Janganlah Dendam Dilestarikan
Taufiq Ismail ; Sastrawan
|
REPUBLIKA,
17 Desember 2015
Sehabis saya membacakan makalah di
Frankfurt Book Fair (FBF), 14 Oktober 2015, beberapa peserta datang dan
menyalami saya. Makalah disampaikan dalam bahasa Indonesia, dengan terjemahan
serentak Jerman dan Inggris. Mereka menghargai gagasan perdamaian total.
Dalam diskusi, saya tanyakan
bagaimana kelanjutan sisa-sisa ideologi Nazisme Hitler, 70-80 tahun yang
silam. Itu sudah lama lewat dan selesai, jawab mereka. Memang betul ada
kelompok-kelompok Neo-Nazi dengan warisan dendam lama, tapi kecil,
menjengkelkan dan tidak laku lagi di masyarakat.
Peserta acara FBF 14-18 Oktober
2015 itu 7.000 penerbit dari 100 negara lebih, pengunjung mencapai 270 ribu
orang, diliput oleh 1.000 wartawan dari seluruh dunia. Yang utama di FBF
adalah buku, nomor dua pengarangnya. Kuliner, musik, dan tari juga ditampilkan.
Indonesia adalah
Tamu Kehormatan yang jadi primadona Pekan Raya Buku Frankfurt itu. Mestinya
dan pantasnya, tema yang dipilih adalah Islam di Indonesia, tapi ternyata
Peristiwa 1965.
Salah satu faktor utama adalah film "Joshua Oppenheimer" yang menarik
perhatian publik Eropa yang suka mengungkit-ungkit trauma lama. Namun,
ungkitan trauma lama 1965 dalam film itu tidak komplet.
Supaya trauma lama lengkap,
Oppenheimer mestinya mengulangi adegan penyembelihan dan penjagalan di 24
kota dan desa, September-Oktober-November 1948, di sekitar Madiun yang
dilakukan Moeso. Adegan 19 September 1948, sehari sesudah Proklamasi Republik
Soviet Indonesia, ketika kiai, santri, dan pamong praja, berpuluh-puluh
digiring ke blumbang, lubang besar di luar Kota Madiun dan disembelih di
sana, bakal dahsyat sekali.
Bikinlah adegan rapat raksasa di
alun-alun Madiun, yang memperkenalkan Moeso (yang tak dikenal rakyat karena
dia lari pada 1927-1948 ke Moskow) sebagai titisan Nabi Musa sehingga dia
jadi populer karena pembohongan itu. Akan lebih menarik lagi film ini kalau
diperlihatkan dua dekade kehidupan Moeso di Moskow sebagai anak buah
kepercayaan Stalin, yang menjagal enam juta bangsanya sendiri yang
antikomunis, dan kelak akan ditirunya di Madiun.
Kalau Oppenheimer
membuat film keduanya dengan tema Pengkhianatan Madiun ini, maka dia tidak
terjebak dalam teori "ujug-ujug", wacana "tiba-tiba" yang
dianut Komunis Gaya Baru sejak masa reformasi ini. Ujug-ujug rakyat
antikomunis membunuhi orang komunis, tanpa sebab. Tiba-tiba mereka menzalimi
tanpa sebab.
Teror PKI 1962-1965
dielak-elakkan, pengkhianatan dan pejagalan 1948 ditutup-tutupi tak disebut
sama sekali. Film berikutnya Oppenheimer ini akan membuat film pertamanya
seimbang, memihak kepada sejarah, bukan kepada KGB. Kembali kepada FBF.
Penampilan Indonesia
dalam pesta buku ini kiri sekali. Tidak terasa nuansa Pancasilanya. Kidung dengan cerita dalam
pembukaan yang dinyanyikan sinden sangat tidak nyaman bagi perasaan umat
Islam. Sesudah saya mendapat daftar nama 70 pengarang yang diundang, saya
kirim surat mengusulkan 30 nama pengarang Islam yang pantas menghadiri FBF.
Surat saya tidak pernah dijawab, tertulis ataupun lisan.
Sesi Putu Oka
Sukanta (sastrawan Lekra/PKI), berlangsung 18 Oktober 2015 dalam suasana
1964-1965, mengulangi klise-klise ideologi dengan nuansa dendam tak kunjung
padam. Tiga kali saya mengacungkan tangan minta waktu bicara, tidak diberi
moderator.
Saya tidak melihat Putu Oka hadir
dalam sesi saya tiga hari sebelumnya, ketika gagasan perdamaian total saya
kemukakan. Dia juga tidak hadir sebagai panelis 15 tahun yang lalu (seminar
di Fakultas Sastra UI, 9 Juni 2000), ketika gagasan perdamaian pertama kali
saya sampaikan, yang disambut baik oleh Pramoedya Ananta Toer.
Pelaksanaan indah gagasan ini dimulai
oleh Batara Hutagalung (Ketua KUKB) pada 2003 dengan mengumpulkan putra-putri
patriot bangsa yang dijagal PKI pada 30 September 1965 (tujuh Pahlawan
Revolusi), putra-putri tokoh-tokoh PKI dan Darul Islam yang sudah berpulang,
untuk berdamai dan menghapus dendam dalam program Forum Silaturahim Anak
Bangsa (FSAB).
Setelah 12 tahun, gagasan ini
terlaksana dengan baik sekali. Ini merupakan titik mula penting teladan
penghapusan dendam kesumat secara nasional.
Demikianlah, maka kita terkejut mendengar dilaksanakannya sidang-sidang
Mahkamah Internasional di Den Haag, 10-14 November 2015, yang mengadili
pelanggaran hak asasi manusia, 1965, dan selanjutnya. Ini sangat aneh dan tak
masuk akal waras.
Pelanggaran hak asasi manusia
1948, ketika di 24 kota dan desa sekitar Madiun dilaksanakan pembantaian oleh
Moeso dengan anak buahnya, tidak disebut sama sekali. Padahal, itu yang
menjadi penyebab utama paling awal peristiwa 17 tahun sesudah itu.
Sebagai bangsa kita merasa
tersinggung berat dengan dimulainya kegiatan itu pada 10 November, hari
sangat mulia dalam perjuangan kemerdekaan kita. Dengan
dipilihnya Hari Pahlawan tersebut, untuk kegiatan yang dengan congkaknya akan
mengadili apa yang dituduhkan sebagai "pelanggaran HAM 1965",
benar-benarlah itu penghinaan besar dan tidak beradab. Saya sangat
tersinggung dan merasa Hari Pahlawan kita diludahi oleh bekas penjajah.
Di belakang layar,
kolonialis-kolonialis Belanda yang menyutradarai ini, tertawa terkekeh-kekeh
karena masih saja ada inlander yang bisa mereka tipu. Inlander-inlander ini
tak tahu, atau lupa, bahwa negara seluas satu provinsi RI itu belum mengakui
kedaulatan RI secara de jure dan
baru menerima kedaulatan RI de facto
secara lisan (pada 2005).
Tidak malukah kalian
mengemis-ngemis meminta ruangan di sebuah gedung Den Haag, kepada bekas
penjajah yang sesudah 70 tahun masih enggan belum mengakui kedaulatan kita
secara de jure itu, untuk
"mengadili" sesama bangsa sendiri?
Kolonialis itu tertawa
terbahak-bahak di belakang dinding sana, menertawakan kalian karena mereka
berhasil lagi mengadu domba kita. Adu domba kolonial kuno semacam ini
melestarikan dendam berkepanjangan. Dendam ini yang harus kita habisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar