Salah
satu perhatian publik sekarang adalah usulan pemerintah ke DPR secara
serentak terkait tiga rancangan undang-undang berkaitan dengan
desentralisasi: pertama RUU Pemilihan Kepala Daerah, kedua RUU tentang
Revisi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dan ketiga RUU
tentang Desa.
Namun, harus
diakui pembahasan di DPR yang paling banyak dikritisi dan menjadi sorotan
publik adalah rencana pemerintah merevisi pemilihan gubernur secara
langsung untuk kembali lagi ke jalur legislatif (DPRD). Usulan ini telah
memunculkan resistensi dan penolakan semua fraksi di DPR.
Usulan
pemerintah ini bukan tanpa alasan. Pemerintah berpendapat beberapa alasan
mereka antara lain, pertimbangan penghematan biaya karena sistem yang ada
saat ini dianggap terlalu besar pembiayaannya (high cost), lalu kerap terjadi konflik horizontal
antarpendukung, dan termasuk alasan titik tekan otonomi pada level
kabupaten atau kota sehingga posisi bupati atau wali kota dianggap perlu
diperkuat.
Titik Balik Demokrasi
Upaya
mengoreksi sistem pemilihan langsung dilakukan pemerintah melalui RUU
tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam Pasal 2 RUU disebutkan, gubernur
dipilih anggota DPRD provinsi secara demokratis berdasarkan asas
langsung, bebas, jujur, dan adil. Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri Djoharmansyah menjelaskan, langkah mengoreksi
sistem pemilihan gubernur merupakan solusi atas berbagai persoalan yang
muncul dalam pilkada langsung.
Persoalan
yang muncul berkaitan dengan sistem pilkada langsung antara lain, karena
membengkaknya biaya politik yang kemudian berakibat terjadi korupsi.
Dasar asumsi dasar itulah kita tidak menutup mata atas merebaknya
berbagai korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah. Kepala daerah hasil
pemilihan langsung merupakan manifestasi desentralisasi demokrasi dinilai
tidak memperlihatkan semangat pemerintahan yang bersih dan baik.
Dari
informasi dan data yang layak dipercaya menyebutkan, 863 pasangan kepala
daerah yang terpilih sejak pilkada langsung digelar tahun 2005 sebanyak
280 orang terjerat kasus hukum. Data Kementerian Dalam Negeri yang
berulang kali disampaikan merupakan sesuatu yang memprihatinkan. Kondisi
itu tentu memunculkan pertanyaan mengapa korupsi bisa merajalela justru
di era demokrasi seperti sekarang ini?
Pastinya,
memberikan hak memilih pemimpin secara langsung kepada rakyat merupakan
perwujudan kedaulatan rakyat paling nyata. Sebab, rakyat telah diberikan
hak memilih siapa pemimpin yang dikehendaki. Hak yang telah diberikan
ke-pada rakyat sejatinya tidak diambil lagi dan menyerahkannya kepada
anggota legislatif DPRD.
Karena itu,
keprihatinan terhadap mahalnya biaya demokrasi tidak perlu diatasi dengan
menarik kembali hak yang telah dinikmati sepenuhnya oleh rakyat. Tetapi,
justru yang perlu dipikirkan bagaimana membatasi biaya politik dalam
setiap pemilihan kepala daerah. Solusinya bisa saja gagasan melakukan
pilkada serentak yang selama ini banyak dimunculkan sebagai salah satu
cara menghemat biaya pemilu. Sebab, upaya mencabut hak rakyat untuk
memilih pemimpin bisa menjadi titik balik bagi demokrasi itu sendiri.
Kualitas Demokrasi
Makna
substansial demokrasi atau kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat,
dimaksudkan agar demokrasi bisa berjalan dengan baik di suatu negara,
partai politik (parpol), dan institusi-institusi kenegaraan, seperti
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus berperan lebih
optimal. Oleh sebab itu, salah satu indikator dari berjalannya demokrasi
adalah proses rekrutmen pemilihan pemimpin.
Dalam konteks
itulah, mari kita cermati kembali secara saksama mengapa setelah memasuki
era reformasi kita lebih memilih pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/wali
kota) secara langsung oleh rakyat. Padahal, kita tahu biaya yang akan
dikeluarkan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya,
yaitu melalui lembaga DPRD.
Sesungguhnya
logika yang dibangun memilih pilkada dan pilpres secara langsung karena
kita telah berketetapan hati memilih sistem demokrasi. Dalam demokrasi
sesuai substansi yang terkandung di dalamnya, harus ada upaya
terus-menerus untuk melibatkan semakin banyak kalangan dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan politik. Karena itu, semakin banyak pihak ikut
terlibat dalam pengambilan keputusan, tentu semakin tinggi pula kadar
kualitas demokrasinya.
Pemberian
mandat atau kewenangan kepada rakyat untuk menentukan dan memilih secara
langsung pemimpinnya merupakan bentuk nyata perwujudan kualitas
demokrasi. Bahwa dalam proses demokratisasi banyak tantangan yang
menghadang seperti munculnya biaya yang mahal, korupsi yang tampak
merajalela, serta konflik yang cenderung meningkat, hal itu lumrah
terjadi.
Jika
bercermin pada semua negara yang tengah berproses menuju kematangan
demokrasi senantiasa menghadapi masalah seperti itu. Lagi pula besar
kecilnya biaya pilkada bergantung dari kebijakan yang digunakan.
Katakanlah komponen-komponen pembiayaan pada dasarnya bisa dikurangi
secara signifikan tanpa mengurangi kualitas hasil. Misalnya dengan harga
berkampanye secara tertutup dialogis.
Komponen
biaya pendaftaran pemilih yang biasanya diperbarui dari waktu ke waktu
tak diperlukan lagi, karena cukup dengan menggunakan kartu identitas penduduk,
apalagi sekarang sudah menggunakan e-KTP. Pada akhirnya, beberapa argumen
tersebut diharapkan memperkaya imajinasi dalam mencari solusi alternatif
yang lebih baik dalam mengatasi beragam masalah yang dihadapi.
Atas dasar
pemikiran konstruktif seperti itu, tidak me-ngesankan atau
mengindikasikan bahwa rencana perubahan fokus demokrasi pemilihan
gubernur hanya karena kebutuhan berpikir produktif, dan akibatnya
melanggar hakikat reformasi dan mengorbankan the rule of law. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar