Utopia
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “KREDENSIAL’ Kompas Minggu
|
KOMPAS,
20 Desember 2015
Thomas More
(1478-1535) dikenal sebagai seorang ahli hukum, ilmuwan, penulis, anggota
parlemen, dan Lord Chancellor Raja Inggris, Henry VIII. Ia membangun
reputasinya sebagai ilmuwan, antara lain, dengan berkawan akrab dengan
seorang teolog Katolik, Erasmus. Thomas More juga pernah terlibat berpolemik
dengan Martin Luther (1483-1546) mengenai Reformasi Protestan.
Cerita
tentang Raja Henry VIII ini sangat menarik. Raja Henry VIII yang semula
Katolik, memilih memisahkan diri dari Roma karena ingin menceraikan istrinya
dan kawin lagi—suatu hal yang tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan di
Gereja Katolik. Ia tidak hanya kawin lagi, tetapi juga mendeklarasikan diri
sebagai pemimpin tertinggi Gereja Inggris (1534) dan mendirikan Gereja
Anglikan.
Menurut
cerita, Henry VIII—yang sebelumnya bernama Henry Tudor—memiliki enam istri,
yang dua di antaranya dihukum pancung. Keenam istri Henry VIII adalah Ratu
Catherine, Mary Boleyn, Anne Boleyn (dihukum pancung), Jane Seymour,
Catherine Howard (sepupu Anne Boleyn, yang juga dihukum pancung), dan
Catherine Parr.
Akhir hidup
Thomas More sangat tragis, tidak berbeda dengan Anne Boleyn dan Catherine
Howard. Ia dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya. Hukuman mati itu
dijalani pada tanggal 6 Juli 1535. Thomas More dihukum mati karena menentang
keinginan Henry VIII menjadi pemimpin tertinggi Gereja Inggris, memisahkan
diri dari Roma, mendirikan Gereja Anglikan, dan menolak meninggalkan Gereja
Katolik.
Tindakan
Henry VIII itu mendorong Thomas More mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai penasihat raja. Akan tetapi, di luar, ia terus menyuarakan
perlawanannya, sampai akhirnya ditangkap, ditahan, dan dihukum mati.
Thomas More
dikenal dengan bukunya yang berjudul The
History of Richard III (1515) yang menggambarkan raja sebagai seorang
tiran. Inilah masterpiece/karya agung pertama historiografi Inggris. Namun,
yang paling kondang adalah karyanya yang diberi judul Utopia (1516).
Kata
’utopia’, seperti tertulis dalam kamus Merriam Webster, diambil dari kata
dalam bahasa Yunani, ou (no atau not atau tidak) dan topos
(place, tempat). Dari konsepsi
aslinya, kata utopia berarti sebuah tempat di
mana kita hanya memimpikan firdaus yang sesungguhnya. Barangkali
hampir sama dengan konsep Republic-nya Plato, yakni yang bercerita tentang
sebuah negara sempurna yang diperintah oleh para raja-filsuf.
Franz
Magnis-Suseno menulis, yang dimaksud utopi adalah segala macam pemikiran yang
membayangkan suatu masa depan yang ideal tanpa perhatian sama sekali terhadap
apakah masa depan itu nyata-nyata mungkin. Jadi, suatu khayalan tentang
situasi yang baik, di tanah yang ”penuh susu dan madu”, di mana tidak ada
lagi penderitaan, di mana manusia bersikap baik terhadap manusia, dan segala
tetes tangisan diisap dari muka mereka yang pernah menderita, khayalan
tentang zaman emas di mana segala-galanya akan menjadi baik (Dari Mao ke
Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin).
Zaman emas itu
seperti yang dilukiskan oleh Nabi Yesaya dahulu kala, ”Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring
di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama,
dan seorang anak kecil akan menggiringnya.”
Gambaran atau
cita-cita itu sekarang ini sangat tidak mungkin. Coba lihat apa yang terjadi
di Suriah—perang terus berkecamuk tiada henti. Nyawa manusia demikian murah.
Anggota kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah, yang oleh
masyarakat internasional dikategorikan sebagai kelompok teroris, membunuh
siapa saja yang tidak senapas, sehaluan dengan mereka. Konflik sektarian
muncul di banyak tempat, Pakistan, Nigeria, dan Afganistan, sekadar menyebut.
Di Perancis, dan juga di AS, orang membunuh dengan ringan, tanpa merasa
bersalah.
Di negeri
ini, Indonesia, rakyat disodori tontonan yang seolah-olah, seakan-akan
panggung demokrasi. Namun, senyatanya panggung sandiwara. Masih ingat bukan
bagaimana panggung sandiwara saat sidang MKD, beberapa hari lalu, dipertontonkan
kepada rakyat.
Sindhunata,
Pemimpin Redaksi Majalah Basis, pernah menulis, pada zaman ini, semua bisa
dipak menjadi kemasan barang. Barang-barang di mal atau supermarket dikemas
amat rapi. Kendati menarik dan indah, dalam kemasan itu tiada lagi kehidupan.
Semua diimpit-impitkan jadi kemasan ”beli tiga dapat empat” atau paling biasa
”beli satu dapat dua”.
Celakanya,
pada zaman ini tak hanya barang, tetapi harga diri, moral, etika, bahkan
idealisme pun dijadikan satu kemasan. Kemasan adalah format, semua bisa
masuk. Kemasan seperti kantong, yang bisa menampung apa saja. Yang tak cocok
pun bisa dimasuk-masukkan asalkan formatnya memungkinkan; asalkan memberikan
keuntungan. Partai politik berkoalisi betapapun berbeda asas dan idealisme
politiknya. Yang penting bisa diformat dalam satu kemasan karena politik
adalah barang dagangan. Suatu hal yang sangat umum saat pilkada.
Karena itu,
mengharapkan adanya ”zaman keemasan” adalah sebuah utopia belaka, seperti
dikatakan oleh Thomas More. Sama utopianya kelompok NIIS ingin melanjutkan
kebesaran Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) dengan menyatukan lagi
negara-negara Levant: meliputi wilayah Lebanon, Suriah, Jordania, Israel, dan
Palestina. Kadang-kadang, Siprus, Sinai, dan Irak juga dianggap sebagai bagian
dari Levant.
Namun,
sebagai hiburan bolehlah berutopia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar