Senin, 14 Desember 2015

Pertaruhan Kehormatan Mahkamah Kehormatan Dewan

Pertaruhan Kehormatan Mahkamah Kehormatan Dewan

W Riawan Tjandra  ;  Pengajar Magister Ilmu Hukum 
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
                                               KORAN TEMPO, 07 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kehadiran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam sistem parlemen tak terlepas dari gejala pemurnian fungsi kelembagaan yang berkembang dalam sistem ketatanegaraan di republik ini. Hal itu terkait dengan pergeseran paradigma konstitusi dari sistem distribusi kekuasaan negara menjadi pemisahan kekuasaan negara yang sudah lama dipikirkan oleh para pemikir besar, seperti Immanuel Kant, John Locke, dan Montesquieu.

Dengan kian kuatnya pengaruh konsep pemisahan kekuasaan negara, masing-masing lembaga negara berupaya menyelesaikan sendiri jika terjadi kasus-kasus pelanggaran etika yang menyeret sebagian oknum fungsionarisnya melalui sarana peradilan etik (ethical court), yang ditempatkan sebagai sistem kontrol internal pada masing-masing lembaga tinggi negara tersebut.  Hal itu pernah dipraktekkan di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian pula pada Pasal 119 sampai 149 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang telah diamendemen dua kali (UU MD3), juga menghadirkan institusi peradilan etik yang diberi nama MKD.

Jika berkaca pada tugas dan kewenangan MKD sebagaimana diatur dalam UU MD3, terlihat sederet kewenangan MKD yang menyerupai lembaga peradilan karena diberikan wewenang untuk memutuskan dugaan pelanggaran etik anggota DPR dengan mencantumkan kepala putusan yang berkekuataan eksekutorial seperti lembaga peradilan, yaitu memutuskan "dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan demi kehormatan DPR".

MKD diberikan kewenangan penuh untuk memeriksa pengaduan (pasif) ataupun berdasarkan inisiatif sendiri (proaktif) terhadap dugaan terjadinya pelanggaran etik ataupun hukum yang menyeret keterlibatan anggota DPR. Pengaturan mengenai kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran etik ataupun hukum dengan menggunakan alat-alat bukti yang memiliki kualitas paralel dengan sistem peradilan ini telah menempatkan MKD berkarakter yudisial, bukan lagi politis, meskipun berkedudukan sebagai salah satu unsur dari sembilan alat kelengkapan DPR.

Pengaturan mengenai mekanisme peradilan etik secara internal pada masing-masing lembaga tinggi negara merupakan upaya untuk memastikan independensi dan kehormatan masing-masing lembaga tinggi negara, termasuk DPR, dalam perspektif sistem demokrasi konstitusional. Melihat praktek empiris yang telah dijalankan oleh masing-masing institusi pengawasan etik dari masing-masing lembaga tinggi negara di republik ini, di saat sebagian anggotanya terseret kasus-kasus etis ataupun hukum, mampu membuktikan sistem pengawasan etis-internal masing-masing lembaga tersebut telah dapat mempertahankan kehormatan institusi-institusi tersebut.

Ujian serius kini harus dihadapi DPR sebagai lembaga perwakilan politik yang ditempatkan sebagai lembaga perwakilan rakyat dengan fungsi representasinya. Kasus yang menimpa Ketua DPR Setya Novanto, terkait dengan kasus "papa minta saham", akan menjadi ujian sangat serius bagi kehormatan DPR. Selama ini kepercayaan rakyat terhadap para wakil rakyat di Senayan kian berada di titik kritis, mengingat rendahnya kualitas dan integritas para wakil rakyat tersebut.

Jika merujuk pada Pasal 120 dan 121 UU MD3 memang terkesan bahwa ketentuan tersebut mengunci komposisi keanggotaan dan pimpinan MKD yang harus berasal dari perimbangan secara proporsional dari fraksi-fraksi di DPR dan tak memungkinkan diambil dari unsur independen dari luar lembaga legislatif tersebut.

Ketentuan ini terlihat paradoksal dalam dua hal. Pertama, tujuan pembentukan MKD adalah menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kedua, mekanisme pemeriksaan/persidangan MKD pada Pasal 132 sampai 146 UU MD3 yang dinisbahkan lebih berkarakter yudisial daripada politis untuk mewujudkan obyektivitas persidangan MKD.

Cara berpikir paradoksal tersebut mengesankan bahwa MKD, oleh DPR yang membentuknya, "dilepas kepalanya, tapi dipegangi ekornya". Maka, harapan publik yang sangat luas mengenai keberhasilan MKD untuk menuntaskan kasus "papa minta saham" bisa terdistorsi oleh proses politis yang membelit eksistensi dan pelaksanaan fungsi MKD. Padahal, keberhasilan MKD untuk membongkar kasus ini dapat menjadi pintu masuk untuk membongkar sederet kasus lain yang berkaitan dengan interaksi negatif antara aktor/oknum negara dengan aktor/oknum privat dalam sejumlah kasus pertambangan lain.

Kegagalan MKD dalam melaksanakan fungsinya sejatinya bisa menggerogoti eksistensi demokrasi perwakilan dari dalam sistem perwakilan itu sendiri. Di titik ini, para oknum elite DPR dalam sistem demokrasi perwakilan di republik ini sudah menebar racun maut di gelas perjamuannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar