HARGA sejumlah komoditas pangan pokok sepanjang
2009-2013 menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Harga gula, misalnya,
pada 2009 sekitar Rp6.300 per kilogram (kg), tetapi saat ini berkisar
Rp11.000-Rp13.000 per kg. Padahal, harga gula di pasar internasional hanya
sekitar US$489,80 per ton atau Rp4.700 per kg. Hal sama terjadi pada daging
sapi. Pada 2009, harganya hanya sekitar Rp60 ribu per kg, tetapi sekarang
tembus Rp100 ribu per kg.
Harga yang naik ialah indikasi penting terjadinya kelangkaan barang.
Kelangkaan barang secara umum pasti karena adanya gap antara supply and demand (persediaan dan
permintaan). Ketika demand lebih
tinggi daripada supply, adalah
niscaya harga akan naik. Namun, pertanyaan lanjut yang perlu diklarifikasi
dari kenaikan harga barang itu ialah apakah kenaikan itu terjadi karena
faktor-faktor alamiah yang dikenal dengan mekanisme pasar yang kompetitif
atau karena adanya power
(kekuasaan) yang mengintervensi pasar sehingga memberikan keuntungan kepada
segolongan orang yang berakibat merugikan banyak orang.
Dalam konteks tersebut menarik untuk mengajukan pertanyaan apakah
tren harga bahan-bahan pokok yang cenderung naik beberapa tahun terakhir
sepenuhnya disebabkan faktor-faktor alamiah pasar atau karena masuknya power yang mendistorsi pasar.
Power yang mendistorsi
pasar terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, berasal dari kekuatan
yang dimiliki para pelaku pasar. Ketika ada produsen tunggal (monopoli)
atau konsumen tunggal (monopsoni) pastilah berimplikasi kemampuan
menentukan harga yang berakibat mengeksploitasi mitra ekonomi mereka, yakni
para konsumen untuk pasar monopoli dan para produsen untuk pasar monopsoni.
Bentuk kekuatan pasar lain yang distortif dan ekploitatif ialah
ketika pasar hanya dikuasai beberapa produsen (oligopoli) atau segelintir
konsumen (oligopsoni). Eksploitasi terhadap para konsumen (dalam pasar
oligopoli) atau para produsen (dalam pasar oligopsoni) muncul ketika
terjadi kolusi atau persekongkolan segelintir pelaku pasar untuk mengatur
produksi atau konsumsi mereka, atau mengatur pemasaran barang sehingga
mereka bisa menentukan harga, atau dengan kata lain mereka membentuk kartel
di dalam pasar.
Tren kenaikan harga pangan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun
terakhir diduga karena hadirnya kartel dalam struktur pasar komoditas
pangan impor. Kecurigaan itu memang cukup beralasan. Kalau kita melihat
struktur pasar, memang tampak jelas bahwa hanya segelitir perusahaan yang
berskala besar menguasai pasar pangan Indonesia. Dengan kata lain, struktur
pasar pangan domestik bersifat oligopoli. Seperti yang disampaikan Ketua
Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung, pasar komoditas pangan domestik
kita berstruktur oligopoli, terutama untuk pasar kedelai, pakan unggas, dan
gula.
Importir kedelai di dalam negeri hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan
(menggunakan PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill
Indonesia. Pada industri pakan unggas yang hampir 70% bahan bakunya ialah
jagung, empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Distribusi
gula di dalam negeri dulu dikuasai `sembilan samurai', tetapi sekarang
dikuasai enam orang.
Namun, tentu saja struktur pasar yang bersifat oligopoli itu secara
hukum positif tidak bisa disebut kartel. Pasal 11 Undang-Undang No 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat
mengatakan mereka baru bisa dikatakan membentuk kartel kalau terbukti
melakukan persekongkolan, kerja sama untuk mengatur produksi dan atau
mengatur pemasaran produk-produk pangan impor di Indonesia.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat sulit untuk
membuktikan terjadinya persekongkolan ekonomi yang dinamakan kartel. Hal
itu mungkin disebabkan kewenangan KPPU tidak sehebat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang punya ke wenangan menyadap telepon, e-mail, atau jalur
komunikasi lainnya. Dengan demikian, tidak ada salahnya presiden dan DPR
menjadikan KPPU menjadi lembaga superbodi demi tegaknya hukum persaingan
usaha yang sehat di negeri ini.
Faktor kedua yang menjadi penyebab hadirnya power destruktif dalam pasar ialah ketika pelaku pasar
berkongkalikong dengan kekuatan di luar pasar, khususnya pengambil
kebijakan penting negara baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Power pasar yang sedemikian
bisa terbentuk karena adanya win-win
solution antara pelaku ekonomi dan salah satu atau lebih dari elite
negara, bisa perencana dan pelaksana pembangunan (eksekutif), pembuat
undang-undang (legislatif) atau penegak hukum (jaksa, polisi, atau hakim).
Pelaku pasar tertentu diuntungkan dan mendapat privilege (privilese) dan power untuk menguasai pasar karena
mendapat dukungan dan lindungan elite-elite negara. Keuntungan dari
penguasaan pasar dibagi kepada semua pihak yang terlibat. Fenomena itu kita
kenal dengan terminologi economic
rent seeking (perburuan rente ekonomi).
Akibatnya kebijakan-kebijakan perdagangan, produksi, distribusi dan
konsumsi negara yang dikeluarkan negara menjadi bias vested interest. Motivasi utamanya bukan untuk memakmurkan
bangsa, melainkan lebih didorong keinginan untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi atau politik dalam jangka pendek (Grindle, 1989).
Keberadaan para pemburu rente itu menyebabkan tak adanya pertimbangan
jangka panjang ketika akan mengeluarkan sebuah kebijakan. Dampaknya aturan
yang dikeluarkan pembuat keputusan hanya berdasar pada motif kepentingan
jangka pendek, baik secara ekonomi ataupun politik, yang terkadang sangat
mengabaikan kepentingan masyarakat.
Kita berharap aparat hukum, khususnya KPK, mampu
menyelisik semua aktivitas perburuan rente ekonomi dalam aktivitas ekonomi
domestik kita, tidak terkecuali dalam semua aktivitas impor komoditas
pangan skala besar. Jika perilaku itu tidak bisa dikikis, yang dirugikan
ialah masyarakat konsumen dan petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar