Eropa yang Tak Kompak
Retno Bintarti ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2015
Siapa yang
tak terkejut dengan insiden serangan teror di Paris? Sulit dipercaya, dalam
sekejap 130 orang tewas ditembak oleh teroris yang memberondongkan senjatanya
di tengah warga yang sedang menikmati awal akhir pekan, Jumat, 13 November
2015.
Mata dunia
langsung tertuju ke ibu kota Perancis, yang untuk kedua kalinya diguncang
teror senjata. Sebelumnya, pada 7 Januari, dua pria menyerbu kantor majalah
satir Charlie Hebdo dan mengakibatkan 12 tewas.
Eropa, yang
selama berbulan-bulan repot mengurus gelombang migran, mendadak siaga
terhadap segala kemungkinan. Perancis bahkan mengumumkan keadaan darurat
selama tiga bulan setelah serangan itu. Terorisme dan migran ternyata
terkait, ketika kemudian penyidik menemukan seorang pelaku yang meledakkan
diri di luar Stadion Stade de France menyamar sebagai migran asal Suriah yang
masuk ke Eropa melalui Yunani.
Keraguan akan
adanya penyusupan kaum radikal di antara pengungsi seakan mendapat
pembenaran. Yunani yang dianggap teledor meloloskan pengungsi tak mau
disalahkan begitu saja. Gugatan terhadap penanganan migran kembali muncul di
sejumlah negara di Eropa.
Mereka yang
sejak semula menentang kedatangan migran ke Eropa, berunjuk rasa. Pegida,
gerakan anti migran di Jerman, seperti mendapat energi untuk mengekspresikan
penolakan terhadap warga asing. Di Perancis, keunggulan anti migran ditandai
kemenangan partai ultra kanan, Fron Nasional, pada pemilihan lokal putaran
pertama, awal Desember, meski kemudian terkoreksi di putaran kedua.
Bagaimana
pun, serangan teror Paris kian menyudutkan para migran di seluruh dunia.
Apalagi, terjadi serangan bersenjata lain di San Bernardino, California,
Amerika Serikat, pada 2 Desember, yang merenggut 14 jiwa.
Hal ini pasti
berpengaruh terhadap nasib para migran atau mereka yang berniat bermigrasi.
Mereka semakin dipersulit dan dicurigai gerak-geriknya. Rencana paling
ekstrem disampaikan bakal calon Presiden AS, Donald Trump, yang bertekad
melarang warga Muslim masuk AS.
Korban laut
Menurut
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), jumlah migran yang masuk Eropa
selama 2015 diperkirakan mencapai 1 juta jiwa. Data menunjukkan, arus migran
mencapai puncaknya pada Oktober sebanyak 218.394 orang, nyaris setara
populasi migran yang masuk Eropa sepanjang 2014. Derasnya arus migran bulan
itu diduga karena desakan mengejar musim dingin yang mulai tiba.
Musim dingin
menambah masalah mengingat migran datang dengan bekal seadanya, menyeberang
laut, disambung naik bus atau jalan kaki puluhan kilometer. Laporan terbaru
IOM menyebutkan sejak 16 Oktober hingga Desember, 422 orang tewas saat
menyeberang Laut Tengah. Atau rata-rata 7 orang tewas dalam sehari.
Perjalanan
laut paling banyak menelan korban. Kematian bocah Aylan Kurdi (3) yang
ditemukan di pantai Bodrum, Turki barat daya, adalah tragedi yang mengguncang
dunia. Gambar bocah yang dibopong polisi Turki mengiris hati jutaan orang,
termasuk para pemimpin Eropa. Aylan ditemukan tertelungkup di pantai,
berpakaian lengkap dan sepatu. Ayahnya, Abdullah Kurdi, asal Koban, Suriah,
adalah satu-satunya yang selamat ketika kapal yang mereka tumpangi terbalik.
Peristiwa
seperti itu terus terjadi sepanjang 2015. Kota Pelabuhan Calais, Perancis,
menjadi salah satu tempat yang menjadi pusat perhatian. Tak kurang 3.000
orang mendirikan bedeng sementara sambil mencari kemungkinan menyeberang ke
Inggris. Kucing-kucingan dengan petugas terjadi kendati penjagaan sudah
sedemikian ketat. Sejumlah migran tewas terjatuh atau terjepit di antara
kendaraan yang ditumpangi. Masalah ini juga belum terpecahkan hingga akhir
tahun.
Pekerjaan
rumah Uni Eropa (UE) masih menumpuk dalam urusan migran ini. Tak heran,
berulang kali para pemimpin UE bertemu khusus membahas krisis pengungsi. Dari
pertemuan puncak, pertemuan luar biasa, pertemuan darurat, hingga pertemuan
puncak mini harus dilakukan guna mencari solusi yang ternyata tidak mudah.
Terakhir, pada 17 Desember, para pemimpin 28 negara UE kembali bertemu di
Brussels, dengan agenda utama lagi-lagi masalah migran.
Berbagai
keputusan sudah diambil, sebagian tampaknya tak jalan. UE sempat
memberlakukan sistem kuota, dengan maksud berbagi beban di antara
negara-negara berdasar kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, dan angka
pengangguran.
Ceko,
Slowakia, dan Romania, sejak awal menolak menampung migran. Jerman dan
Perancis sepakat mengambil hampir separuh dari 120.000 migran yang akan
direlokasi dari Yunani, Italia, dan Hongaria. Namun, program ini masih di
atas kertas. Relokasi baru mencapai angka ratusan orang saja. Itu pun
bermasalah, bukan hanya dari negara penerima, tetapi juga migran yang akan
dipindah. Puluhan pengungsi, misalnya, tak mau turun dari bus setelah melihat
tempat relokasi mereka di Swedia berada di tengah hutan sepi.
Terbelah
Eropa bisa
dikatakan terbelah dalam menangani soal migran. Jerman, Perancis, dan
Austria, sejak awal membuka pintu bagi migran yang berasal dari daerah
konflik, juga yang berasal dari negara-negara miskin di Afrika.
Negara-negara
Eropa Timur bersikap sebaliknya, keras menentang kehadiran migran di tanah
mereka. Diberlakukannya bebas visa Schengen dipertanyakan sejumlah anggota UE
yang melihat kebijakan ini rawan masalah.
Dimotori
Hongaria yang tegas- tegas menghalangi masuknya pengungsi, belakangan
sejumlah negara ikut-ikutan membentengi negaranya. Perdana Menteri Hongaria
Viktor Orban tak peduli dengan kritik dan keberatan petinggi Eropa dengan
memasang pagar tinggi dilengkapi dengan kawat berduri di perbatasan dengan Kroasia.
Akibatnya,
migran yang sudah telanjur menuju Hongaria harus memutar mengambil rute lain
untuk menuju ke Austria atau Jerman. Mereka masuk lewat Slovenia, menyebabkan
negara kecil berpenduduk 2 juta itu kalang kabut menerima rata-rata 2.500
migran per hari pada Oktober.
Austria
sebagai salah satu negara yang paling diminati di samping Jerman, Inggris,
dan Perancis, mulai gerah oleh membanjirnya migran. Mereka pun menyusul
membangun pagar di perbatasan dengan Slovenia. Kebijakan pintu terbuka,
pelan-pelan ditinggalkan. Hubungan Austria dan Jerman sempat terganggu karena
sikap ini.
Jerman dalam
soal ini terlihat paling bersahabat dengan migran. Paling tidak itulah yang
tergambar dari kebijakan Kanselir Angela Merkel. Berulang kali dia menggugat
sikap pemimpin UE yang menolak pengungsi. Merkel seolah mengundang migran
datang ke Jerman. Untuk memperlihatkan simpatinya, dia mendatangi kamp
pengungsi di Berlin.
Dengan
perkiraan ada 800.000 hingga 1 juta orang bermigrasi ke Jerman tahun ini,
Merkel berupaya keras agar arus tak semakin deras. Dia berinisiatif mengajak
Turki untuk bernegosiasi, menahan 2 juta migran yang ada di negara itu untuk
tak menyeberang. Pertemuan terakhir pemimpin UE di Brussels sepakat untuk
mempercepat penempatan pasukan penjaga pantai dan perbatasan. Namun, masalah
migran tetap akan membebani Eropa pada 2016. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar