Selasa, 03 Agustus 2021

 

Amendemen UU Otsus dan Depolitisasi Papua

Arie Ruhyanto ;  Doctoral Researcher International Development Department University of Birmingham, Inggris

KOMPAS, 3 Agustus 2021

 

 

                                                           

Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 15 Juli 2021, mengesahkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus Papua).

 

Sebelumnya, pembahasan RUU revisi Otsus Papua yang berlangsung sejak pertengahan Februari lalu melewati dinamika proses yang cukup tajam.

 

Pemerintah pada awalnya hanya mengusulkan perubahan pada tiga pasal, yakni terkait nama provinsi, dana otsus, dan pemekaran provinsi. Dalam perkembangannya, revisi meluas menjadi 20 pasal, mencakup 15 pasal usulan DPR, 3 pasal usulan pemerintah, dan 2 pasal tambahan baru.

 

Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah, apakah perubahan-perubahan tersebut dapat memberikan peluang lebih besar bagi upaya menghadirkan kesejahteraan dan perdamaian di Papua?

 

Keuangan dan kelembagaan

 

Jika kita telisik lebih jauh, revisi UU Otsus Papua yang sepintas tampak komprehensif tersebut ternyata secara garis besar hanya berfokus pada sebagian kecil aspek yang diatur dalam UU Otsus Papua tahun 2001, yaitu terkait aspek kelembagaan dan keuangan.

 

Aspek-aspek yang lebih mendasar yang selama ini menjadi latar belakang berbagai konflik dan ketegangan sosial di Papua, seperti aspek politik, sejarah, hak asasi manusia (HAM), serta relasi sosial antarkelompok masyarakat tidak menjadi perhatian dalam revisi kali ini.

 

Dari 20 pasal perubahan dan tambahan yang disepakati oleh pemerintah dan DPR tampak jelas bahwa yang lebih dikedepankan adalah persoalan keuangan dan penataan kelembagaan. Pada aspek keuangan terdapat penambahan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen.

 

Selebihnya, revisi undang-undang berkonsentrasi pada penataan kelembagaan, seperti kewenangan provinsi dan kabupaten/kota, susunan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di tingkat provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) di tingkat kabupaten/kota, pengisian gubernur dan wakil gubernur, serta kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP).

 

Revisi penataan kelembagaan juga dilakukan dengan memberikan keleluasaan bagi pemerintah pusat untuk membentuk provinsi-provinsi baru di Papua, di samping mekanisme bottom up yang ada selama ini.

 

Revisi UU Otsus juga mengamanatkan dibentuknya badan khusus yang bertugas mengoordinasikan dan mengawasi implementasi otonomi khusus. Lembaga ini nantinya bertanggung jawab secara langsung kepada presiden melalui wakil presiden.

 

Institusi serupa pernah dibentuk pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang mandatnya tidak diperpanjang setelah habis masa berlakunya pada 2014.

 

Depolitisasi dan dominasi?

 

Sejak awal pembahasan revisi UU Otsus, secara eksplisit Menteri Dalam Negeri menyatakan menghindari pembahasan pasal-pasal yang bersifat politik sebagaimana diusulkan oleh beberapa fraksi di DPR.

 

Menurut Mendagri, pembahasan topik-topik politis, seperti sejarah dan pelanggaran HAM, akan memakan waktu berlarut-larut. Sementara revisi UU harus segera ditetapkan untuk memberikan payung hukum, antara lain, bagi penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 dan pembentukan provinsi baru di Papua.

 

Pemerintah bahkan dengan tegas menolak 34 dari 44 daftar inventarisasi masalah (DIM) usulan fraksi-fraksi yang dipandang tidak sejalan dengan usulan pemerintah. Di antara usulan yang ditolak oleh pemerintah, antara lain, menyangkut persyaratan calon bupati/wakil bupati dan calon wali kota/wakil wali kota harus orang asli Papua (OAP), partai politik di Papua, dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

 

Bahkan, ketentuan tentang partai politik lokal yang tertuang di Pasal 28 dihapus dengan alasan ketentuan tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Penolakan terhadap usulan-usulan yang terkait dengan isu politik tersebut dapat dibaca sebagai upaya pemerintah untuk melakukan depolitisasi atas persoalan Papua.

 

Dengan diabaikannya pembahasan terkait topik-topik mendasar terkait politik, keamanan, dan pelanggaran HAM, sudah dapat dipastikan revisi UU Otsus kali ini tetap tak akan mampu menjawab seluruh persoalan Papua.

 

Di sisi lain, fokus pada aspek keuangan dan kelembagaan dapat dipandang sebagai upaya memperkuat dominasi pemerintah pusat di Papua.

 

Dengan ketergantungan daerah yang semakin besar terhadap dana otsus, pemekaran yang dapat dilakukan secara top down, serta pembentukan lembaga di tingkat pusat yang khusus mengawasi implementasi otsus, maka kendali pusat terhadap Papua semakin kuat.

 

Apakah hal ini akan lebih baik bagi upaya perdamaian di Papua, tentunya sangat dipertanyakan di tengah tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat Papua secara umum terhadap pemerintah pusat.

 

Alih-alih menciptakan ketergantungan dan memperkuat pengendalian, tulisan ini mengusulkan agar pemerintah mulai menyentuh aspek politik dan hak asasi manusia seraya memperkuat pemberdayaan birokrasi dan masyarakat Papua. Reorientasi ini penting agar 20 tahun ke depan kita tidak terus menghadapi persoalan yang sama di Papua. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar