Sejak kemerdekaan hingga 1965,
pelajaran Agama bersifat pilihan di sekolah-sekolah umum. Sebelum itu,
minimal sejak 1871 hingga berakhirnya pemerintah kolonial Belanda,
sekolah-sekolah pemerintah bahkan tidak dibenarkan memberikan pelajaran
Agama demi menjaga netralitas negara.
Atas desakan kaum agama yang
tengah berseteru dengan kelompok komunis, Orde Baru kemudian mengeluarkan
Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 yang mewajibkan mata pelajaran Agama kepada
semua siswa dari tingkat SD hingga perguruan tinggi (PT), sampai
sekarang. Kini, Kurikulum 2013 hendak memberikan porsi dua kali lipat
untuk pelajaran Agama. Buat apa?
Perlu Dikaji Ulang
Meski kerap dibungkus retorika
moral, jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan pelajaran Agama di
sekolah-sekolah umum seperti yang ada sekarang sesungguhnya lebih
ditopang oleh alasan politis. Tak heran, agama lebih banyak dipakai,
terutama sebagai identitas politis.
Beragama pun menjadi serba
politis. Meski simbol-simbol agama kini bertebaran di mana-mana, secara
substansial kita tidaklah lebih religius. Hubungan antarumat beragama pun
cenderung rentan konflik. Sementara nilai-nilai dasar agama—seperti
keadilan, kejujuran, kesederajatan, tanggung jawab, saling menghargai
sesama—sering ketelingsut entah ke mana.
Karena itu, status pelajaran
Agama ini sudah waktunya ditinjau kembali. Sejauh ini, ia lebih banyak
menjadi beban: beban akademis dan beban anggaran. Sementara manfaat
substansialnya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai
penegasan, yang saya persoalkan adalah pelajaran Agama di sekolah-sekolah
umum.
Saya setuju pendapat (alm) Fuad
Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: pendidikan agama
merupakan tanggung jawab orangtua, bukan negara. Namun, mengingat watak
konstitusi dan sejarah kita, pelajaran Agama bisa tetap diberikan di
sekolah umum asal sifatnya pilihan, bukan wajib. Ini yang dulu berlaku
sesuai UU No 4/1950.
Kalau anak-anak mau mendapatkan
pendidikan agama yang cukup, kirimlah mereka ke lembaga-lembaga agama.
Ini sekaligus pendorong bagi orangtua dan lembaga-lembaga agama, seperti
madrasah diniyyah dan sekolah Minggu, agar aktif berperan menjalankan apa
yang menjadi tanggung jawab mereka. Sekolah bukanlah ’juru selamat”
tempat kita menyerahkan segala urusan. Kalau dipaksakan, sekolah akan
kewalahan, kualitas pendidikan akan rendah mutunya, dan akhirnya anak
didiklah yang jadi korban.
Usulan untuk mengembalikan
status pelajaran agama dari wajib ke opsional ini juga pernah ramai
dibicarakan dalam sidang MPR tahun 1973, tapi ditentang oleh kelompok
Islam karena alasan trauma bahaya PKI. Jelas, alasan itu kini tak relevan
lagi.
Kita juga harus ingat, kebijakan
kewajiban pelajaran agama di sekolah umum sesungguhnya telah memakan
banyak korban, terutama di kalangan penganut agama-agama lokal dan sistem
keyakinan yang tak diakui. Secara perlahan tapi pasti, anak-anak dari
keluarga penganut agama lokal dan mereka yang tak diakui statusnya itu
telah dipaksa untuk pindah dan memeluk salah satu agama resmi yang
diajarkan di sekolah. Jika ini terus dibiarkan, apa artinya kebebasan beragama
yang dijamin konstitusi?
Model pembelajaran agama yang
monoreligius (hanya mempelajari satu agama [sendiri] saja) seperti
sekarang perlu diubah menjadi multireligius, terutama untuk siswa sekolah
menengah. Siswa perlu mengenal aspek-aspek fundamental agama lain, selain
agama sendiri. Di PT, model ini perlu ditingkatkan menjadi interreligius.
Selain mendidik (maha-)siswa untuk tidak gampang terjebak perangkap
sektarianisme, kedua model terakhir ini akan menyiapkan siswa
berinteraksi secara bermakna dengan keragaman di sekitarnya, di dalam
maupun di luar ruang kelas, serta mampu memberikan tanggapan yang
positif. Ini mutlak diperlukan agar keragaman bisa dikelola menjadi
sumber daya, bukan sumber bencana, bagi kemajuan hidup bersama.
Di harian ini, tahun 1979 (alm)
Harsja W Bachtiar pernah mengajukan gagasan serupa. Menurut dia, kuliah
agama di PT perlu diganti menjadi kuliah agama- agama yang isinya
mencakup semua tradisi keyakinan yang hidup di Indonesia. Metode yang
dipakai harus ilmiah, bukan doktriner. Mempelajari agama di tingkat PT
adalah untuk mengkaji secara kritis aspek-aspek sejarah, praktik budaya,
dinamika sosial-politik yang melatarbelakangi tradisi, dan pemikiran
dalam agama yang bersangkutan.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan
Daoed Joesoef juga pernah mengusulkan perlunya pelajaran agama-agama
besar untuk mengganti pelajaran agama di sekolah umum. Namun, usulan
pelajaran ”panca-agama” itu ataupun usulan kuliah agama-agama oleh Harsja
Bachtiar hanya mendapat kecaman keras, terutama dari kalangan Islam.
Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara bahkan menyebut usulan
pelajaran ”panca-agama” itu sebagai ide gila!
Kita tahu, di bawah Orde Baru
pada masa itu, kelompok Islam memang serba tersingkir dan dilucuti secara
hampir sempurna. Semua isu yang dianggap mengancam mereka selalu
ditanggapi dengan sikap kelewat peka. Sekaranglah saat yang tepat untuk
mengkaji ulang usulan kedua pakar tersebut dengan pikiran yang jernih dan
sikap dewasa.
Pengajaran agama dengan model
multi dan interreligius ini sama sekali bukan gagasan baru dan asing.
Sejak 1970-an, Prof Mukti Ali telah mengembangkan ilmu perbandingan agama
meski dalam ruang lingkup yang lebih terbatas. Di banyak perguruan tinggi
swasta, terutama di kalangan Protestan dan Katolik, kuliah agama-agama
dengan model ini juga sudah lama dikembangkan.
Absurd dan Mencemaskan
Jika kita mundur ke belakang,
sejak awal 1930-an, Mahmud Junus—mantan rektor pertama IAIN Padang—telah
membekali para calon guru Agama Islam di sekolah menengah yang diasuhnya
dengan pengetahuan mengenai agama-agama besar dunia. Al-Adyan—buku
berbahasa Arab yang ditulisnya dan masih digunakan di sejumlah pesantren
di Jawa dan Sumatera sampai kini—mengupas sejarah dan doktrin agama-agama
lain, seperti Zoroastrianisme, Sabi’anisme, Brahmanisme, Buddhisme,
Konghucu, Taoisme, Sintoisme, Fetisisme Afrika Barat, selain Yahudi dan
Kristen. Junus telah menggunakan pendekatan interreligius dan memberi
ruang yang cukup bagi pluralisme agama. Siddharta Gautama, misalnya,
menurut dia, bisa dilihat sebagai seorang nabi yang membawa ajaran
kebenaran.
Di Medan, pada 1951, Zainal
Arifin Abbas juga telah menulis buku Perkembangan Pikiran terhadap Agama,
berisi sejarah agama-agama. Buku yang beberapa kali dicetak ulang ini
bahkan oleh Departemen Agama pernah direkomendasi sebagai bacaan wajib
bagi para calon guru agama.
Sekali lagi, tidak ada yang baru
dan aneh untuk mempelajari berbagai agama secara ilmiah. Ia juga tidak
akan melemahkan iman siapa pun. Di tengah masyarakat plural yang masih
dibayangi berbagai konflik, termasuk yang bernuansa agama, justru itulah
yang kita butuhkan. Yang aneh adalah terus mempertahankan status wajib
mata pelajaran Agama di sekolah umum sembari bersikeras mempraktikkan
model monoreligius dan pendekatan yang doktriner, meski manfaat
substansialnya tidak pernah jelas.
Kurikulum 2013 yang justru
melipatgandakan porsi pelajaran agama seperti itu sungguh absurd, bahkan
mencemaskan. ●
|
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus