Ihwal Lelang Jabatan ASN
Eko Prasojo
; Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
26 Desember 2015
Sejak
dilaksanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada 2013, lelang jabatan
untuk pegawai aparatur sipil negara semakin populer. Langkah itu diikuti
beberapa kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Harus diakui, dasar
hukum pelaksanaan lelang jabatan pada waktu itu masih berupa Surat Edaran
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB)
Nomor 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang
Lowong secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Baru pada
2014, setelah diundangkannya UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN), diterbitkan Peraturan Menteri PAN dan RB No 13/2014 tentang Tata Cara
Pengisian Jabatan secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
"Lelang
jabatan" ASN ini menimbulkan pro dan kontra dalam implementasinya.
Bahkan, sayup-sayup terdengar di beberapa daerah terjadi upaya menolak
implementasi UU ASN dan rencana sebagian anggota Dewan merevisi UU ASN.
Pro dan kontra reformasi
Sejak dalam
proses pembahasannya, UU ASN menimbulkan polemik yang panjang baik di
kalangan pemerintah maupun Komisi II DPR. Salah satu di antara polemik itu
ialah diperkenalkannya sistem pengisian jabatan pemimpin tinggi secara
terbuka dan kompetitif. Gagasan perubahan itu diusung di tengah suasana
keprihatinan atas tingginya intervensi politik di provinsi, kabupaten, dan
kota dalam pengisian jabatan sekretaris daerah, kepala dinas, kepala badan,
dan kepala kantor.
Birokrasi
menjadi tak stabil dan tak berkinerja penuh karena sering terjadi pencopotan
jabatan berdasarkan faktor suka dan tak suka. Para pejabat pemimpin satuan
kerja perangkat daerah (SKPD) terseret, diseret, dan/atau menyeretkan diri
dalam pertarungan pilkada. Birokrasi berada dalam situasi sulit untuk
mendukung, tidak mendukung, atau netral dalam politik lokal. Pilihan
ketiganya serbasulit dan akan berimplikasi pada jabatan yang didudukinya.
Dalam suasana
seperti itu, Komisi II DPR mengusulkan suatu terobosan pengisian jabatan
pemimpin tinggi (JPT) di instansi pemerintah secara terbuka dan kompetitif
dengan tujuan mengurangi, kalau tak sepenuhnya, menghilangkan intervensi
politik.
Dalam praktik
internasional, sejatinya reformasi pengisian jabatan secara terbuka dan
kompetitif sudah dilakukan di beberapa negara, termasuk Korea Selatan dan
Australia. Kelompok JPT ini sering disebut senior executive service (SES)
yang memiliki standar tinggi untuk pengisian jabatannya, pengukuran
kinerjanya, pengembangan kompetensi, dan kompensasi yang diberikan. SES
adalah kelompok khusus (elite) dalam birokrasi yang dimaksudkan sebagai agen
perubahan.
Pro dan
kontra tentang pengisian JPT secara terbuka ini terjadi juga di kalangan
pemerintah. Para pejabat senior birokrasi yang berpuluh tahun menganut dan
menjalankan sistem karier tertutup berdasarkan senioritas dan daftar urut
kepangkatan (DUK) pada dasarnya kurang sepakat dengan gagasan perubahan
sistem karier terbuka dengan berbagai alasannya.
Salah satu
alasan pentingnya adalah harus bersaing dengan generasi muda ASN. Alasan
lainnya, jabatan adalah amanah sehingga tabu dikompetisikan. Sebagian kepala
daerah juga menolak gagasan ini karena akan mengurangi-jika tidak
menghilangkan-otonomi yang dimiliki untuk mengangkat para pembantu yang
dipercaya dan disukai.
Ada pula
anggota kabinet yang menolak karena di kementeriannya sudah diterapkan
perencanaan karier dan daftar calon pejabat yang potensial. Di tengah ketidakpastian
mengenai nasib pembahasan RUU ASN pada waktu itu, karena besarnya resistansi
terhadap berbagai perubahan yang diusung, Presiden SBY dan Wakil Presiden
Boediono memimpin langsung proses pembahasan pasal demi pasal RUU ASN dalam
sidang kabinet terbatas ataupun dalam rapat Komite Pengarah Reformasi
Birokrasi Nasional yang dipimpin Wapres Boediono.
Keputusan
politik Presiden menyetujui berbagai perubahan "Kebijakan dan Manajemen
Kepegawaian Negara" dalam RUU ASN, termasuk pengisian JPT secara terbuka
dan kompetitif, merupakan kunci utama keberhasilan pengesahan UU ASN.
Reformasi berkelanjutan
Masih kuat
dalam ingatan penulis, sebagai Wakil Menteri PAN dan RB masa itu, Presiden
SBY menyampaikan bahwa UU ASN merupakan fondasi kritis dan strategis dalam
perubahan bangsa dan negara. Penulis juga masih sangat ingat bahwa gubernur
yang pertama kali melaksanakan pengisian jabatan secara terbuka tahun 2013
untuk para camat dan pemimpin SKPD adalah Jokowi. Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama dalam 2010-2011 adalah salah satu anggota timsin RUU ASN.
Pengisian JPT
secara terbuka dan kompetitif selain untuk mengurangi intervensi politik
dalam birokrasi adalah juga untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja
birokrasi. Pada masa lalu, dengan sistem urut senioritas dan kepangkatan,
jabatan di birokrasi sebagian diperoleh karena kedekatan hubungan dan
loyalitas seorang pegawai dengan atasan. Selain itu juga ditengarai bahwa
sebagian pula menduduki jabatan karena berbagai transaksi ekonomi politik.
Sebagai akibatnya, kompetensi, kualifikasi, dan kinerja sering kali tak jadi
dasar dalam penempatan dan pengisian seseorang dalam jabatan.
Pada sisi
lain, cara lama pengisian jabatan ASN yang mengutamakan karier secara
tertutup telah pula menyebabkan ego sektoral antar kementerian/lembaga dengan
kementerian/lembaga lainnya.
Pada tingkat
provinsi, kabupaten/kota, setelah otonomi daerah pada 1999, jabatan ASN di
SKPD diduduki berdasarkan ikatan kedaerahan (putra daerah), etnisitas, dan
latar sosial politik lainnya. Mobilitas PNS menjadi sangat terbatas di daerah
yang bersangkutan. PNS sebagai perekat NKRI mengalami distorsi dan pelemahan.
Dengan UU ASN, pengisian JPT dilakukan secara kompetitif dan terbuka di
antara PNS baik di dalam sebuah instansi maupun antarinstansi di seluruh
Indonesia.
Prosesnya pun
dilakukan transparan dan obyektif oleh panitia seleksi yang berasal dari
berbagai kalangan profesional dan independen. Masyarakat dan pihak yang
dirugikan dapat melakukan pengawasan dan pengaduan kepada Komisi Aparatur
Sipil Negara (KASN) yang berwenang merekomendasi kepada presiden secara
mengikat.
Gagasan
menolak melaksanakan UU ASN dan gagasan merevisi UU ASN bertentangan dengan
semangat perubahan yang telah dicetuskan Komisi II DPR dan komitmen Jokowi
pada saat menjadi Gubernur DKI. Persoalan yang timbul saat ini dalam
implementasi UU ASN adalah lambannya pemerintah membuat berbagai peraturan
pelaksanaan dan petunjuk teknis baik dalam bentuk PP, perpres, maupun
peraturan menteri.
Penulis
berpendapat apa yang terjadi saat ini adalah kegamangan dan ketakjelasan
instansi pemerintah melaksanakan UU ASN tersebut secara baik. Pemerintah
harus segera menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang diwajibkan
oleh UU ASN sebelum batas waktunya berakhir dua tahun pada Februari 2016.
Lebih dari itu, pemerintah juga harus bisa menjamin bahwa isi dari
peraturan-peraturan itu harus sesuai dengan filosofi, semangat, dan tujuan
dibentuknya UU ASN. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar