Demokrasi di Indonesia, Oligarki, dan Robison
Vishnu Juwono ;
Dosen Administrasi Publik di Fakultas
Ilmu Administrasi (FIA)
Universitas Indonesia; Kandidat
Doktor di London School of Economics (LSE)
|
KORAN
SINDO, 02 Desember 2015
Pada 2-3 November,
Departemen Politik FISIP Universitas Indonesia mengadakan konferensi
internasional (BICOIPG) mengenai politik dan pemerintahan di Indonesia yang
berlangsung selama dua hari di FISIP UI.
Namun, yang menarik
bagi saya adalah hadirnya Profesor Richard Robison yang menjadi pembicara
kunci di konferensi akademik tersebut. Profesor Robison merupakan akademisi
ekonomi politik terkemuka asal Murdoch University yang bukunya the Rise of Capital pada tahun 1986,
digunakan sebagai referensi utama bagi para aktivis-aktivis kampus dan
kalangan akademisi yang sangat kritis terhadap dominasi keluarga Soeharto
serta kroninya pada 1980-1990-an.
Selain itu juga
bersama muridnya, Profesor Vedi Hadiz, menulis buku penting pada 2004
berjudul Reorganising Power in
Indonesia yang menganalisis bahwa di era pos-Soeharto ternyata oligarki
yang mempunyai kekuatan modal besar dan berpengaruh di masa Orde Baru mampu
bertahan dan beradaptasi dengan struktur politik baru yang lebih demokratis
di era reformasi.
Kembali lagi pada
pidato kunci pembuka yang diberikan Profesor Robison di FISIP UI dengan judul
yang cukup provokatif, yakni Is
Democracy Enough?, terdapat dua pertanyaan fundamental yang diajukan
beliau pada situasi politik Indonesia saat ini. Pertama, mengapa demokrasi di
Indonesia gagal mendorong reformasi di Indonesia? Serta yang kedua adalah
bagaimana nasib dari kelompok reformis ke depannya?
Demokrasi di Indonesia Kebablasan?
Di era reformasi di
mana berbagai skandal korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan terus mengemuka
di berbagai pemerintahan era reformasi mulai masa Presiden Habibie hingga
saat ini di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Akibatnya timbul berbagai
kritik yang menekankan bahwa sistem politik yang demokratis ternyata tidak
secara otomatis terwujudnya pemerintahan yang bersih dan efektif di
Indonesia.
Bahkan, tidak sedikit
pula kelompok konservatif yang mengkritik bahwa demokrasi di Indonesia sudah
“kebablasan”. Kelompok konservatif inilah menurut Robison yang berargumen
bahwa demokrasi memperlemah kohesi sosial dan identitas nasional, sehingga
yang diperlukan adalah penataan ulang untuk mengurangi ekses demokrasi dan
diperlukan kepemimpinan yang lebih kuat.
Dalam sejarah politik
Indonesia, kepemimpinan yang kuat sebagai salah satu solusi dari ekses buruk
demokrasi menjadi dasar pemerintah Soekarno pada masa demokrasi terpimpin di
tahun 1959-1968 serta pemerintahan Soeharto pada masa Orde Baru tahun 1968-
1998. Menurut Robison, argumen dari kelompok konservatif ini menafikan
dinamika kepentingan sosial serta politik yang merekonstruksi sistem
demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok oligarki dengan kalkulasi
politik yang rasional.
Melalui kekuatan modalnya,
kelompok oligarki ini menggunakan sistem demokrasi Indonesia dengan kekuatan
dananya yang besar melalui distribusi patronase untuk mengooptasi partai
politik serta menguasai parlemen. Pada akhirnya berdasarkan pengamatan
Robison, partai politik dijadikan alat untuk mengakumulasi kekuatan politik
dan digunakan sebagai instrumen untuk melemahkan berbagai upaya reformasi
yang dilakukan oleh kelompok progresif terutama melalui parlemen.
Tidak ada partai politik
yang secara murni memperjuangkan ide dan kebijakan reformasi bagi kepentingan
lebih luas. Kekuatan reformis dan progresif yang dimotori kalangan masyarakat
sipil serta akademisi memang melakukan berbagai upaya mendorong inisiatif
reformasi dan melakukan perlawanan untuk berbagai isu seperti penegakan
hukum,
masalah lingkungan,
hak asasi manusia, serta menuntut pertanggungjawaban dari pejabat yang korup.
Namun bagi Robison, kebanyakan upaya tersebut dilakukan di luar struktur
lembaga politik formal, di mana lembaga politik penting seperti partai
politik dan parlemen masih didominasi oleh kekuatan oligarki. Tidak ada
partai politik Indonesia yang reformis hingga saat ini.
Dominasi Oligarki berlanjut?
Tentu saja penilaian
dari akademisi sekaliber Robison mengenai prospek suram dari demokrasi di
Indonesia ini mengkhawatirkan dan perlu kita renungkan. Namun, apakah memang
prospeknya sedemikian suram? Apabila kita melihat perdebatan dalam literatur
akademik politik di Indonesia, Robison bersama dengan Vedi Hadiz dan penulis
buku politik penting Oligarchy
(2011) Profesor Jeffrey Winters mewakili kelompok intelektual yang
berpendapat bahwa kekuatan politik oligarki sangat mendominasi dan “membajak”
lembaga formal politik Indonesia, sehingga reformasi sulit dilakukan.
Walaupun kelompok
oligarki di Indonesia merupakan kekuatan politik yang nyata dan berpengaruh,
saya lebih sependapatdengankelompokpluralis yang di antaranya diwakili dua
akademisi dari Australia National University (ANU), Profesor Edward Aspinall
dan Marcus Mietzner, seperti dijelaskan dalam artikel mereka di buku Beyond Oligarchy (2014).
Menurut penganut paham
pluralis, kelompok reformis tidak selalu mengalami kegagalan karena masih ada
kekuatan progresif baik di dalam maupun di luar struktur politik formal yang
mampu mendorong reformasi. Seperti yang diterangkan dalam makalah saya di
konferensi BICOIPG yang membahas mengenai inisiatif antikorupsidan governance
reform diera Presiden Megawati Soekarnoputri, ternyata beberapa kelompok
reformis berhasil mendorong melakukan reformasi struktural di era reformasi.
Seperti proses
amendemen konstitusi UUD 1945 di masa Megawati yang didorong pimpinan panitia
ad hoc 1 BP MPR yang menghasilkan struktur politik lebih demokratis. Pada
masa yang sama pula, elemen reformis di pemerintah dan DPR berhasil melakukan
kerja sama dengan civil society berhasil menjadikan Undang-Undang No 30/2002
yang menjadi dasar berdirinya KPK.
Persaingan politik
antara kelompok konservatif dan kelompok reformis terus berlanjut hingga saat
ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Seperti konflik antara polisi
dan KPK, manuver politik koalisi pendukung pemerintah dan oposisi, serta
berbagai kegaduhan politik lainnya.
Tentu menarik untuk
disimak, pada 2019 setelah masa pemerintah Joko Widodo berakhir apakah
pendapat Prof Robison terbukti, di mana kelompok oligarki terus mendominasi
hingga membuat reformasi stagnan ataukah akan ada inisiatif reformasi politik
baru dari kelompok progresif hingga timbulnya harapan baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar