Minggu, 13 Desember 2015

Ular dan Merpati

Ular dan Merpati

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 13 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kisah tentang ular sudah setua dunia ini. Dalam tradisi Kristiani dan Yahudi, ular disebut sebagai biang kerok jatuhnya manusia pertama Adam dan Hawa ke dalam dosa. Adalah Hawa yang mengikuti bujukan ular untuk memakan ”buah terlarang”. Sejak saat itu, manusia harus mengalami ”kematian”, dan ular dikutuk menjadi binatang melata, yang hanya bisa merayap dengan dadanya, tidak punya kaki; merayap berlenggang lenggok, tidak pernah lurus.

Tetapi, ular juga dikenal memiliki kelebihan: memiliki bisa, racun yang mampu melumpuhkan lawan, atau bahkan mematikan. Ada banyak jenis ular yang memiliki racun sangat mematikan. Bergerak begitu cepat saat memagut. Gerakan pagutan cepat itu membuat lawan yang tak siap, yang tak waspada, jatuh tak berdaya.

Ular juga disebut sebagai binatang yang cerdik; bahkan kadang disebut licik ketika menghadapi lawan: tahu kapan harus menyerang dan kapan harus mencari selamat. Ular tahu di mana tempat yang aman. Itulah sebabnya, ia dikenal sebagai binatang yang cerdik, licik, lihai, agresif, ahli taktik, ahli strategi, sabar, ulet, dan tangkas walaupun sebenarnya pandangan mata ular terbatas.

Binatang ini juga digolongkan sebagai ”setan” atau ”iblis”. Hal itu barangkali berkaitan dengan bujuk-rayunya yang menjatuhkan Hawa dan kemudian Adam ke dalam dosa. Kepalanya pun diinjak oleh Maria, Siti Maryam. Namun, dengan ular—yang tercipta dari tongkatnya—dahulu kala Musa mengalahkan Firaun dan para tukang sihirnya. Semua ular yang diciptakan tukang sihir Firaun mati dimakan ular ciptaan Musa.

Begitu lengkap gambaran tentang ular. Yang pasti dia dikenal sebagai binatang yang cerdik, sampai-sampai Immanuel Kant (1724-1804), filosof Jerman yang dipandang sebagai pemikir paling berpengaruh pada zaman pencerahan dan salah seorang filosof terbesar sepanjang masa, pernah mengatakan, ”Karena itu, jadilah cerdik seperti ular” dalam berpolitik.

Sifat ular yang cerdik, luwes, gesit, mematikan, dan jalannya yang tidak bisa lurus alias berbelok-belok, serta cenderung licik mengilhami dunia politik dan orang berpolitik. Politisi, menurut Cicero—Marcus Tullius Cicero—(106-43 SM), seorang orator, ahli hukum, politisi, dan filosof zaman Romawi, adalah makhluk yang ulet. Keuletan, ditambah kecerdikan dan kelicikan, serta kemampuan berkelok-kelok, bermanuver, itu yang akan memberikan hasil dalam dunia politik.

Namun, Kant masih menambahkan, ”... dan tulus seperti merpati.” Jadi, lengkapnya, ”jadilah cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Di sini, merpati menjadi unsur moral yang membatasi kecerdikan ular itu. Merpatidigambarkan sebagai burung yang setia. Walaupun Cicero mengatakan, ”Jikalau ingin balas budi, kesetiaan, belilah anjing.” Merpati juga menjadi lambang kesetiaan. Ia lambang perdamaian.

Merpati adalah burung yang pada umumnya hafal jalan pulang ke tempat asalnya, terbang berkilo-kilometer. Walaupun dilepas di tempat yang jauh, ia sanggup untuk kembali ke rumah tempat ia dibesarkan. Ini bentuk kesetiaan. Merpati juga lambang ketulusan.

Ular memang begitu cerdik dalam menangkap mangsanya; begitu sabar dan tenang untuk mencari waktu yang tepat dalam menangkap mangsanya. Hemat tenaga dan sukses, itulah yang terjadi dalam kecerdikannya. Dengan kata lain, ia sungguh memfungsikan otak atau pikirannya. Merpati yang berwarna putih cemerlang sering digunakan sebagai simbol kesucian, kejernihan, dan ketulusanhati. Karena itu, ”ular dan merpati akan berbaringbersama, tetapi merpati akan sulit tidur.”

Sayangnya, pada zaman kini, dalam berpolitik tidak pernah ada cerita ”cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Yang ada adalah cerdik dan bahkan licik seperti ular. Tidak ada lagi ”ketulusan merpati”.

Hal itu seperti menegaskan apa yang pernah dikatakan oleh Niccolo di Bernardo Machiavelli (1469-1527): seorang penguasa harus mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang, dan bahwa menggunakan salah satu tanpa yang lainnya tidak akan dapat bertahan. Kedua sifat ini memang harus dimiliki penguasa. Dalam hal sifat binatang, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa harus menjadi rubah agar mengenal perangkap-perangkap dan menjadi singa untuk menghalau serigala-serigala. Tetapi, dalam praktiknya, sifat binatang lebih menonjol dibandingkan dengan sifat manusia.

Sifat ular, atau rubah, atau harimau, semuanya adalah sifat binatang. Sifat yang tanpa akal budi, tidak ada hati, dan tidak memiliki rasa malu. Padahal, dunia politik—bentuk usaha yang paling baik untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan—sekarang ini membutuhkan sifat manusia, yang tahu malu, tahu diri, welas-asih, kalau salah mengaku salah, yang menghargai martabat manusia. Semua itu tidak akan kita temukan dalam dunia politik sekitar kita. Yang kita saksikan sekarang ini benar-benar politik dalam arti yang sebenar-benarnya, arti telanjang: politik riil, yakni pertarungan kekuatan dan kecenderungannya adalah ”tujuan menghalalkan cara”.

Tidak ada merpati di sana. Yang ada hanyalah ular, rubah, dan harimau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar