Badan Anggaran (Banggar) DPR acap kali bermain mata.
Dugaan itu menguat ketika aroma keterlibatan anggota Banggar DPR dalam
pelbagai kasus korupsi mulai tercium. Bahkan, dari dua ribu transaksi
hitam di gedung parlemen, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) menyebutkan bahwa rekening anggota Banggar paling mencurigakan.
Pelbagai fakta persidangan juga menguatkan dugaan "bisnis kotor
parlemen" dikelola oleh Banggar.
Misalnya, dalam kesaksian mantan anggota Banggar, Wa
Ode Nurhayati, terpidana korupsi dana penyesuaian infrastruktur daerah
(DPID), disebutkan bahwa kejahatannya melibatkan banyak anggota Banggar
lainnya. Dalam kasus Hambalang dan Wisma Atlet, Nazaruddin juga
"memastikan" terdapatnya keterlibatan anggota Banggar dalam
main mata dana pengembangan fasilitas olahraga tersebut. Keterangan
Nazaruddin mengenai keterlibatan Banggar dikuatkan melalui fakta-fakta
persidangan kasus korupsi Angelina Sondakh.
Aroma yang sama dapat dicium dari praktek korupsi
pengadaan Al-Quran dan komputer di Kementerian Agama. Kesaksian tersangka
Fadh el Fouz menerangkan bahwa anggota Banggar memainkan peran penentu
terjadinya transaksi hitam. Jika disimak lebih jeli, perkara anggota
Banggar di Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) selalu berkaitan dengan
pengelolaan fungsi anggaran di parlemen.
Selain faktor serakah, kesempatan anggota Banggar
menyimpangkan uang rakyat terjadi karena ruang yang diberikan
undang-undang. Melalui beberapa ketentuan, misalnya Pasal 107
Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta Pasal 15 ayat (3) dan
ayat (5) UU Keuangan Negara, Banggar DPR dapat mengelola permainan
anggaran dari hulu (anggaran makro) hingga hilir (anggaran mikro)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kewenangan sangat besar
itu menciptakan godaan bagi anggota Banggar untuk melakukan praktek
penyimpangan anggaran.
Praktek penyimpangan anggaran oleh Banggar
menunjukkan bahwa pencurian uang rakyat dilandasi fungsi kelembagaan DPR.
Ketiga fungsi, yakni pembentukan undang-undang (legislasi), pengawasan,
dan anggaran, telah dijadikan alat mempermudah praktek korupsi di
Banggar. Ketiga fungsi yang terlalu besar itu membuat parlemen yang korup
dilindungi undang-undang.
Untuk mengatasi penyimpangan tersebut, fungsi absolut
DPR (baca: melalui Banggar) harus dibatasi. Menurut Donald S. Lutz,
pembatasan itu didasari pemisahan fungsi dari lembaga dan penyelenggara
negara (Donald S. Lutz, Principles
of Constitutional Design, Cambridge University Press, 2006, hlm. 112).
Salah satu upaya untuk membatasi dominasi DPR dalam politik anggaran
adalah dengan membubarkan Banggar. Itulah sebabnya, upaya kelompok
masyarakat tertentu untuk menyelamatkan uang rakyat dengan menggugat
penghapusan Banggar ke Mahkamah Konstitusi (MK) patut diapresiasi.
Penyelamatan Demokrasi
Setidaknya terdapat dua alasan penting kenapa
penghapusan Banggar DPR berkaitan dengan penyelamatan demokrasi. Pertama,
pencurian uang rakyat yang melibatkan anggota Banggar DPR telah
menciptakan demokrasi tak sehat. Tak bisa dimungkiri, partai politik peserta
Pemilu acap kali memaksa kadernya melakukan pelbagai cara agar brankas
partai melimpah. Leonardo Morlino menjelaskan, memang partai melakukan
pelbagai cara untuk merampok uang rakyat dalam sistem demokrasi yang
rusak (Larry Diamond, Political
Parties and Democracy, 2001, hlm. 113).
Ketika pencurian uang rakyat melalui Banggar itu
mengalir ke partai politik, proses demokrasi hanya akan menghasilkan
wakil rakyat tidak berintegritas. Dengan membubarkan Banggar, sumber mata
air partai politik akan terhenti. Jika partai ingin bertahan, partai akan
melakukan pencarian sumber dengan cara-cara halal. Seperti di Amerika,
partai politik tak hanya berharap sumbangan penguasa atau politisi kaya,
tapi juga berharap kepada pemilih. Kondisi itu dapat diwujudkan apabila
partai memiliki integritas yang diyakini publik. Pembubaran Banggar
merupakan titik awal dari upaya membangun partai yang bersih dan lebih
ideologis. Ujungnya, demokrasi akan menghasilkan figur politik
berkualitas.
Alasan kedua, pembubaran Banggar berkaitan dengan
prinsip pemisahan kekuasaan negara dalam sistem demokrasi. Jika Banggar
dihapuskan, kewenangan pengelolaan anggaran mikro diserahkan kepada
pemerintah. Ke masa depannya, fungsi anggaran DPR harus dimaknai hanya
dalam penentuan anggaran makro. Wakil rakyat (baca: DPR) hanya terlibat
dalam merancang grand design pengelolaan APBN. Eksekutor rancangan itu
diserahkan sepenuhnya kepada eksekutif (baca: pemerintah). Ketika
pemerintah gagal mewujudkan anggaran mikro, DPR memiliki ruang untuk
mempertanyakan konsep kebijakan ekonomi pemerintah.
Maka, pembubaran Banggar berkaitan erat dengan konsep
trias politica Montesquieu, yang menghendaki cabang-cabang kekuasaan
negara dipisahkan kewenangannya. Tak ada satu lembaga negara yang absolut
kekuasaannya. Menurut C.F. Strong, satu-satunya jembatan penghubung dari
pemisahan kewenangan itu adalah memberlakukan mekanisme checks and balances (saling
mengawasi) antar lembaga negara, sehingga pembubaran Banggar akan membuat
DPR kehilangan kekuasaan penentuan anggaran dari hulu hingga hilir. Ide
itu akan menyelamatkan demokrasi.
Jika MK membubarkan Banggar DPR,
setidak-tidaknya ruang pencurian uang rakyat akan semakin sempit. Ujung
dari itu semua adalah terselamatkannya demokrasi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar