'Dimensi-Dimensi' Lafran Pane
Fachry Ali ; Pengamat Politik
|
REPUBLIKA,
17 Desember 2015
Apa yang bisa kita lihat dari
Lafran Pane? Karya komprehensif Hariqo Wibawa Satria, Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikirannya (2010), menawarkan
sesuatu kepada kita. Dari situ, saya melihat beberapa dimensi di dalam
kehidupan Lafran Pane.
Dimensi pertama, Lafran, yang
lahir pada 5 Februari 1922, di Padang Sidempuan, Sumatra Utara, adalah anak
"hibrida" politik-etis dan reformis Islam. Kita ketahui,
politik-etis adalah kebijakan "utang budi" Belanda kepada Indonesia
yang pelaksanaannya dimulai sejak Ratu Wilhelmina berpidato pada 1901 tentang
arah baru kebijakan kolonial.
Kebijakan baru ini dilecut kritik C Th van Deventer, seorang ahli hukum yang
pernah tinggal di Indonesia selama 1880-1997.
Dalam tulisannya, "Een Eereschuld" (Suatu Utang Kehormatan) yang
dimuat majalah de Gids pada 1899,
dia berkata bahwa Belanda berutang kepada bangsa Indonesia atas kekayaannya. "Utang itu sebaiknya dibayar kembali
dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia di
dalam kebijakan kolonial."
Kebijakan ini pada esensinya
adalah politik budaya kolonial untuk menaklukkan anak jajahannya dengan
jalan—dalam frasa yang populer dewasa ini—soft power. Dalam tulisannya, "Decolonialization in Indonesia"
(1965), sejarawan Harry J Benda menyatakan, politik-etis itu adalah upaya
modernisasi bertahap untuk membenarkan Dutch
rule in terms of moral balance sheet (pemerintahan Belanda dalam hal
neraca moral).
Ini pula yang dimaksudkan Snouck
Hurgronye dengan frasa spiritual annexation (penggabungan rohani) sebagai
implementasi konseptual politik-etis itu. Yaitu, seperti ditulisnya pada
1911, suatu usaha menciptakan kekaguman anak jajahan terhadap peradaban Barat
yang menyebabkan mereka tanpa terasa menjadi anak negeri "provinsi
terluar". Ini pula yang dimaksudnya sebagai "politik
asosiasi".
Inti "politik-etis" itu,
selain reformasi pertanian, adalah pengembangan pendidikan yang secara struktural
melahirkan lapisan intelegensia pribumi. Ketika Lafran Pane, lahir awal
1920-an dan remaja pada pertengahan 1930-an, struktur publik kolonial telah
menampakkan bekas-bekas program spiritual
annexation tersebut.
Ini terbukti bahkan di dalam keluarga
Lafran Pane sendiri. Dalam bukunya di atas, Hariqo Wibawa Satria melukiskan
kedua abangnya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, adalah tokoh nasional reproduksi
politik-etis itu. Yang pertama menjadi orang terdidik dan bertindak sebagai
sejarawan, yang kedua adalah sastrawan terkenal di masa kolonial.
Pada saat yang sama, Lafran Pane
adalah anak reformasi Islam. Hariqo Wibawa Satria menguraikan bahwa Lafran
Pane berpendidikan dasar di sekolah Muhammadiyah. Bahkan ayahnya, Sutan
Pangurabaan, adalah salah seorang
pendiri Muhammadiyah di Sipirok, Sumatra Utara, pada 1921. Dan, justru
pada masa itu, Muhammadiayah sedang mendefinisikan diri sebagai kekuatan
pengungkap kabut yang menyelimuti umat Islam.
Pidato Ketua Umum Muhammadiyah
pada 1923, dikutip Mitsuo Nakamura (1983), menyatakan, "agama Islam di Hindia Belanda seperti mutiara yang masih
diselimuti sebuah tabir penutup. Adalah merupakan tanggung jawab masyarakat
Islam untuk menyingkap tabir penutup tersebut."
Dan, kinerja "menyingkap
tabir" ini tampaknya relevan dengan zaman. Dalam catatan Nakamura,
sampai dengan 1924, Muhammadiyah, didirikan pada 1912 di Yogyakarta, telah
mempunyai 1.271 cabang dengan 100 ribu anggota. Maka ia, dalam The Crescent Rises over the Banyan Tree
(1983), menyatakan dalam seperempat abad kelahirannya, "Muhammadiyah became one of the largest religious organizations
in the Dutch colony".
Fakta ini meneguhkan data Taufik
Abdullah tentang perkembangan Muhammadiyah yang sangat penetratif di dalam
masyarakat Minangkabau. Dalam Schools
and Politics (1971), Taufik Abdullah menyatakan, pada 1920-an itu,
Muhammadiyah pertama-tama tidaklah berkembang di kawasan perkotaan
Minangkabau, tetapi di wilayah perdesaan.
Berada di bawah tutelage (asuhan)
Muhammadiyah masa kanak-kanak, Lafran Pane, dengan demikian, secara
struktural telah berada di dalam proses transformasi mental yang telah
melampaui ambang batas tradisionalisme Islam. Sebab, bukankah Muhammadiyah
merupakan pionir gerakan Islam modern di Indonesia?
Tentu saja, sebagai anak yang baru
dilahirkan pada 1922, Lafran Pane berada pada posisi—menggunakan frasa
imaginatif Geertz tentang terisolasinya kerja kaum antropolog—di luar
jangkauan berita-berita utama. Bahkan, ketika hadir di Jakarta pada 1937,
Lafran Pane tak lebih dari anak bengal dan bergabung ke dalam organisasi
preman "Zwarte Bende".
Namun, hal yang tak bisa
dilekangkan adalah efek politik-etis dan reformasi Islam masa itu. Ini
terbukti Lafran Pane di Jakarta memilih masuk SMA Muhammadiyah. Pengaruh
politik-etis dan reformis Islam inilah yang menjelaskan mengapa Lafran Pane
memilih melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Islam (STI) awal 1940-an. Ini
dengan gamblang mendemonstrasikan pengaruh keduanya itu.
Dari konteks inilah kita menemukan
dimensi kedua Lafran Pane: kesadaran
keindonesiaan dan keislaman. Di sini, Lafran Pane bukanlah lagi remaja
tanpa perspektif. Ia lebur dalam gejolak sejarah periode itu.
Walau dinilai "zaman
normal", akibat tindakan represif Gubernur Jenderal Hindia Belanda de
Graeff, memberangus hampir semua gerakan kebangsaan, api politik kebangsaan
masih memperlihatkan panasnya. Pada 20 September 1939, misalnya, Gabungan
Partai Politik Indonesia (GAPI) menuntut pemerintah kolonial menyelenggarakan
sistem politik parlemen di mana pemerintah (yang dipilih oleh dan dari
rakyat) bertanggung jawab kepada parlemen.
Dan pada 23-25 Desember tahun itu juga, sebuah
kongres dari himpunan berbagai organisasi digelar. Dalam sebuah laporan
disebutkan, "[the] congress hall
was decked out with nationalist flags and slogans that propogandized the
demand for a parliamentary form of government."
Pada periode inilah Lafran Pane
tersosialisasikan, setidak-tidaknya secara teoretis, ke dalam pemikiran
kebangsaan melalui proses pembentukan apa yang disebut Benedict R O'G
Anderson (1984) imagined communities. Dan, pengaruh itu kian mendalam ketika
dinamika sejarah dengan sangat riil memergok struktur kehidupannya, ketika,
seperti dituturkan Hariqo Wibawa Satria dalam Lafran Pane, ia ikut berpindah
ke Yogyakarta pada 1946—mengikuti perpindahan, baik ibu kota maupun perguruan
tingginya sendiri.
Maka, dimensi
ketiga Lafran Pane adalah perwujudan cita-cita keislaman dan keindonesiaan di
dalam gerakan kaum muda. Ini tak terlepas dari dua dimensi di atas.
Hal yang membedakannya, dimensi terakhir ini diwujudkan dalam gerakan dengan
menggabungkan elemen-elemen yang baru muncul di dalam dinamika sejarah, yaitu
semangat nasionalisme, sikap revolusioner, modernisme, dan Islamisme. Dalam
struktur kejadian inilah ia mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 5
Februari 1947.
Maka, HMI masa itu pada esensinya
adalah wadah perjuangan revolusioner kaum muda untuk membela kemerdekaan
sekaligus memberi tempat bagi kaum muda terpelajar Islam mengembangkan diri di
dalam lingkup nasionalisme. Pendirian organisasi ini adalah realisasi
cita-cita anak yang dipengaruhi gabungan politik-etis dan reformasi Islam
untuk menempatkan kalangan muda Islam di dalam sebuah kerangka sosial politik
dan budaya baru—yang datang secara tak berpreseden.
Melalui proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, sebuah gagasan nasionalisme diwujudkan di dalam ruang
geografis, tetapi pada saat yang sama, deru modernisme tak juga bisa
dielakkan. Gabungan dari nasionalisme dan modernisme ini membutuhkan wadah
baru yang adaptif terhadapnya. Kelahiran HMI yang dibidani Lafran Pane adalah
respons terhadap kebutuhan itu. Yaitu, sebuah organisasi modern, bersifat
nasionalis, tetapi sekaligus bersifat Islamis.
Perspektif penafsiran ini
mendorong perenungan. Bahwa, dengan ukuran pertimbangan pada masa itu—ketika
kaum terdidik masih sangat terbatas jumlahnya, sementara massa buta huruf
merupakan mayoritas penduduk Indonesia—bukankah cita-cita pendirian HMI pada
1947 itu merupakan sesuatu yang cemerlang?
Karena, menjawab kebutuhan zaman
masa itu, yaitu penggabungan revolusionerisme, nasionalisme, Islamisme, dan
modernisme sekaligus di kalangan kaum muda terdidik? Bukankah, qua ide, ini
mengingatkan kita pada cita-cita Bung Karno pada 1926 melalui tulisannya, "Nasionalisme,
Islam dan Komunisme"? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar