Sabtu, 19 Desember 2015

'Dimensi-Dimensi' Lafran Pane

'Dimensi-Dimensi' Lafran Pane

Fachry Ali  ;  Pengamat Politik
                                                  REPUBLIKA, 17 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa yang bisa kita lihat dari Lafran Pane? Karya komprehensif Hariqo Wibawa Satria, Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikirannya (2010), menawarkan sesuatu kepada kita. Dari situ, saya melihat beberapa dimensi di dalam kehidupan Lafran Pane.

Dimensi pertama, Lafran, yang lahir pada 5 Februari 1922, di Padang Sidempuan, Sumatra Utara, adalah anak "hibrida" politik-etis dan reformis Islam. Kita ketahui, politik-etis adalah kebijakan "utang budi" Belanda kepada Indonesia yang pelaksanaannya dimulai sejak Ratu Wilhelmina berpidato pada 1901 tentang arah baru kebijakan kolonial.

Kebijakan baru ini dilecut kritik C Th van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia selama 1880-1997. Dalam tulisannya, "Een Eereschuld" (Suatu Utang Kehormatan) yang dimuat majalah de Gids pada 1899, dia berkata bahwa Belanda berutang kepada bangsa Indonesia atas kekayaannya. "Utang itu sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia di dalam kebijakan kolonial."

Kebijakan ini pada esensinya adalah politik budaya kolonial untuk menaklukkan anak jajahannya dengan jalan—dalam frasa yang populer dewasa ini—soft power. Dalam tulisannya, "Decolonialization in Indonesia" (1965), sejarawan Harry J Benda menyatakan, politik-etis itu adalah upaya modernisasi bertahap untuk membenarkan Dutch rule in terms of moral balance sheet (pemerintahan Belanda dalam hal neraca moral).

Ini pula yang dimaksudkan Snouck Hurgronye dengan frasa spiritual annexation (penggabungan rohani) sebagai implementasi konseptual politik-etis itu. Yaitu, seperti ditulisnya pada 1911, suatu usaha menciptakan kekaguman anak jajahan terhadap peradaban Barat yang menyebabkan mereka tanpa terasa menjadi anak negeri "provinsi terluar". Ini pula yang dimaksudnya sebagai "politik asosiasi".

Inti "politik-etis" itu, selain reformasi pertanian, adalah pengembangan pendidikan yang secara struktural melahirkan lapisan intelegensia pribumi. Ketika Lafran Pane, lahir awal 1920-an dan remaja pada pertengahan 1930-an, struktur publik kolonial telah menampakkan bekas-bekas program spiritual annexation tersebut.

Ini terbukti bahkan di dalam keluarga Lafran Pane sendiri. Dalam bukunya di atas, Hariqo Wibawa Satria melukiskan kedua abangnya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, adalah tokoh nasional reproduksi politik-etis itu. Yang pertama menjadi orang terdidik dan bertindak sebagai sejarawan, yang kedua adalah sastrawan terkenal di masa kolonial.

Pada saat yang sama, Lafran Pane adalah anak reformasi Islam. Hariqo Wibawa Satria menguraikan bahwa Lafran Pane berpendidikan dasar di sekolah Muhammadiyah. Bahkan ayahnya, Sutan Pangurabaan, adalah salah seorang  pendiri Muhammadiyah di Sipirok, Sumatra Utara, pada 1921. Dan, justru pada masa itu, Muhammadiayah sedang mendefinisikan diri sebagai kekuatan pengungkap kabut yang menyelimuti umat Islam.

Pidato Ketua Umum Muhammadiyah pada 1923, dikutip Mitsuo Nakamura (1983), menyatakan, "agama Islam di Hindia Belanda seperti mutiara yang masih diselimuti sebuah tabir penutup. Adalah merupakan tanggung jawab masyarakat Islam untuk menyingkap tabir penutup tersebut."

Dan, kinerja "menyingkap tabir" ini tampaknya relevan dengan zaman. Dalam catatan Nakamura, sampai dengan 1924, Muhammadiyah, didirikan pada 1912 di Yogyakarta, telah mempunyai 1.271 cabang dengan 100 ribu anggota. Maka ia, dalam The Crescent Rises over the Banyan Tree (1983), menyatakan dalam seperempat abad kelahirannya, "Muhammadiyah became one of the largest religious organizations in the Dutch colony".

Fakta ini meneguhkan data Taufik Abdullah tentang perkembangan Muhammadiyah yang sangat penetratif di dalam masyarakat Minangkabau. Dalam Schools and Politics (1971), Taufik Abdullah menyatakan, pada 1920-an itu, Muhammadiyah pertama-tama tidaklah berkembang di kawasan perkotaan Minangkabau, tetapi di wilayah perdesaan.

Berada di bawah tutelage (asuhan) Muhammadiyah masa kanak-kanak, Lafran Pane, dengan demikian, secara struktural telah berada di dalam proses transformasi mental yang telah melampaui ambang batas tradisionalisme Islam. Sebab, bukankah Muhammadiyah merupakan pionir gerakan Islam modern di Indonesia?

Tentu saja, sebagai anak yang baru dilahirkan pada 1922, Lafran Pane berada pada posisi—menggunakan frasa imaginatif Geertz tentang terisolasinya kerja kaum antropolog—di luar jangkauan berita-berita utama. Bahkan, ketika hadir di Jakarta pada 1937, Lafran Pane tak lebih dari anak bengal dan bergabung ke dalam organisasi preman "Zwarte Bende".

Namun, hal yang tak bisa dilekangkan adalah efek politik-etis dan reformasi Islam masa itu. Ini terbukti Lafran Pane di Jakarta memilih masuk SMA Muhammadiyah. Pengaruh politik-etis dan reformis Islam inilah yang menjelaskan mengapa Lafran Pane memilih melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Islam (STI) awal 1940-an. Ini dengan gamblang mendemonstrasikan pengaruh keduanya itu.

Dari konteks inilah kita menemukan dimensi kedua Lafran Pane: kesadaran keindonesiaan dan keislaman. Di sini, Lafran Pane bukanlah lagi remaja tanpa perspektif. Ia lebur dalam gejolak sejarah periode itu.

Walau dinilai "zaman normal", akibat tindakan represif Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Graeff, memberangus hampir semua gerakan kebangsaan, api politik kebangsaan masih memperlihatkan panasnya. Pada 20 September 1939, misalnya, Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI) menuntut pemerintah kolonial menyelenggarakan sistem politik parlemen di mana pemerintah (yang dipilih oleh dan dari rakyat) bertanggung jawab kepada parlemen.

Dan pada 23-25 Desember tahun itu juga, sebuah kongres dari himpunan berbagai organisasi digelar. Dalam sebuah laporan disebutkan, "[the] congress hall was decked out with nationalist flags and slogans that propogandized the demand for a parliamentary form of government."

Pada periode inilah Lafran Pane tersosialisasikan, setidak-tidaknya secara teoretis, ke dalam pemikiran kebangsaan melalui proses pembentukan apa yang disebut Benedict R O'G Anderson (1984) imagined communities. Dan, pengaruh itu kian mendalam ketika dinamika sejarah dengan sangat riil memergok struktur kehidupannya, ketika, seperti dituturkan Hariqo Wibawa Satria dalam Lafran Pane, ia ikut berpindah ke Yogyakarta pada 1946—mengikuti perpindahan, baik ibu kota maupun perguruan tingginya sendiri.

Maka, dimensi ketiga Lafran Pane adalah perwujudan cita-cita keislaman dan keindonesiaan di dalam gerakan kaum muda. Ini tak terlepas dari dua dimensi di atas. Hal yang membedakannya, dimensi terakhir ini diwujudkan dalam gerakan dengan menggabungkan elemen-elemen yang baru muncul di dalam dinamika sejarah, yaitu semangat nasionalisme, sikap revolusioner, modernisme, dan Islamisme. Dalam struktur kejadian inilah ia mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 5 Februari 1947.

Maka, HMI masa itu pada esensinya adalah wadah perjuangan revolusioner kaum muda untuk membela kemerdekaan sekaligus memberi tempat bagi kaum muda terpelajar Islam mengembangkan diri di dalam lingkup nasionalisme. Pendirian organisasi ini adalah realisasi cita-cita anak yang dipengaruhi gabungan politik-etis dan reformasi Islam untuk menempatkan kalangan muda Islam di dalam sebuah kerangka sosial politik dan budaya baru—yang datang secara tak berpreseden.

Melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebuah gagasan nasionalisme diwujudkan di dalam ruang geografis, tetapi pada saat yang sama, deru modernisme tak juga bisa dielakkan. Gabungan dari nasionalisme dan modernisme ini membutuhkan wadah baru yang adaptif terhadapnya. Kelahiran HMI yang dibidani Lafran Pane adalah respons terhadap kebutuhan itu. Yaitu, sebuah organisasi modern, bersifat nasionalis, tetapi sekaligus bersifat Islamis.

Perspektif penafsiran ini mendorong perenungan. Bahwa, dengan ukuran pertimbangan pada masa itu—ketika kaum terdidik masih sangat terbatas jumlahnya, sementara massa buta huruf merupakan mayoritas penduduk Indonesia—bukankah cita-cita pendirian HMI pada 1947 itu merupakan sesuatu yang cemerlang?

Karena, menjawab kebutuhan zaman masa itu, yaitu penggabungan revolusionerisme, nasionalisme, Islamisme, dan modernisme sekaligus di kalangan kaum muda terdidik? Bukankah, qua ide, ini mengingatkan kita pada cita-cita Bung Karno pada 1926 melalui tulisannya, "Nasionalisme, Islam dan Komunisme"?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar