Minggu, 08 Agustus 2021

 

Sambutan Joe Biden dan Ancaman Tenggelamnya Jakarta

Neli Triana ;  Wartawan Kompas, Penulis kolom “Catatan Urban”

KOMPAS, 7 Agustus 2021

 

 

                                                           

”But what happens — what happens in Indonesia if the projections are correct that, in the next 10 years, they may have to move their capital because they’re going to be underwater?”

 

Itu adalah satu kalimat yang terselip di tengah pidato sambutan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli 2021. Sontak, lontaran Biden merajai peringkat topik pembicaraan di media sosial di Tanah Air. Ada opini di salah satu kanal daring media massa nasional menghubungkannya dengan kebijakan AS yang meminta negara-negara di Asia Tenggara tegas memihak padanya atau kompetitornya, China.

 

Mantan Presiden RI sampai Wakil Gubernur DKI Jakarta tak ketinggalan angkat bicara tentang hal ini, seakan-akan isu Jakarta tenggelam menjadi hal utama dalam sambutan Biden. Sesungguhnya, pemodelan masa depan Jakarta yang terendam hingga wilayah Monumen Nasional atau batas lain sudah mengemuka tahun-tahun sebelumnya.

 

Apakah sambutan Biden benar-benar menggarisbawahi tebal-tebal soal Jakarta yang akan tenggelam? Membaca salinan sambutan Biden yang dirilis resmi di situs The White House, kalimat yang menyebut ibu kota Indonesia bakal tenggelam itu ada di paragraf ke-52 dari sedikitnya 74 paragraf pidato. Satu-satunya kalimat tentang Indonesia disebut, entah memang diniatkan sejak awal atau sebatas menyebut contoh, ketika membicarakan perubahan iklim dan dampaknya sejak paragraf 48 hingga 56.

 

Secara umum, sambutan Biden dari awal hingga akhir berupa uraian tentang peran penting badan dan komunitas intelijen AS dalam mendukung pemerintahan dan presiden terpilih mengambil berbagai kebijakan yang tepat untuk melindungi segenap rakyat negara tersebut. Menurut Biden, pernyataannya itu telah terbukti dalam beberapa puluh tahun terakhir.

 

Ia lantas mengaitkan pentingnya peran intelijen di masa sekarang dan nanti. Menurut Departemen Pertahanan AS, seperti kata Biden, negara adidaya tersebut dan negara-negara lain kini menghadapi tantangan besar yang belum pernah dialami sebelumnya, yaitu dampak perubahan iklim. Untuk itu, Biden menyatakan, bahkan AS harus bekerja sama dengan kompetitor terbesarnya, yakni Rusia dan China.

 

”Ada hal-hal di mana kita seharusnya berada, di mana kita harus bekerja sama. Tantangan iklim telah mempercepat ketidakstabilan di negara kita sendiri dan di seluruh dunia: peristiwa cuaca ekstrem yang lebih mematikan; kerawanan pangan dan air; naiknya permukaan laut, mengakibatkan perubahan iklim dan mendorong migrasi yang lebih besar serta menimbulkan risiko mendasar bagi komunitas yang paling rentan,” kata Biden.

 

Lantas, ia menyinggung Arktik di Kutub Utara yang kian menghangat, pertikaian antarnegara memperebutkan lahan subur di Afrika Tengah, selain ancaman tenggelamnya sebagian kawasan pesisir utara Jakarta akibat kenaikan muka air laut.

 

Di kala Bumi tengah mengalami perubahan besar ini, sulit memastikan situasi yang terjadi dalam satu tahun atau satu dekade ke depan. Terlebih sekarang nasib seluruh dunia makin tak menentu karena terdampak pandemi Covid-19. Para ahli di bidangnya, termasuk yang direkrut dalam komunitas intelijen, menurut Biden, akan sangat menolong AS memahami situasi yang terjadi dan membantu pemimpinnya menentukan rute terbaik untuk tetap maju.

 

Terparah se-Asia Tenggara

 

Terlepas dari respons reaktif publik di Indonesia beserta ramainya tafsiran politik dari sekelumit kalimat Biden, seriusnya isu penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa, termasuk di Jakarta, adalah fakta yang tidak bisa dianggap remeh.

 

Penurunan muka tanah di Jakarta sudah terjadi sejak setengah abad silam.  Ditambah kerusakan lingkungan akibat salah kelola berkepanjangan, Jakarta selalu dirundung banjir, kesulitan air bersih, sampah di setiap jengkal lahannya, sampai kepadatan penduduk dan masifnya pembangunan. Kondisi Ibu Kota pun terus memburuk.

 

Profesor Tommy Firman, ahli perencanaan wilayah dari Institut Teknologi Bandung bersama tiga kolega peneliti dari Badan Pusat Statistik, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Universitas Indonesia, dalam salah satu risetnya pada 2010 lalu menyatakan, saat ini Pemprov DKI Jakarta belum memiliki kebijakan yang secara khusus disesuaikan dengan perubahan iklim.

 

Secara umum, menurut Firman dan teman-teman, Pemprov DKI memiliki kebijakan terkait mitigasi perubahan iklim, di antaranya  pembangunan sistem transportasi massal cepat yang meliputi jaringan sistem bus Transjakarta dan kereta cepat massal (MRT). Ada juga kebijakan konversi dari penggunaan kompor dengan bahan bakar minyak tanah ke gas. Selain itu, beberapa regulasi telah dikeluarkan DKI, antara lain, pengendalian kualitas udara, sumur resapan, pengendalian emisi gas dan lainnya, lubang resapan biopori, zona bebas asap rokok, dan rehabilitasi sungai/drainase.

 

Namun, Firman dkk menyatakan, dengan sekian banyak program itu pun DKI dinilai masih kekurangan kebijakan atau program adaptasi perubahan iklim yang berdampak lebih luas, seperti menahan laju amblesan tanah.

 

Merujuk studi Yusuf dan Fransisco (2009), Firman dkk menyatakan, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara menempati peringkat pertama dan kedua tempat paling rentan di Asia Tenggara. Jakarta Pusat paling berisiko banjir, padahal kawasan ini paling adaptif dibandingkan dengan kawasan lain di Ibu Kota. Sementara Jakarta Utara rentan kebanjiran yang dipicu curah hujan dan limpasan pasang air laut. Jakarta Timur, Barat, dan Selatan bukan berarti aman karena tetap masuk dalam daftar teratas berpotensi dilanda banjir.

 

Sebuah proyeksi simulasi dari peneliti lain, yaitu Susandi pada 2009, tulis Firman, menunjukkan, pada tahun 2050, beberapa daerah di Jakarta akan terendam air jika pemanasan global terus berlanjut. Kenaikan permukaan laut diproyeksikan menggenangi sebagian besar Jakarta Pusat dan kemungkinan besar akan menimbulkan dampak sosial ekonomi secara signifikan.

 

Merujuk ke studi lain di 2010, Firman dkk menyatakan, model Geographic Information Systems (GIS) menyimulasikan daerah tergenang untuk utara Jakarta—dan memperkirakan kondisi seperti 10 tahun lalu—paparan kerusakan akibat banjir ekstrem yang terjadi berkala dapat merugikan kota dan negara ini sebesar 4 miliar euro sampai 5,2 miliar euro.

 

Riset dari Haryanto (2009), menurut Firman, menyebutkan pula dampak banjir ekstrem ini mencakup merebaknya kelangkaan air dan beberapa wabah penyakit, antara lain, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, serta iritasi mata dan kulit.

 

Hentikan amblesan

 

Sepuluh tahun berlalu, bagaimanakah kondisi Jakarta di tahun 2021?

 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara khusus membahas masalah ini yang tertuang dalam siaran pers pada 3 Februari 2021. BPPT menyatakan, permasalahan terkait penurunan tanah (land subsidence) akibat tekanan lingkungan dari pembangunan perkotaan terjadi di beberapa kota besar di Asia, termasuk Jakarta.

 

”Kami di BPPT, melalui Tim INDI 4.0 (Indonesian Network for Disaster Information),  menemukan DKI dengan segala jenis kegiatan dan permukiman penduduk, mengalami permasalahan penurunan muka tanah selama 50 tahun terakhir,” kata Direktur Pusat Teknologi Reduksi dan Resiko Bencana (PTRRB) BPPT M Ilyas.

 

Pernyataan Ilyas diperkuat oleh peneliti kebencanaan PTRRB BPPT, Joko Widodo. Ia menyatakan, dari berbagai hasil kajian studi, ada empat jenis penyebab penurunan muka tanah di Jakarta, yaitu akibat ekstraksi air tanah, beban konstruksi, konsolidasi alami tanah aluvium, dan penurunan tanah tektonik. Penurunan muka tanah akibat ekstraksi atau pengambilan air tanah menjadi fenomena yang dominan terjadi di Jakarta. Laju maksimum penurunan tanah mencapai 6 sentimeter (cm) per tahun.

 

Baik Ilyas maupun Widodo menyatakan, sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah pelarangan pengambilan air tanah, terutama di area-area yang kritis mengalami amblesan dan sekaligus harus dapat menyediakan sumber air baku yang bersumber dari air permukaan sebagai penggantinya. DKI didesak melakukan pemantauan amblesan secara berkala dengan menggunakan teknologi yang tepat.

 

Pada masa pandemi, bukan berarti saran BPPT tidak bisa dilakukan. Menanggulangi pandemi dibutuhkan banyak terobosan strategi dari berbagai aspek, tak hanya kesehatan. Peningkatan kualitas hidup warga untuk mendukung terwujudnya kesehatan masyarakat, antara lain dapat dilakukan dengan menjamin ketersediaan air bersih melalui air perpipaan.

 

Untuk itu, DKI Jakarta harus mampu memegang kendali dalam pembangunan perluasan cakupan layanan air bersih perpipaan. Sudahi polemik berkepanjangan terkait hal ini. Di sisi lain, kucuran investasi di bidang ini dapat pula turut mendongkrak perputaran roda ekonomi membantu pemulihan ekonomi yang terdampak Covid-19.

 

Mencerna ucapan-ucapan Biden saat menutup sambutannya, ia meyakini kemampuan pemerintah menanggulangi berbagai isu strategis dapat ditingkatkan dengan menggamit orang-orang dengan kapasitas ilmiah yang signifikan. Keamanan publik ia yakini dapat dicapai dengan upaya itu.

 

Tunggu apalagi, kita pun bisa! Ayo! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar