Merenungkan
Keindonesiaan
Suwidi Tono
; Koordinator Forum Menjadi Indonesia
|
KOMPAS,
30 Desember 2015
Dalam pleidoi ”Indonesia
Menggugat” di depan pengadilan kolonial di Bandung, 18 Agustus 1930, Bung
Karno mengurai kemerosotan bangsa akibat imperialisme-kapitalisme. Lewat
taksonomi kata bernas, kalimat penuh harga diri, dan pesan menghunjam, ia
menampilkan fakta dan risalah otentik yang menohok jantung kepentingan
kolonial.
Empat kerusakan parah kaum bumiputra akibat
imperialisme-kapitalisme sokongan pemerintah kolonial meliputi: terpecah
belah, kemelaratan kronis, kemunduran akal budi, serta berkembangnya
mentalitas inlander dan ”menghamba” akibat politik asosiasi alias kerja sama
dengan penjajah. Menurut Bung Karno, seluruh siasat itu diperlukan untuk
menjamin berlangsungnya pengisapan kekayaan alam Indonesia oleh korporasi
asing dan menjadikan rakyat hanya kuli!
Menegaskan perihal ini, ia mengutip pernyataan Profesor JH Boeke
(1927): ”Mereka pandai mengeduk
kekayaan dari bumi Hindia dan membikin negeri itu memberi keuntungan ekonomi
yang sebesar-besarnya. Mereka menghasilkan barang-barang yang diperlukan
pasar dunia dan mereka menuntut Hindia tanah yang baik dan tenaga buruh yang
murah”.
Sebagai antitesis, melalui Partai Nasional Indonesia yang
didirikannya tahun 1927, ia menggelorakan persatuan, membangun kecerdasan
rakyat melalui pendidikan, percaya pada kemampuan sendiri (self reliance), menolak kolaborasi,
dan sebaliknya kukuh menjalankan politik nonkooperasi.
Kemiskinan
struktural
Setelah merdeka, empat tonggak perlawanannya itu mengejawantah
melalui character and nation building,
mobilisasi pendidikan tinggi, mencetuskan Trisakti sekaligus menolak kerja
sama dengan pihak luar yang mendikte kepentingan nasional. Namun, ikhtiarnya
itu kandas setelah tragedi 1965. Ikhtisar berikut menelisik jejak gugatan
Bung Karno pada realitas Indonesia hari ini.
Kesatuan gerak dan tekad untuk menemukan kembali Indonesia yang
dihela reformasi 1998 semakin pudar. Ideologi cair dan sarat transaksi
menyuburkan korupsi dan perburuan rente. Kita kembali dihantui kegagalan
memajukan dan mendisiplinkan parpol untuk tujuan-tujuan besar nasional dan
cenderung membiarkannya sebagai agen pecah belah macam-macam kepentingan.
Lanskap politik nasional-lokal menampilkan aneka pertanda buruk:
mahal, permisif, gaduh, ”karbitan”, legitimasi rendah, tidak menumbuhkan
optimisme, dan mulai tumbuh gejala feodal. Demokrasi kita semakin kental
bercorak prosedural ketimbang substansial. Etika dan moral politik penuh
keluhuran dan keteladanan tersisih oleh persatuan kepentingan dan syahwat
kekuasaan.
Dalam situasi kusut ini, berbagai agenda masuk dan memengaruhi
kebijakan publik. Ketimpangan ekonomi muncul sebagai konsekuensi asimetri
aspirasi politik. Satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen
kekayaan nasional. Sepuluh persen penduduk terkaya menguasai 77 persen aset
nasional, terutama di sektor keuangan dan properti (Kompas, 9/12).
Distribusi pendapatan tidak adil ini, menurut laporan Bank
Dunia, akibat perbedaan pungutan pajak untuk pekerja dan pemilik modal,
korupsi merajalela, produktivitas dan upah rendah pada mayoritas pekerja,
ketaksetaraan kesempatan sejak lahir (akses pendidikan, pemenuhan gizi, dan
kesehatan), serta bencana alam yang semakin membuat miskin sebagian penduduk.
Angus Stewart Deaton, peraih Nobel Ekonomi 2015, mengingatkan, warga miskin
bisa menjadi sejahtera jika pemerintah paham kebutuhannya. Pemerintahan
dengan sistem politik yang baik, bukan politik yang mendistorsi, akan mampu
menyejahterakan rakyat. ”Jangan biarkan
kaum kaya memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan warga kaya itu
sendiri” (Kompas, 17/10).
Kendati kemiskinan menurun dari 24 persen tahun 1999 menjadi
11,3 persen tahun 2014 atau setara 27,7 juta jiwa, pengurangan laju
kemiskinan mulai stagnan. Anggaran perlindungan sosial lewat program simpanan
keluarga sejahtera (Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, Kartu
Indonesia Sehat, dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera) hanya menjangkau 15,5
juta jiwa dengan total dana Rp 22,6 triliun atau 1,7 persen APBN 2015.
Bandingkan, misalnya, dengan alokasi dana untuk pembayaran utang yang
mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Pesannya menjadi jelas: politik
anggaran perlu perubahan radikal.
Kemelaratan kronis merupakan dampak struktur yang menindas.
Kearifan lokal dihancurkan. Petani menjadi ”tukang” di tanahnya sendiri.
Tukang menyemprot pestisida dan herbisida, menabur pupuk buatan pabrik,
menanam benih transgenik atau hibrid keluaran laboratorium, dan lemah posisi
tawar dalam mekanisme pasar. Segalanya harus dibeli dan diperoleh dari luar
ekosistem.
Pertanian kehilangan makna esensialnya sebagai penyerbukan
budaya. ”Tujuan puncak pertanian
bukanlah semata-mata panen berlimpah, melainkan mengolah dan menyempurnakan
manusia”, demikian ajaran Masanobu Fukuoka (Revolusi Sebatang Jerami, 1991).
Definisi pembangunan berkelanjutan dari World Commission on Environment and Development 1987 menegaskan: ”Development that meets the needs of the
present without compromising the ability of future generations to meet their
own needs”.
Utilisasi mengubah ekosistem alam sehingga konservasi adalah
keniscayaan. Pengelolaan sumber daya alam harus memenuhi asas keadilan, bukan
untuk satu generasi, melainkan antargenerasi. Dihubungkan dengan fakta
penguasaan aset nasional di tangan segelintir orang atau korporasi dan regulasi
yang tidak berpihak pada keadilan redistributif, jejak panjang kemiskinan
struktural agaknya masih berkelanjutan.
Kita belum terlambat membangkitkan koperasi impian Bung Hatta
sebagai sarana pemberdayaan dan pembelajaran demokrasi ekonomi, politik, dan
sosial. Redistribusi aset, pemerataan akses modal, dan kegotongroyongan
nasional membutuhkan saka guru kelembagaan yang berurat-berakar pada
keguyuban dan ekspresi komunitas.
Pergulatan
kepentingan
Kemunduran akal budi dapat ditelaah dari meruyaknya truisme,
hal-hal sepele yang menyedot energi, memorakporandakan etika, dan
mementingkan pragmatisme. Permufakatan elite tidak diarahkan untuk memilih
orang-orang terbaik, prioritas tertinggi, keberpihakan pada kepentingan
bangsa. Sebagian besar bercorak power
game ketimbang kemaslahatan untuk rakyat.
Pada hiruk-pikuk kasus Petral, kasus Freeport, serta rutinitas
kebakaran hutan dan lahan, kita kembali menyaksikan episode pergulatan
kekuatan pro dan kontra kepentingan nasional, yaitu mentalitas inferior dan relasi
”centeng-cukong” dengan semangat berdikari. Pada tingkat keputusan dan
kejelasan masa depan, kita belum melihat sikap negara dan perilaku
kenegarawanan.
Kita perlu merenungkan keindonesiaan agar belajar dari kegagalan
masa lalu, baik dari pengalaman bangsa sendiri maupun bangsa lain. Entitas
bangsa harus dipersatukan dan didorong meraih kemajuan otak-watak, berupaya
keras menghilangkan kawah-kawah nestapa, penumpukan sedimen kekecewaan, dan
kemelaratan rakyat.
Resep Bung Karno, 85 tahun silam, jelas bukan pemikiran usang.
Ia tetap menginspirasi. Kemajuan tidak melulu bersangkut paut dengan
simbol-simbol modernitas: kecanggihan, kecepatan, kebaruan, dan bertebarnya
seabrek monumen fisik. Yang hakiki mestilah bersumbu-alas pada tumbuh
suburnya kebenaran, keadilan, dan kecerdasan sebagai ladang persemaian
generasi unggul berkesinambungan. Singkatnya adalah mekarnya karakter
kecendekiaan dan kebajikan. Seturut dengan tesis Hans Morgenthau (Politics among Nations: The Struggle for
Power and Peace, 1948), yang tetap valid sampai sekarang: kunci kemajuan
bangsa adalah karakter manusianya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar