Apa Kabar Revolusi Mental?
Mohammad Nuh ; Dosen Jurusan Teknik Elektro ITS dan Ketua
PB NU
|
JAWA
POS, 21 Desember 2015
SAAT kampanye calon presiden dan
wakil presiden 2014, calon presiden Joko Widodo membuat ’’gebrakan’’ tentang
pentingnya revolusi mental untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan
tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Apakah gagasan tersebut melalui
kontemplasi panjang dan mendalam sehingga tahapan-tahapan implementasinya
telah disiapkan dengan matang, atau impulsif yang pembenarannya dicarikan
sembari waktu berjalan.
Terlepas mana yang benar, bila
dilihat dari political marketing saat kampanye, gagasan tersebut berhasil
menarik perhatian publik. Memang, dalam dunia politik, janji politik
merupakan perkara yang bisa berbeda dengan apa yang harus dilakukan setelah
terpilih menjadi presiden. Yang penting rakyat memilihnya, penunaian janji
politik dipikirkan kemudian.
Ada tiga kelompok dalam menanggapi
gagasan revolusi mental. Pertama, mereka yang memiliki ikatan emosional dengan
capres Jokowi. Kelompok ini tentu menerima dan memperjuangkannya dengan
sertamerta. Berbagai cara dilakukan untuk memengaruhi pandangan dalam
membentuk opini publik, termasuk dominasinya di media massa dan media sosial.
Hal itu wajar dan harus dilakukan agar gagasan sang jago bisa diterima
publik.
Kedua, kelompok skeptis. Yakni,
mereka yang meragukan kompetensi dan kapasitas capres Jokowi untuk memimpin
gerakan yang sifatnya revolutif. Kelompok skeptis ini berkeyakinan, gagasan
revolusi mental akan lenyap bersamaan dengan perjalanan waktu.
Ketiga, kelompok
apresiatif-objektif. Yaitu, mereka yang menanggapi sebuah gagasan, dari siapa
pun dan apa pun, dengan baik sepanjang bertujuan untuk kebaikan. Hal ini
didasarkan atas pentingnya membangun tradisi dan budaya apresiatif, budaya
berterima kasih. Mereka menganggap gagasan itu sebagai ’’ijtihad’’. Kalau
salah dapat satu, kalau benar dapat dua. Kelompok ini tidak segan-segan
memberikan masukan untuk menyempurnakannya, Namun, pada saat yang sama,
mereka menolak gagasan yang dianggap tidak layak.
Ciri
Khas Revolusi
Sebagaimana lazimnya, sebuah
revolusi pasti terkait dengan perubahan yang sangat mendasar secara
menyeluruh atau bersifat modifikatif dan berlangsung dalam periode waktu yang
relatif singkat (Aristotle, Politics,
350 BC). Kalau perubahan dilakukan dalam waktu yang lama, namanya
evolusi.
Dalam sejarah, revolusi selalu terkait
erat dengan keberadaan aktor utama sebagai avant garde yang menjadi motor
gerakan revolusi tersebut. Mulai konsep sampai gerakan di lapangan. Sebut
saja: Vladimir Lenin (revolusi
Bolshevik, 1917), Sun Yat Sen (revolusi
Xinhai, 1911), Ayatollah Ruhollah Khomeini (revolusi Iran, 1979). Semua dilakukan dalam suasana gegap gempita
dan sangat masif.
Namun, ada juga yang dilakukan
secara diam-diam (tranquille atau quiette revolution) seperti yang
terjadi di Kanada (Quebec, 1950-an) dengan tokoh sentral Jean Lesage. Biaya
sosial, ekonomi, dan politik quiette
revolution (soft revolution)
jauh lebih rendah dibanding hard
revolution.
Model soft revolution ini sering digunakan pada revolusi profetik yang
dilakukan secara sistemis dan sistematis. Bahkan, terkadang proses
perubahannya sendiri tidak te- rasa, meski secara substansi telah mengalami
perubahan secara fundamental. Hal ini disebabkan pendekatan yang digunakan
dalam melakukan perubahan adalah keutuhan antara kebenaran (logika), kebaikan
(etika), dan keindahan (estetika). Manusia diletakkan sebagai pusat perubahan
dengan memanusiakan manusia (humanizing
the human being). Gerakan yang dilakukan Wali Sanga merupakan salah satu
contoh revolusi profetik.
Jadi, ciri khas revolusi, baik ’’hard revolution’’ maupun ’’soft revolution’’, selalu ada tokoh
sentral, ide, dan tahapannya sangat jelas dan matang, serta mampu menjadikan
revolusi tersebut sebagai kebutuhan bersama dan sangat mendesak untuk
dilakukan.
Bagaimana
dengan Revolusi Mental?
Pertanyaan itu muncul dari mereka
yang skeptis (kelompok kedua) yang sejak awal meragukan maupun kelompok
ketiga yang ingin melihat kelayakan gagasan revolusi mental. Pertanyaan
tersebut tidak boleh dijadikan sebagai pelemah atau pemberhenti, tetapi harus
dijadikan media dialektika untuk saling memperkuat dan menyempurnakan. Untuk
itu, diperlukan transformasi kepemilikan gerakan dari milik kandidat presiden
yang eksklusif menjadi gerakan milik bersama yang inklusif. Dari saya menjadi
kami dan kami menjadi kita.
Namun sayang, yang terjadi justru
sering kali terjebak pada eksklusifikasi dan segmentasi rezim dengan
memberikan label baru apa yang sudah ada untuk sekadar menjadi pembeda. Kalau
revolusi mental dirancang sebagai soft
revolution yang berkelanjutan, pasti lintas rezim pemerintahan, bahkan
lintas generasi serta berskala besar. Karena itu, diperlukan sistem rekayasa
sosial yang mampu mengemban tugas tersebut. Dan, sistem pendidikan merupakan
sistem rekayasa sosial terbaik dan teruji untuk melakukannya. Melalui sistem
pendidikan, peluang yang dihasilkan bukan hanya aspek mentalitas, melainkan
sekaligus aspek pengetahuan dan keterampilan.
Sejatinya, yang kita butuhkan
bukan sekadar masalah mental sebagai bagian dari sikap, melainkan keutuhan
antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kurikulum 2013 secara esensial
dimaksudkan untuk menjawabnya, jauh sebelum digulirkan revolusi mental.
Memang, kita diingatkan kembali dengan iklan revolusi mental yang gencar
akhir-akhir ini sebagai pertanda bahwa revolusi mental sedang berproses. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar