Dekarbonisasi,
Belajar dari Pandemi Covid-19 Yohanes Handoko Aryanto ; Senior Expert Business Trend – Pertamina
Energy Institute |
KOMPAS, 6 Agustus 2021
Jika
ada dua hal yang bisa kita pelajari dari pandemi Covid-19, maka yang pertama
adalah, dampak dari bencana global ini harus diatasi secara domestik oleh
setiap negara, perusahaan, bahkan individual di tingkat terendah dalam
tatanan sosial. Kedua,
kerja sama dan kepedulian sosial sebagai satu umat manusia masih sulit
terjadi. Hal ini tercermin dari lonjakan kasus Covid-19 dan distribusi vaksin
yang belum merata secara global. Laporan World Bank juga menunjukkan
peningkatan jumlah kemiskinan ekstrem dan penurunan indikator kemakmuran
bersama, yang menunjukkan terjadinya peningkatan kesenjangan sosial selama
pandemi. Dalam
teori permainan, situasi ini sering disebut sebagai prisoner’s dilemma,
situasi ketika masing-masing pihak bertindak sendiri-sendiri untuk
mengoptimalkan keuntungan dan kesejahteraannya. Hal
serupa terjadi dalam aksi melawan perubahan iklim melalui komitmen
dekarbonisasi atau net-zero emission yang semakin gencar. Prisoner’s dilemma
terjadi ketika aksi melawan perubahan iklim dilakukan secara tidak selaras
oleh setiap entitas. Di
tataran negara, hal ini tercermin dari perbedaan kebijakan dan komitmen
penurunan emisi karbon, seperti yang dapat dilihat dalam dokumen Nationally
Determined Contribution (NDC) setiap negara dalam persetujuan Paris. Di
tataran bisnis, hal ini terlihat dari komitmen dan tindakan yang sangat
beragam dalam upaya dekarbonisasi. Permasalahannya,
perbedaan ini tidak akan mengoptimalkan hasil bersama, malah berpotensi
menimbulkan berbagai permasalahan baru di masa mendatang. Tujuan mulia versus ekonomi Memang,
tindakan melawan perubahan iklim terlihat sebagai sebuah tujuan mulia. Namun,
dunia masih dikuasai uang. Ketika penguasa dana seperti kreditur atau
investor ingin tindakan lebih dalam melawan perubahan iklim, perusahaan
tentunya harus menarik hati mereka dengan komitmen dan aksi. Sementara
itu, para penguasa dana ingin melawan perubahan iklim karena risiko perubahan
iklim terhadap investasi mereka semakin besar dan nyata. Berdasarkan laporan
Munich Re (2021), kerugian finansial yang ditimbulkan karena perubahan iklim
pada tahun 2020 secara global mencapai setidaknya 210 miliar dollar AS. Sebuah
bukti bahwa dunia lebih memilih cara transisi yang menghasilkan uang daripada
mengorbankan beberapa porsi keuntungan demi masa depan bumi adalah teknologi
penangkapan karbon, yang sering disebut sebagai CCS/CCUS. Dua dekade lalu,
teknologi ini digadang-gadang sebagai solusi menurunkan emisi karbon dalam
5-10 tahun ke depan. Faktanya, harapan ini kembali terulang pada dekade lalu
dan terulang lagi sekarang. Teknologi yang sudah ada sejak lima dekade lalu
ini perkembangannya sangat lambat, dan ‘hanya’ kembali menjadi harapan karena
permasalahan keekonomian. Memang,
tidak dapat dipungkiri bahwa transisi hijau memerlukan dana yang besar.
Sebagai contoh, kendaraan listrik memerlukan infrastruktur pengisian daya,
jaringan listrik, dan peningkatan daya. Belum lagi bahan baku baterai perlu
ditambang secara masif, walaupun berdampak negatif terhadap lingkungan. Sumber
energi baru terbarukan (EBT) juga memiliki permasalahan intermitensi
(berjeda) dan rentan terhadap disrupsi perubahan iklim, terbukti dari
kejadian disrupsi cuaca dingin di Texas maupun gelombang panas di Kalifornia.
Situasi semacam ini memerlukan mitigasi risiko ketahanan energi yang tentunya
juga membutuhkan pendanaan. Pentingnya harmonisasi Faktor
ekonomi menyebabkan disharmoni, padahal keselarasan sangat diperlukan dalam
dekarbonisasi. Sebagai contoh, jika transisi di sisi permintaan energi
didorong melalui elektrifikasi kendaraan, sementara dari sisi pasokan listrik
masih mengandalkan batu bara, maka yang akan terjadi adalah peningkatan emisi
karbon untuk menghasilkan listrik. Di
sektor migas, hal sebaliknya terjadi. Ketika raksasa-raksasa migas barat
mendapatkan tekanan dari aktivis dan investor untuk bertindak lebih dalam
mengatasi perubahan iklim, terjadi peralihan investasi ke EBT dan pelepasan
aset migas tinggi karbon. Sementara dunia masih membutuhkan bahan bakar
fosil. Kurangnya investasi hulu migas, yang terbukti dari tren penurunan
cadangan migas perusahaan barat menjadi rata-rata di kisaran 10 tahun, akan
meningkatkan risiko krisis pasokan di masa mendatang. Untuk
melawan perubahan iklim, dunia harus bekerja sama, dan menyelaraskan peta
jalannya berbasiskan data dan ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Negara-negara perlu bersinergi dalam tindakan bersama. Negara berkembang yang
masih memerlukan energi untuk pertumbuhan ekonominya perlu dibantu oleh
negara-negara maju. Keunggulan sumber daya yang berbeda-beda di setiap wilayah
dunia juga perlu dioptimalkan secara bersama. Dari
sisi binis, peta jalan perusahaan di sisi pasokan energi harus diselaraskan
dengan peta jalan perusahaan di sisi permintaan, dan keduanya perlu
diselaraskan di tingkatan negara maupun global. Tempo transisi juga harus
diselaraskan oleh semua pihak. Lebih penting lagi, diperlukan percepatan
perubahan pola konsumsi energi yang harus didorong melalui kesadaran
konsumen. Masalahnya,
kerja sama secara masif yang mendahulukan masa depan Bumi semacam ini belum
pernah terjadi dalam sejarah. Namun, Indonesia perlu mencoba untuk
mempengaruhi dunia. Jika tidak, taruhannya terlalu besar. Kita hanya punya
satu rumah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar