Drama Politik yang Menjemukan
Anna Luthfie ; Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia
(Perindo)
|
KORAN
SINDO, 29 Desember 2015
Ketika Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sedang bersiap
menyiapkan putusan bagi Setya Novanto atas laporan pelanggaran etik anggota
Dewan yang dilaporkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said, Presiden Joko Widodo
sedang bercengkerama dengan para pelawak dan komik, para komedian jenakata (stand-up comedy). Entah kebetulan atau
tidak, banyak pemerhati politik melihat, ini cara Jokowi menyatakan sikap. Ada yang lebih lucu dari drama MKD di Senayan yaitu lawakan
para komik.
Drama politik lainnya juga terlihat sebelumnya tentang sosok
Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli. Sesaat setelah dilantik, Rizal
begitu agresif mengkritik langkah pemerintah. Sebut saja soal pembangunan
megaproyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang disebutnya tidak realistis dan
diturunkan menjadi 16.000 MW. Persoalan
proyek prestisius Jokowi tersebut sampai membuat Rizal Ramli menantang JK
untuk berdebat di hadapan publik terkait proyek ini. Publik pun menduga-duga, apa tidak salah pilih Jokowi menunjuk
Rizal masuk dalam kabinetnya dan membawa kegaduhan di internal pemerintahan.
Sejumlah analis pun menduga ini bagian dari strategi Jokowi
untuk mengimbangi pengaruh Jusuf Kalla. Diakui atau tidak, Kalla menjadi
kekuatan politik tersendiri dalam pemerintahan ini. Pengalaman di rezim SBY
di mana Kalla seakan lebih dominan dari presiden tentu menjadi kekhawatiran
sendiri bagi Jokowi dan tentu saja bagi PDIP sebagai partai politik pengusung
utamanya.
Tidak heran jika kemudian pernyataan anggota DPR RI dari Fraksi
PDIP, Masinton Pasaribu, yang mengatakan kegaduhan satu tahun kabinet Joko
Widodo dan Jusuf Kalla lebih banyak terletak pada Kalla yang menjadi
sumbernya. Pernyataan Masinton ini pun dibantah juru bicara wakil presiden,
Husain Abdullah, yang mengatakan tuduhan yang dilemparkan politikus PDIP
tersebut justru membuat kegaduhan baru yang tidak perlu.
Di penghujung 2015 ini publik masih saja disuguhi drama politik.
Sepanjang 2015 itulah yang dominan terjadi. Panggung politik masih dipenuhi
drama-drama politik yang lebih banyak pada domain elite.
Dimulai dengan terbentuknya DPR 2014-2019 yang terbelah dengan
hadirnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintah dan Koalisi
Merah Putih (KMP) yang berada di luar pemerintahan. Dua kekuatan ini saling
berhadapan dalam sejumlah kasus, sebut saja soal pemilihan pimpinan DPR dan
MPR, mekanisme pilkada, pemilihan kapolri, dan pemilihan jaksa agung. Dalam
sejarah, pengangkatan jaksa agung dari unsur partai politik baru kali ini
terjadi.
Kegaduhan tidak berhenti di sini, polemik pemilihan kapolri
merembet pada ketegangan hubungan Polri dan KPK terkait penetapan tersangka
Komjen Budi Gunawan yang kemudian dinilai tidak sah di praperadilan.
Ketegangan ini berujung pada dinonaktifkannya dua komisioner dan satu orang
penyidik KPK karena menjadi tersangka kasus hukum yang diyakini oleh sebagian
besar kalangan sebagai upaya kriminalisasi terhadap keduanya. Terakhir, kegaduhan
dari legislatif adalah terkait revisi UU KPK yang membelah sikap, antara
pendukung revisi dan penolak revisi.
Kegaduhan dari Senayan semakin lengkap dengan terseretnya tiga
legislator dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Setidaknya sudah tiga orang
anggota DPR yang terjerat oleh KPK yakni Adriansyah (PDIP), Patrice Rio
Capella (NasDem), dan Dewie Yasin Limpo (Hanura). Ujungnya, kasus Setya
Novanto di MKD semakin merontokkan citra DPR di mata publik. Apalagi jika melihat rekam jejak kinerja
legislatif yang jauh dari harapan rakyat. Lihat saja sepanjang 2015 ini hanya
ada 3 UU yang diselesaikan dari 40 rancangan UU prioritas 2015.
Menjemukan
Lalu, apakah drama-drama politik
yang disuguhkan ke publik ini berdampak baik pada citra pemerintah di hadapan
publik?
Sejumlah lembaga survei menyebut terjadi penurunan apresiasi
publik pada kinerja pemerintah. Survei yang dilakukan Indo Barometer misalnya
pada satu tahun pemerintahan Oktober lalu memperlihatkan bahwa sebanyak 47,3%
responden mengaku kurang puas terhadap kinerja Jokowi-JK, sementara yang
cukup puas sekitar 44,8%.
Hal yang sama juga disebutkan oleh survei LSI yang mencatat,
mereka yang puas di bidang ekonomi hanya 29,79%, hukum 47,22%, politik
43,75%, sosial 48,39%, dan keamanan 53,85%. Kepuasan publik di sektor ekonomi
tercatat paling rendah. Pengurangan subsidi bahan bakar oleh pemerintah juga
diakui menjadi pemicu turunnya apresiasi publik pada kinerja pemerintah.
Ini menjadi potret bahwa drama-drama politik yang disuguhkan
ke publik tidak sertamerta membuat apresiasi di mata publik. Hal ini boleh
jadi menguatkan sinyalemen bahwa drama politik kaum elite menjemukan bagi
publik.
Meminjam pendekatan sosiolog Erving Goffman yang mendalami teori
dramaturgi yang menyebutkan bahwa interaksi sosial itu layaknya pertunjukan
teater di mana manusia adalah aktor utamanya, baik sebagai pemeran utama
maupun penonton saja. Dalam pertunjukan teater tersebut, manusia akan
mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya bisa dinikmati
penonton.
Selama ini publik sudah banyak disuguhi panggung depan kaum
elite. Boleh jadi publik sudah banyak tahu soal panggung belakangnya. Empat tahun sisa periode pemerintahan mestinya harus
disuguhkan kepada publik tentang cerita drama
politik yang membumi, merakyat, dan bermanfaat bagi kemaslahatan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar