Menyandera Capim KPK
Oce Madril ;
Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah
Mada (UGM);
Direktur Advokasi Pusat Kajian
Antikorupsi UGM
|
KORAN
SINDO, 30 November 2015
Entah apa sebenarnya
yang terjadi di Komisi III DPR, hingga saat ini belum terlihat ada kemauan
untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (capim KPK).
Padahal pemerintah
sudah mengajukan 10 kandidat, yaitu 2 kandidat diajukan pada masa
pemerintahan SBY dan 8 kandidat diajukan oleh Presiden Jokowi. Tugas DPR saat
ini melakukan pemilihan, tetapi nampaknya DPR masih menyandera capim KPK
tersebut. Berputar-putar dengan berbagai alasan, DPR masih enggan melanjutkan
proses fit and proper test meskipun
masa jabatan pimpinan KPK saat ini akan habis.
Sebenarnya aturan
seleksi pimpinan KPK sudah sangat jelas, baik mengenai syarat maupun
prosedurnya. Ini juga bukan kali pertama seleksi dilakukan. Telah 3 periode
pimpinan KPK diseleksi. Namun, kali ini, manuver dan intrik politik DPR
sangat mengkhawatirkan bagi masa depan KPK.
Kewajiban DPR
Menurut UU KPK, proses
seleksi pimpinan KPK melibatkan dua kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan
(eksekutif) dan parlemen (legislatif). Kedua kekuasaan itu memiliki peran
masing-masing dalam proses seleksi yang telah ditentukan UU. Prinsipnya,
tidak boleh ada saling intervensi antardua kekuasaan tersebut. Mereka harus
bekerja dalam ranah prinsip checks and
balances dan mutual respect
(saling menghormati).
UU mengatur bahwa
proses pemilihan capim KPK dilakukan pemerintah. Sementara pemilihan tahap
akhir dilakukan DPR. Jadi proses pemilihan dimulai pemerintah dan berakhir di
DPR. Untuk menjaring para kandidat tersebut pemerintah harus membentuk
panitia seleksi (pansel) yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat.
Pansel bekerja dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Bentuk
pertanggungjawaban pansel adalah dalam waktu lebih kurang selama 2 bulan,
pansel harus menyelesaikan seleksi dan menyerahkan 10 nama kandidat capim KPK
kepada Presiden. Setelah itu, Presiden menyampaikannya kepada DPR. Di sinilah
kewenangan DPR dimulai. Sejak diterimanya calon yang diusulkan Presiden, DPR
dapat memulai kewenangannya untuk melakukan pemilihan.
Apakah DPR dapat
menolak untuk memilih? Jawabannya tidak. Sebab UU tidak memberikan pilihan
bagi DPR untuk menerima atau menolak calon dari pemerintah. Pasal 30 angka 10
tegas menyatakan bahwa DPR wajib memilih di antara capim yang diajukan Presiden.
DPR pun wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) orang. Tidak boleh kurang dari
itu.
Bahkan UU
memerintahkan DPR wajib memilih dan menetapkan ketua dan wakil ketua KPK.
Penggunaan kata “wajib” dalam norma UU tersebut menunjukkan bahwa pemilihan
itu merupakan kewajiban DPR, bukan kewenangan biasa. Artinya, mau tidak mau,
DPR harus memilih pimpinan KPK dari kandidat yang diusulkan pemerintah.
Mekanisme pemilihan pimpinan KPK memang berbeda dengan komisi negara lain.
Ambil contoh pemilihan
anggota Komisi Yudisial. Di situ memang DPR dapat menyatakan penolakan atas
semua atau sebagian calon. Sebab mekanisme yang digunakan adalah model
persetujuan. Dalam sistem ini, sejatinya DPR tidak melakukan pemilihan,
tetapi hanya menyatakan setuju atau tidak setuju dengan kandidat yang
diajukan. Terdapat kemungkinan bahwa DPR menyetujui/menolak semua calon atau
sebagian saja.
Sementara untuk KPK,
DPR wajib melakukan pemilihan. Jika anggota Komisi III DPR menolak untuk
memilih dan mengembalikan calon-calon tersebut ke pemerintah, sikap ini jelas
melanggar UU KPK. Mereka yang duduk di Komisi III juga dapat melanggar aturan
dalam UU MD3 yang mewajibkan semua anggota DPR menaati peraturan
perundangundangan dan melaksanakan kewajiban sesuai perintah UU. Pelanggaran
terhadap ketentuan ini juga merupakan pelanggaran kode etik anggota DPR.
Bukan Perwakilan
Masalah kedua yang
mencuat dalam seleksi KPK kali ini adalah apakah harus ada perwakilan jaksa
(dan polisi)? Isu ini sebenarnya bukan isu baru. Setiap momen seleksi
pimpinan KPK, isu ini selalu saja diperdebatkan. Padahal UU KPK telah dengan
jelas mengatur syarat seorang pimpinan KPK. Tidak ada satu norma pun dalam UU
KPK yang mengatur bahwa harus ada unsur-unsur kejaksaan dan kepolisian dalam
komposisi pimpinan KPK.
Sepanjang memenuhi
syarat administratif yang ditetapkan UU, seseorang dapat menjadi calon.
Persyaratan itu termaktub dalam Pasal 29 UU KPK. Syarat spesifik misalnya
batas usia minimal 40 tahun, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, tidak
menjadi pengurus partai politik, melepaskan jabatan struktural dan atau
jabatan lainnya selama menjadi pimpinan KPK.
Tidak harus sarjana
hukum. Sarjana lain juga diterima karena UU KPK tidak menekankan gelar
kesarjanaan. Yang terpenting adalah memiliki keahlian dan pengalaman
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi,
keuangan, atau perbankan. Selain itu, harus cakap, jujur, memiliki integritas
moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.
Ketentuan Pasal 29
tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada keharusan adanya perwakilan
jaksa dan polisi. Selain bertentangan dengan UU, logika adanya perwakilan
jaksa dan polisi juga bertentangan dengan raison
draison detre (alasan hukum) lahirnya KPK. Secara historis, jaksa dan
polisi tidak dikehendaki untuk menjadi pimpinan KPK.
Lembaga antikorupsi
ini justru secara khusus dibentuk karena kejaksaan dan kepolisian dianggap
tidak efektif. Untuk itulah KPK menjadi trigger mechanism dan punya tugas
khusus, yaitu memberantas penegak hukum korup. Hadirnya jaksa dan polisi
sebagai pimpinan tentu dapat membuat lumpuh lembaga ini ketika mengusut
korupsi di institusi penegak hukum karena adanya benturan kepentingan (conflict of interest) dan semangat
korps (esprit de corps).
Hal ini telah terbukti
dalam beberapa kasus yang ditangani KPK. Maka dapat disimpulkan bahwa alasan
DPR menunda pemilihan capim KPK jelas mengada-ada dan tidak legitimate. Karenanya kepada yang
terhormat anggota DPR, segeralah pilih dan tetapkan 5 pimpinan KPK yang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar