KETIKA umat kristiani memasuki satu pekan sebelum Paskah, saya
tengah menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci. Saat berada di Topshop,
salah satu toko di Kota Makkah yang jaraknya hanya 100 meter dari Kakbah,
saya bertemu peziarah dari Mesir bernama Maryam yang bertanya tentang
Nurcholish Madjid. Padahal, mungkin saja sebagian besar di antara kita
sudah melupakan dia. Setelah menjawab, saya bertanya kepada Maryam soal
Naguib Mahfouz.
Setelah perbincangan mengesankan itu, saya berpikir
sesungguhnya kita bisa belajar dari dua pemikir besar itu guna membangun
relasi harmonis antarumat beragama, khususnya antara umat Islam dan
Kristen, di negeri kita yang besar dan majemuk.
Naguib Mahfouz wafat di Kairo, 30 Agustus 2006, dalam
usia 95 tahun. Dia dikenal sebagai "raja" novelis Arab modern
dengan 50 novelnya. Dialah satu-satunya sastrawan Arab yang pernah
mendapat Hadiah Nobel (1988).
Salah satu karyanya adalah Awlâd Hârâtinâ (Anak-Anak
Kampung Kami). Novel ini memang salah satu masterpiece sastrawan
kelahiran 11 Desember 1911 itu. Novel tersebut menjadi titik singgung
tiga agama Samawi, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Isinya sejarah
manusia dan sejarah para "nabi" dengan setting Kota
Kairo. Para "nabi" dalam novel ini tampak dalam tokoh Adham
(Adam), Jabal (Musa), Rifa'a (Yesus), dan Qosim (Muhammad).
Dalam banyak kesempatan, Qasim (Muhammad) kerap
dikaitkan dengan Rifa'a. Dengan begitu, kita di sini melihat bagaimana
seharusnya Islam-Kristen saling berhubungan. Misalnya dalam dialog dengan
Yahya, Qasim bertanya, "Bagaimana orang bisa hidup tanpa terlekat
pada harta benda?" Yahya menjawab, "Dengan cara hidup seperti
Rifa'a". Lagi, ketika ada yang bertanya bahwa "tanpa kekerasan
tidak mungkin ada keadilan", Rifa'a menjawab, "Kenyataannya
bahwa lingkungan kita memerlukan belas kasihan".
Mahfouz sebenarnya mencoba mempertemukan para
pembacanya yang Yahudi, Kristen, dan Islam untuk membuka hati dan
pikirannya sehingga akan lahir sikap saling mengerti dan saling
menghargai. Sebab, dunia membutuhkan banyak hal yang baik dari penganut
tiga agama itu guna mengatasi berbagai krisis seperti kemiskinan,
kelaparan, kerusakan lingkungan hidup.
Cak Nur wafat 29 Agustus 2005. Jadi, tepat sehari
setelah genap setahun Cak Nur wafat pada 29/8/2006, Mahfouz wafat.
Seperti kita tahu, Cak Nur memiliki pandangan yang sangat inklusif
sebagaimana Mahfouz.
Secara khusus, pemikiran Cak Nur yang paling
mengesankan adalah menyangkut "Islam anonim". Menurut Cak Nur,
dari perspektif Alquran par excellence, makna islam
(dengan i kecil) secara generik adalah "sikap
penyerahan diri" kepada Allah (totally surrender unto God). Dalam
pengertian itu, islam (dengan awal huruf kecil) dan bukan Islam dalam
makna organized religion (Islam dengan I besar) adalah sumber ide
universalisme. Makna "islam" sebagai sikap pasrah ini merupakan
ide yang mempersatukan semua manusia dari beragam agama.
Pemikiran Cak Nur seperti itu jauh sebelumnya
diungkapkan Karl Rahner, teolog Katolik yang menegaskan bahwa Allah juga
hendak menyelamatkan pengikut agama-agama lain (di luar Katolik) sebagai
"orang-orang Kristen anonim". Jadi, siapa pun, jika di dalam
hidupya mengamalkan apa yang diperintahkan Allah, layak disebut sebagai
Kristen anonim meskipun dalam kenyataannya orang tersebut nonkristiani.
Mengingat pemikiran yang sedemikian inklusif dan
apresiatif itu, jelas Mahfouz atau Cak Nur merupakan sosok pelopor
dialog. Dialog jelas tidak berarti bermaksud hendak menyamakan akidah, tetapi
sebuah cara membangun rasa hormat serta memandang perbedaan dan keyakian
pihak lain dengan penuh empati. Dengan demikian, lepas dari segala
perbedaan, umat yang berbeda agama -katakanlah Islam-Kristen- justru
semakin didekatkan.
Apalagi umat Kristen, Islam (bersama Yahudi) sebenarnya
mewarisi satu warisan iman yang sama dari Abraham atau Ibrahim sehingga
tiga agama itu sering disebut sebagai "Abrahamaic Religions".
Umat tiga agama tersebut, ibaratnya, mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim
dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh "anak-anaknya" yang
Yahudi, Kristen, dan Islam.
Karena itu, guna menumbuhkan saling pengertian,
"anak-anak Nabi Ibrahim", khususnya Kristen dan Islam, di tanah
air seharusnya suka keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang
tamu rumah Nabi Ibrahim. Ketika berada di kamar masing-masing, tentu
setiap aturan hidup dalam kamar itu harus dipatuhi. Namun, ketika berada
di ruang tamu di rumah Ibrahim itulah, kesempatan bagi kita untuk
menjalin dialog dan saling pengertian. Dengan begitu, segala prasangka
buruk bisa disingkirkan dan tercipta harmoni. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar