksama. Sebab, pada praktiknya, belum tentu
kebijakan itu serta-merta melahirkan dan menumbuhkan kualitas pendidikan yang
lebih baik.
Sebagaimana
dikemukakan Robert Linn (2001), pola penilaian eksternal jenis UN mengandung
risiko terhadap berbagai bentuk kecurangan dan malapraktik yang sering kali
sulit dikontrol karena harus melibatkan banyak pihak yang mungkin tidak
memiliki hubungan langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. Selain
itu, juga disebabkan siswa sebelum mengikuti UN harus mengikuti berbagai
pelatihan soal, drilling soal. Jadi, kualitas yang diperoleh kurang hakiki.
Angka perolehan UN pasti akan meningkat, tetapi pemahaman siswa terhadap
konsep dan kemampuan berpikir belum tentu berubah lebih baik. Karena itu,
kebijakan tidak menjadikan UN sebagai basis kelulusan diharapkan akan sedikit
menambah kualitas proses belajar yang lebih baik.
Optimisme itu
harus diimbangi dengan cara memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada
tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah.
Pendekatan model itu biasanya kurang diminati para birokrasi pendidikan
karena dinilai akan sangat melelahkan. Pendekatan itu bukan hanya
mensyaratkan kompetensi dan profesionalitas kerja, melainkan lebih dari itu.
Ia membutuhkan keikhlasan, komitmen, ketekunan, dan kesabar an serta tanggung
jawab penuh dari para pengelola dan pelaku pendidikan. Pendekatan itu dinilai
lebih konsepsional, terukur, akuntabel, dan perubahan yang dihasilkan akan
lebih menyeluruh dan berkesinambungan. Pendekatan itu umumnya kurang disukai
birokrat, politikus, dan komunitas pendidikan, terutama bagi mereka yang
sudah terbiasa dengan pola kerja serbainstan.
Mengingat
begitu strategisnya kedudukan organisasi sekolah dalam upaya memperbaiki
kualitas pembelajaran pada tingkat kelas dan untuk meningkatkan mutu
pendidikan secara luas, seharusnya para pengelola sekolah, termasuk pimpinan,
pengawas, dan guru, memiliki konsep kerja dengan langkah yang jelas, terukur,
dan akuntabel dalam melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab
mereka. Dalam konteks ini, seharusnya konsep Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan K-13 terus dimatangkan dalam sebuah proses dan skema
yang jelas dan disepakati semua unsur dalam komunitas sekolah.
Riset pendidikan
Membangun
optimisme jelas membutuhkan banyak data yang akurat. Karena itu, dibutuhkan
riset-riset pendidikan yang lebih komprehensif berdasarkan unit analisis yang
tepat. Tidak ada kata lain selain menjadikan sekolah sebagai basis dan unit
analisis riset tentang kebijakan pendidikan. Rencana Dirjen Dikdasmen untuk
membuat sekolah percontohan nasional perlu dikaji secara serius dan relevan
untuk dilaksanakan jika basisnya ialah kebutuhan sekolah. Membuat sebanyak
mungkin indikator yang relevan untuk mengukur kualitas dan akuntabilitas
menajemen sekolah itu penting. Sebagai sebuah komunitas, menjadikan sekolah
sebagai basis riset kependidikan ialah imperatif.
Minimnya
riset-riset kependidikan sebenarnya sejalan dengan minimnya tradisi ilmiah di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka memiliki Litbang,
tapi banyak hasil riset mereka yang kurang relevan dengan kebijakan yang akan
diambil dan dijalankan. Minimnya tradisi ilmiah dalam riset kependidikan yang
masih terbelenggu pada dikotomi antara teori (ilmu) dan praktik; antara das sain dan das solen. Padahal, dari sudut sosiologi, antara aspek teoretis
dan praktik pada hakikatnya termuat berbagai bentuk hubungan dialektis antara
teori (ilmu) dan praktik.
Pemisahan
antara teori (ilmu) dan praktik, menurut Mohammaed Arkoun, sebenarnya
merupakan sisa-sisa model Descartes, yang menyebabkan tujuan praktis
cenderung hilang. Para ahli pendidikan kita kebanyakan hanya berpikir
meluaskan pengetahuan tertentu tanpa memikirkan, baik teoretitasi maupun
renungan metodologis, atau apalagi memikirkan kegunaan pengetahuan yang
terhimpun dari aspek aplikatif di sekolah.
Dalam rangka membangun
optimisme pendidikan kita ke depan, sudah saatnya setiap sekolah dilengkapi
sebuah sistem manajemen informasi sekolah, yang mengharuskan setiap guru dan
kepala sekolah terus belajar dan menulis sehingga data yang terjadi di
sekolah dapat terus tercatat sebagai bagian dari upaya menumbuhkan tradisi
riset kependidikan. Selamat datang 2016. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar