KONGRES luar biasa Partai Demokrat (KLB PD) di Bali akan
memilih ketua umum (Ketum). Kalau menilik bobot permasalahan PD dan
adanya unsur darurat (tampak dari diselenggarakannya KLB), sebenarnya
yang paling baik Ketum diambil dari luar PD. Di dalam PD, faksionalisme
sudah sulit disatukan.
Hanya, tokoh dari luar akan terbentur AD-ART (anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga). Memang sulit membayangkan peserta
kongres sepakat memahami KLB sebagai sesuatu yang darurat lalu mengubah
AD-ART untuk memberi jalan orang luar.
Para tokoh luar yang dianggap kapabel juga sudah
menyatakan tidak bersedia menjadi Ketum PD, misalnya Dahlan Iskan.
Bahkan, Mahfud M.D. merasa bahwa tawaran Ketum PD itu tak relevan
disampaikan kepadanya. Sebab, dia tak punya kartu anggota.
Karena dari dalam PD tidak ada tokoh yang punya
kapabilitas besar, semua mata tertuju kepada figur SBY (Susilo Bambang
Yudhoyono). Kondisi kritis seperti itulah yang menyebabkan ada sinyal SBY
bersedia menjadi Ketum PD.
Arus mengetumkan SBY itu terasa jadi arus terkuat
menjelang KLB. Dugaan kami, begitu SBY bersedia menjadi Ketum PD,
keputusan secara kor aklamasi dalam KLB itu akan tercapai.
Jika SBY menjadi Ketum PD, untuk menyelesaikan kondisi
darurat PD sangat mungkin dilakukan penataan dengan gaya otoritarian.
Partai dengan slogan "Santun, Bersih, dan Cerdas" itu akan
memasuki era baru: ditata dengan gaya otoritarian seperti partai zaman
Orba. Ironis memang kalau partai yang bernama "demokrat" justru
dikelola secara tak demokratis.
Persoalannya, jika SBY menjadi Ketum PD, apakah bisa
mengangkat citra dan menaikkan elektabilitas PD? Apakah kalau benar SBY
menjadi Ketum PD justru akan kontraproduktif alias menghancurkan PD?
SBY adalah ikon PD. Yang membangun dan membesarkan PD
adalah SBY (sebagai kekuatan utama). Pada awal kepemimpinan Anas
Urbaningrum (AU) sebagai Ketum PD, sekitar 2010-2011, tumbuh dengan cepat
sebagai tokoh muda yang santun, moderat, dan smart. Anas mampu
memerankan Ketum PD dengan baik. AU bisa tumbuh menjadi ikon muda PD di
bawah SBY.
Akan tetapi, ketika muncul kasus Nazaruddin, citra
ketokohan AU yang bagus itu dibom habis-habisan dan sangat sistematis,
baik oleh oknum faksi dalam tubuh PD maupun lawan politik di luar PD.
Mereka menggunakan media massa elektronik, kemudian berkembang ke media
cetak.
Bom besar yang ditembakkan ke AU, PD, dan SBY berfungsi
efektif. Di sisi lain, tokoh-tokoh PD yang sangat beragam terpenjara
dalam faksi sehingga pluralitas PD "belum sempat" menyatu. SBY
yang asyik mengelola negara dan menyerahkan PD kepada AU yang belum
sepenuhnya bisa meleburkan pluralitas PD.
Tatkala "bom Nazaruddin" meledak, semua unsur
dan faksi dalam PD kedodoran. Reaksi mereka sungguh mencengangkan: saling
serang. Bom Nazaruddin telah melumpuhkan AU dan PD.
Demokrat yang Otoritarian
Jika SBY menjadi Ketum PD, rasanya pluralitas dalam PD
akan dipaksa "menyatu" dan dikendalikan secara otoritarian.
Kalau itu dilakukan SBY, pola kepemimpinan dalam PD akan bergeser dari
demokratis ke otoritarian yang dijustifikasi dari keadaan darurat PD.
Kalau pola otoritarian itu berhasil dilakukan SBY
dengan cepat dan aman, irama "kesatuan" PD akan menonjol dan
hal itu akan memudahkan SBY untuk menggerakkan PD. Akan tetapi, kalau SBY
tidak berhasil menggerakkan PD dalam irama kesatuan, PD akan semakin
terpuruk.
Di sisi lain juga bergantung dari perilaku dan
keberhasilan SBY sebagai presiden selama satu tahun terakhir. Kalau
kinerja pemerintahan SBY semakin baik, keberhasilan tersebut akan
berpengaruh terhadap citra PD.
Selain itu, citra terletak dari sikap dan respons SBY
terhadap komentar serta serangan para oposisi dan media massa yang
semakin intensif. Hal itu tidak terkait dengan berhasil atau tidaknya
kinerja pemerintahan SBY, melainkan mampu atau tidak SBY merespons dengan
cerdas dan anggun semua isu yang disemburkan kepada dirinya. Dengan
demikian, bangkit atau tidaknya PD, rasanya, tinggal di dalam kinerja SBY
setahun ini.
Kekisruhan yang menimbulkan KLB itu bisa menjadi contoh
bagaimana PD yang semula dikelola dengan cara demokrasi kemudian bergeser
ke arah otoritarian. Pertama, secara gradual partai politik yang dibangun
zaman reformasi yang demokratis akan kembali ke arah hukum besi oligarki
(HBO).
Awal reformasi mengilhami berbagai partai politik
dibangun dengan tatanan demokratis. Tatanan demokratis, utamanya
partai-partai besar, dibangun dari ketokohan seseorang dan sistem partai
modern, misalnya Amien Rais dengan PAN, SBY dengan PD, Megawati dengan
PDIP (ini agak khusus karena mengukuhkan sistem dengan karisma Soekarno
dan cara otoritarian), Prabowo dengan Gerindra, dan Wiranto dengan
Hanura. Semakin besar partai itu, semakin pelik persoalan yang dihadapi,
maka ada kecenderungan akan dikelola dengan pola HBO.
SBY semula membiarkan dan mengelola secara demokratis
berbagai faksi dalam PD. Tetapi, tatkala menghadapi kasus Nazaruddin,
ternyata partai yang cepat besar itu berkembang secara anarkistis dan
destruktif. Maka, PD pun "menyerah" kepada hukum besi oligarki.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar