Apocalypse
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
28 Desember 2015
Mungkin Apocalypse Now! sedang dipertunjukkan di Timur Tengah sekarang.
Bukan sebagai film. Pada 5 Juli 2014, di Masjid Al-Nuri di Kota Mosul, Irak,
seseorang yang disebut sebagai Abu Bakar al-Baghdadi muncul dan memberi
khotbah Ramadan. Sorbannya hitam, jubahnya hitam, tubuhnya besar, wajahnya
angker dengan alis yang ketal; entah bagaimana prosedurnya, ia dianggap
sebagai Sang Khalif, pemimpin umat Islam sedunia. Dan sejak itu, sederet
laporan yang membingungkan mengalir lewat media dunia tentang apa yang dalam
bahasa Inggris disebut IS, Islamic
State, atau Daesh, akronim dari
ad-Dawlah al-Islmiyah fi'l-Irq
wa-sh-Shm.
Yang terdengar bukan hanya
proklamasi sebuah daulat, tapi juga pernyataan perang—bahkan lebih dari itu,
sebuah jalan brutal menyambut Hari
Akhir. Para prajurit IS menyembelih dengan begitu saja para tahanan
mereka untuk direkam dalam video dan dipertontonkan ke seluruh dunia. Mereka
menyalibkan musuh dan menembaki deretan manusia yang mereka tangkap. Mereka
menyerang lawan, bila perlu dengan menjadikan diri bom. Mereka membunuh di
mana saja, juga dalam konser, siapa saja yang mereka anggap kafir.
Dunia bingung, khususnya dunia
yang menganggap waktu berjalan ke depan, lurus, tak berbalik. Fanatisme dan
kebrutalan IS tampak bukan dari zaman ini, tapi daur ulang yang dibalik dari
kebuasan sejarah politik Timur Tengah abad ke-11, terutama oleh seorang
misterius bernama Hassan al-Sabbah. Orang ini memimpin organisasi rahasia
para pendukung dinasti Fatimiyah untuk secara sistematis membunuhi
tokoh-tokoh penguasa Seljuk, pengikut Sunni, yang berkuasa di Bagdad.
Al-Sabbah bersembunyi di pegunungan
di utara Suriah, di pelosok Mazanderan. Organisasinya diperkuat dengan para
dai yang menyebarluaskan doktrin perlawanan dan para fidayin yang melaksanakan dengan patuh ajaran dan instruksi sang
pemimpin. Para penulis sejarah mengatakan para fidayin melakukan pembunuhan sehabis mengisap hashish, supaya teler—dan sebab itu
mereka disebut hashashin, yang
dalam bahasa Inggris diucapkan sebagai assassin.
Memang mengherankan bahwa dendam
dan kebengisan menghantui bagaikan mambang Timur Tengah selama 1.000 tahun. Persekutuan antara Sunni dan Syiah terus berlanjut,
balas-membalas, hingga hari ini, sementara di dunia lain sengketa antar-umat,
kalaupun ada, tak seawet itu. Di dunia lain, waktu berjalan, zaman bergerak,
bahkan ada konsep "kemajuan", tapi tak demikian tampaknya di gurun
dan kota-kota Irak.
Bahkan bahasa bertahan dalam idiom
tua. Syekh Abu Muhammad al-Adnani, juru bicara Daesh alias IS, misalnya, menyerukan
agar orang kafir dihantam kepalanya dengan "batu karang" atau
diracuni atau "dirusak ladangnya"—ketika ia berbicara kepada
pengikutnya di Kanada dan Prancis di abad ke-21.
Adakah IS datang dari kapsul
waktu? Dapatkah orang lain zaman ini mengajak mereka ke dalam percakapan?
Ataukah mereka justru hendak menunjukkan bahwa perubahan zaman hanya fetish, sesuatu yang dianggap azimat
yang dipegang teguh?
IS, berbeda dengan gerakan radikal
sejak abad ke-19, mungkin sebuah keyakinan dystopia, antithesis dari utopia. Masa kini begitu buruk bagi
mereka, tapi masa depan juga tak menjanjikan dunia yang lebih baik—bahkan
masa depan hanya akan lebih berharga jika itu berarti Kematian dan Kiamat.
Tumbuh di masyarakat Irak dan Suriah, di mana politik bukan berarti
pembebasan, bukan pula berarti merebut keadilan, daulat yang mereka tegakkan
tak dilahirkan melalui proses politik. Bahkan praktis menolak politik. Daulat
mereka lahir dari dendam yang menahun dan putus asa yang tersembunyi.
Dendam itu terarah
ke "Barat". Perasaan ini tertanam sejak kolonialisme
menginjak-injak mereka, dan mencapai puncaknya—makin tajam, makin punya dasar—setelah pada 2003,
Amerika Serikat dan Inggris, dengan dusta besar yang dibiarkan dunia, menyatakan Irak
menyimpan "senjata pemusnah massal". Amerika dan Inggris pun
menyerbu negeri itu. Yang mereka tinggalkan: kehancuran yang berlarut-larut.
Di situlah putus asa merayap
masuk. Ada kesadaran bahwa dusta dan kesewenang-wenangan akan tetap bertahan,
berkuasa, dan tak akan bisa mereka kalahkan. Pintu tetap tertutup dan ruang
hidup terkutuk. Waktu tak berjalan ke depan.
Apocalypse
Now! Pembinasaan
semesta tak terjadi nanti, tapi hari ini—seperti yang digambarkan Kol. Kurtz
dalam film Francis Coppola itu.
Perang diledakkan tanpa dalih kecuali penaklukan, kekejaman dilakukan tanpa
sesal. Dengan kata lain, sebuah perspektif tanpa harapan.
"Aku
telah melihat horor... horor yang tak pernah kau lihat. Tapi kau tak berhak
menyebutku pembunuh. Kau berhak membunuhku... kau tak berhak
menghakimiku,"
kata Kurtz.
Tapi andai demikian, apa yang
berharga dalam karunia yang disebut hidup? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar