Inspeksi Perguruan Tinggi
Ester Lince Napitupulu ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
17 Desember 2015
Status perguruan tinggi nonaktif
yang mencuat sempat meresahkan, bukan saja mahasiswa yang dipertaruhkan masa
depannya, melainkan juga perguruan tinggi yang mendapat status tersebut.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sampai membuat tim khusus
untuk mengecek perguruan tinggi yang dinilai "bermasalah" dengan
inspeksi mendadak ke kampus ataupun saat pelaksanaan wisuda.
Meskipun baru-baru ini istilah
perguruan tinggi nonaktif diubah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Kemristekdikti) dengan istilah "dalam pembinaan", hal itu
tetap tidak menutup fakta bahwa perguruan tinggi di Indonesia masih belum
sepenuhnya ideal dalam menjalankan peran mencerdaskan kehidupan bangsa.
Praktik-praktik "kotor" juga telah mencengkeram dunia pendidikan
tinggi di Indonesia.
Per 29 September 2015 terdata 243
perguruan tinggi berstatus nonaktif di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
(PDPT). Status nonaktif itu karena pelanggaran, seperti laporan data selama
empat semester berturut-turut tidak diberikan, rasio dosen dan mahasiswa
tidak ideal, pelaksanaan pendidikan di luar kampus utama tanpa izin, konflik,
yayasan tidak aktif, tidak lapor saat ganti yayasan, serta pindah kampus
tanpa laporan.
Patdono Suwignjo, Dirjen
Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Kemristekdikti, kala itu mengatakan, keberadaan status nonaktif untuk
mengedukasi masyarakat agar lebih paham tentang perguruan tinggi bermutu.
Konsekuensi status nonaktif antara lain pemerintah tidak memproses pengusulan
akreditasi dan pengajuan penambahan program studi baru. Sertifikasi dosen
tidak dilayani. Pemberian hibah atau beasiswa pun dihentikan. Sanksi kepada perguruan
tinggi itu lama-lama berimbas pula kepada mahasiswa.
Diterjunkannya Tim Evaluasi
Kinerja Akademik Perguruan Tinggi bentukan Kemristekdikti ternyata juga
menguak banyak hal soal praktik tak wajar dalam dunia pendidikan tinggi
Indonesia. Sejumlah perguruan tinggi didapati berpraktik kotor dalam
kelulusan mahasiswa. Praktik jual beli ijazah terjadi tanpa harus melalui
proses perkuliahan yang seharusnya. Ada pula manipulasi data dosen sehingga
seolah-olah perguruan tinggi tersebut telah memenuhi syarat minimal untuk
menjalankan program studi di level S-1, S-2, ataupun S-3.
Di Bekasi, Jawa Barat, misalnya,
ada perguruan tinggi swasta yang dilaporkan masyarakat bisa mengeluarkan
ijazah meski mahasiswa baru kuliah enam satuan kredit semester. Ada pula lembaga
kursus yang aman beroperasi sejak 1993 menjual ijazah S-1 hingga S-3 dengan
mencatut nama sebagai cabang dari University of Berkeley di Amerika Serikat.
Anehnya, ada rektor perguruan tinggi yang juga lulusan dari program doktor
palsu lembaga itu.
Pemalsuan ijazah tidak lagi
terbatas pada membuat dokumen ijazah asli tetapi palsu alias aspal perguruan
tinggi tertentu oleh oknum. Praktik itu juga dilakukan perguruan tinggi resmi
dengan menawarkan ijazah dari perguruan tinggi bersangkutan tanpa harus menjalani
perkuliahan seharusnya. Sepanjang mahasiswa membayar uang, ijazah legal dari
kampus itu bisa keluar.
Gonjang-ganjing perguruan tinggi
nonaktif yang mengacu pada PDPT mencuatkan juga istilah "wisuda
bodong". Setelah menelusuri PDPT, sumber dari tim di Kemristekdikti
mengungkapkan, masih terjadi wisuda bodong di salah satu universitas swasta
di Sulawesi Selatan, Senin (14/12). Jumlah calon wisudawan 329 orang. Jika
mengacu pada PDPT, hanya sembilan orang yang memenuhi syarat.
Anehnya, perguruan tinggi yang
terindikasi bermasalah itu ada yang memiliki nilai akreditasi baik dari
satu-satunya lembaga akreditasi yang diakui pemerintah, Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Persoalan merembet pada kelayakan hasil
akreditasi sebagai acuan jika di lapangan akreditasi tidak mencerminkan mutu
sesungguhnya.
Kepala BAN-PT Mansyur Ramly
mengatakan, dalam memenuhi syarat akreditasi, ternyata ada perguruan tinggi
"nakal". Ada syarat kelengkapan minimal, seperti laboratorium,
gedung, dan dosen, yang ternyata sewaan, seolah-olah mereka memiliki sendiri.
Asesor perlu dibekali juga untuk bisa mengendus praktik seperti itu.
Ancaman
penutupan
Terkait soal ijazah palsu, baik
yang dikeluarkan dengan membuat dokumen aspal maupun yang dikeluarkan
perguruan tinggi dengan cara ilegal, Menristekdikti Muhammad Nasir
berkali-kali menyebutkan tidak akan mentoleransi hal itu. Pernah pula secara
simbolis Nasir menyerahkan dokumen sebagai bukti pelanggaran kepada Kepala
Polri. Namun, hingga saat ini, kelanjutan pengusutan kasus dugaan pemalsuan
ijazah itu sunyi senyap.
"Kami
tegas soal pemalsuan ijazah. Ada ancaman pidana untuk yang memalsukan ijazah.
Kami akan tutup perguruan tinggi yang memalsukan ijazah," ujar Nasir.
Pada awal Oktober lalu, sedikitnya
enam perguruan tinggi swasta direkomendasikan ditutup karena terindikasi
melakukan jual beli ijazah. Keseriusan pemerintah diuji untuk membuktikan
tidak ada peluang bagi perguruan tinggi yang melakukan praktik kotor, yang
hanya berorientasi selembar ijazah dalam melaksanakan peran mulia perguruan
tinggi.
Kini, berbagai langkah
"kompromi" dilakukan Kemristekdikti. Contohnya soal pemenuhan
nisbah dosen dengan mahasiswa. Selama ini, nisbah itu hanya menghitung dosen
tetap, yakni yang mempunyai nomor induk dosen nasional. Belakangan, syarat
nisbah itu bisa juga dipenuhi dengan dosen khusus yang diberi nomor induk
dosen khusus. Kebijakan itu cukup efektif menyelamatkan perguruan tinggi yang
masuk kategori bermasalah atau dalam pembinaan.
Kemristekdikti juga masih memberi
kesempatan bagi perguruan tinggi nonaktif yang dalam pembinaan untuk
memperbaiki diri. Ada kurun waktu yang disepakati bagi perguruan tinggi dalam
pembinaan yang didampingi Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis).
Pengawasan
disoroti
Berbagai kasus yang merebak
terkait pendidikan tinggi sering kali karena pengawasan pemerintah lemah dan
tidak jalan. Pengawasan pemerintah untuk menjamin perguruan tinggi
melaksanakan pelayanan pendidikan sesuai ketentuan mesti diperkuat supaya
mencegah penyelewengan.
Dalam PDPT per 15 Oktober terdata
4.906 perguruan tinggi. Sebanyak 4.345 institusi berstatus aktif. Sebagian
lain berstatus ditutup (180), dalam pembinaan (82), alih bentuk (205), dan
alih kelola (38). Tudingan pengawasan pemerintah yang lemah bisa dipahami karena
ada sejumlah perguruan tinggi yang sudah ditutup, tetapi tetap bisa merekrut
mahasiswa, menyelenggarakan wisuda, dan mengeluarkan ijazah.
Ketua Umum Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta Seluruh Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, penertiban
perguruan tinggi bermasalah jangan hanya di hilir, seperti saat wisuda atau
terkait penerbitan ijazah. Pemberian ijazah ialah ujung dari kegiatan
belajar-mengajar dan pengakuan bahwa proses akademik untuk jenjang tertentu
selesai.
Pemberantasan ijazah palsu yang banyak
beredar di masyarakat jangan diatasi secara reaktif dengan inspeksi mendadak
(sidak). Kemristekdikti justru harus memperkuat pengawasan terhadap semua
perguruan tinggi dan pembinaan bagi kampus yang membutuhkan. Temuan dari
sidak oleh pemerintah harus dijadikan momentum untuk serius memperbaiki dunia
pendidikan tinggi.
Peran Kopertis belum seperti yang
diharapkan karena pelaporannya bersifat normatif. Tim dalam Kopertis belum
bekerja optimal dalam pengawasan dan pembinaan perguruan tinggi di wilayah masing-masing.
Kemristekdikti akan membentuk Lembaga Layanan Perguruan Tinggi. Pelaporan
diubah secara daring.
Budaya
mutu
Komitmen perguruan tinggi pada
mutu harus mulai ditumbuhkan. Saat ini, sebagian besar kampus masih fokus
pada peran di pengajaran/pendidikan. Itu pun belum sepenuhnya dijalankan
dengan baik dengan semangat mencerahkan dan membentuk karakter mahasiswa
menjadi generasi penerus andal. Ada yang sekadar asal mahasiswa/lulusan bisa
memegang ijazah tanpa memikirkan mutu bagi pembangunan masyarakat dan bangsa.
Tugas lain dari tridarma perguruan
tinggi, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, masih jauh dari harapan.
Padahal, perguruan tinggi berperan penting untuk mendongkrak daya saing
bangsa, terutama dengan menghasilkan inovasi.
Ada dorongan agar tiap perguruan
tinggi mampu mengimplementasikan standar penjaminan mutu internal (SPMI).
Namun, dari empat kali pemetaan di berbagai perguruan tinggi sejak 2011, baru
159 institusi yang dinyatakan baik dalam implementasi SPMI.
Direktur Eksekutif Pusat Layanan
Pengkajian dan Implementasi Sistem Manajemen Mutu Pendidikan Tinggi Willy
Susilo mengatakan, baru sebagian kecil perguruan tinggi menempatkan mutu
sebagai prioritas dan mampu mengelolanya secara efektif. Gerakan transformasi
berbasis mutu harus ditumbuhkan.
Pendidikan bermutu tidak hanya
diukur dari seberapa cepat lulusan terserap di pasar kerja, tetapi juga
seberapa besar kontribusi kreasi nilai dan inovasi yang dapat diberikan oleh
lulusan selaku kaum intelektual terhadap pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat.
"Jika
dua kriteria itu digunakan untuk menilai mutu pendidikan tinggi, secara pukul
rata mutu pendidikan tinggi di Tanah Air saat ini masuk kategori relatif
belum baik. Masih ada ruang luas untuk perbaikan," kata Willy. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar