Jangan heran bila Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono jadi Ketua Umum Partai Demokrat. Menjelang Kongres Luar
Biasa (KLB) di Bali, akhir Maret ini, kita menyimak ramainya usaha ke
arah itu dilakukan para petinggi Partai Demokrat (PD).
Mereka serentak hendak mengarahkan agar Ketua
Dewan Pembina PD itu secara mulus dapat menggantikan posisi Anas
Urbaningrum yang lengser belum lama berselang.
Apakah posisi sebagai Ketua Umum PD menurunkan
derajat SBY, itu bisa diperdebatkan. Yang jelas, tampaknya SBY sudah
‘tidak sabaran’ untuk secara serius mengambil peran yang lebih strategis
guna membenahi partai yang didirikannya itu agar segera ‘come back’ dari krisis yang
melandanya.
Sikap itu kelihatan, antara lain, dari polemik
via pesan pendek (sms) antara SBY dengan Ketua DPR Marzuki Alie
belakangan ini. Sebagai diberitakan Inilah.Com Rabu (27 Maret), di antara
salah satu SMS itu, SBY mempertanyakan bahwa ada informasi yang
menyebutkan Marzuki mengumpulkan Ketua DPC di Jakarta. "Saya tidak tahu apa yang menjadi
agenda Pak Marzuki Alie di kala partai kita masih berada dalam cobaan
seperti ini," kata SBY dalam sms itu.
Meski sempat ‘gerah’, Marzuki membantah bila
dirinya bermaksud menggalang kekuatan untuk maju sebagai Ketua Umum di
KLB itu. Di antara salah satu jawaban sms Marzuki kepada SBY mengatakan,
bahwa ia melaporkan mereka yang datang ke Jakarta saat itu, seperti yang
dimaksudkan SBY, adalah dalam rangka transit menuju Bali. “Oleh karena
pesawat ke Bali tidak mudah, maka saya bantu mereka mencari tempat
penampungan, sekaligus menyiapkan SURAT DUKUNGAN MEREKA, MENDUKUNG BAPAK
SBY SEBAGAI KETUM SESUAI KESEPAKATAN CIKEAS, karena saya sangat tahu
tidak semua DPD mampu mengendalikan DPC. Itu dilakukan oleh Pak Opat
(Syofwatillah Mohzaib) sendiri, dengan melaporkan perkembangan kepada Mas
Ibas dan juga sudah memberikan info sebelumnya ke Ibu Ani,” bunyi salah
satu sms itu.
Sejalan dengan Marzuki, Syofwatillah, yang juga
salah seorang Wakil Sekjen DPP PD, bilang bahwa pihaknya hanya
memfasilitasi untuk transit para pengurus DPC Partai Demokrat. "Ada 99 DPC. Kawan-kawan minta
tolong difasilitasi, ya kita fasilitasi," kata Syofwatillah.
Bagaimana pun, kelihatannya Marzuki, sebagaimana
banyak elite PD yang lain, sadar bahwa SBY memang harus didukung untuk
menduduki posisi Ketua Umum PD yang baru. Sejak jauh hari sebelum KLB itu
pun berbagai upaya untuk melancarkan proses ke arah itu sudah dilakukan
berbagai pihak. Kalau pun tidak secara aklamasi, minimal SBY didukung
mayoritas suara yang hadir.
Namun sebenarnya yang penting bagi PD bukan
hanya siapa yang menjadi Ketua Umum pengganti Anas Urbaningrum. Yang
menjadi soal adalah apakah partai itu bisa benar-benar ‘come-back’, dan bagaimana caranya
agar ia segera muncul kembali sebagai partai yang dipercaya pemilih, dan
disegani. Bisakah ia segera meraih kembali reputasinya sebagai partai
rakyat, setelah krisis yang menimpanya belakangan ini?
Untuk itu, ada banyak saran yang dikemukakan
para ahli dalam menangani krisis semacam itu. Di antaranya, yang populer
adalah empat langkah berikut, yang mungkin bisa dilakukan Partai Demokrat
guna memulihkan reputasinya. Keempatnya adalah: membuat respon, mengakui
secara jujur dan menyesali apa yang terjadi (regret), membayar ‘ganti rugi’ atau hutang-hutang akibat
kesalahan yang terjadi sebelumnya (restitusi), melakukan pembenahan dan
penyesuaian secara fundamental (reformasi), sehingga ‘sehat kembali’ ke
situasi normal (recovery).
First
thing first. Melakukan respon sebagai langkah awal menanggapi
kejadian yang ada sangatlah penting. Secara umum, setiap organisasi yang
menunjukkan simpati kepada korban (dalam setiap krisis) akan memperoleh
empati dari khalayaknya. Dalam kaitan dengan PD (dan juga partai politik
yang lain), korbannya adalah rakyat, yang sakit hati karena merasa
dikhianati wakil mereka di DPR. Akan halnya PD, tampaknya sejauh ini
partai itu belum pernah membuat reaksi ke luar secara gamblang, mengakui
kesalahan yang dilakukan kadernya yang terjerat korupsi.
Jadi, selayaknya PD mengakui kesalahan itu.
Kemudian, menyampaikan penyesalan. Memang ada kalanya petinggi atau
pengacara (lawyer) sebuah
organisasi kuatir bahwa penyesalan dianggap sebagai ‘pengakuan berbuat
salah’ yang bisa berujung pada tuntutan hukum dan membawa konsekuensi
biaya. Selain itu ‘kerusakan’ (damages)
yang terjadi bisa mengakibatkan munculnya biaya restitusi tambahan.
Padahal tidak seharusnya selalu begitu.
Penyesalan dan permintaan maaf secara tulus tetap bisa tampak elegan.
Petinggi PD misalnya, bisa mengakui adanya sejumlah oknum yang mencederai
nama baik partai lewat tindakan korupsi. Dan itu jelas salah dan
memalukan. “Kami belum tahu apa
yang menyebabkan sejumlah kader melakukan hal itu, selain karena sikap
rakus mereka,” begitu kira-kira yang dapat disampaikan. Lalu tambahkan,
“Tapi kami sangat menyesalkan hal itu, dan menegaskan bahwa tidak boleh
ada lagi kader PD yang melakukan tindak pidana, apa pun bentuknya, dan
sekecil apapun itu. Itu sebabnya kami haruskan semua kader pada Pemilu
2014 mendatang menandatangani Pakta Integritas.”
Seringkali reformasi permanen perlu dilakukan
secara sangat mendasar, dan tak bisa hanya dengan mengelola insiden.
Tindakannya mesti bersifat makro. Pimpinan organisasi harus selalu
melihat jauh ke depan (manage for
tomorrow), kepada hasil akhir (outcome)
yang diharapkan yang sering membawa konsekuensi munculnya penambahan
biaya, tenaga dan waktu ekstra.
Memang itu tidak mudah. Sebab saat krisis
lazimnya segala hal jadi seperti mengkerut atau menjadi kerdil. Reputasi,
kepemimpinan, integritas, dan juga loyalitas orang dalam dan khalayak
(pemilih) semuanya mengecil. Repotnya lagi, selama krisis, semua
faktor-faktor itu berada dalam tegangan yang amat tinggi. Itu sebabnya,
reaksi pertama saat organisasi Anda ditimpa krisis, Anda bisa kecewa,
marah, atau panik. Anda juga kehilangan kontrol pada apa yang terjadi di
tengah masyarakat, dan kecenderungan berlindung di balik para pengacara (lawyers).
Sebaliknya, pada saat organisasi Anda ditimpa
krisis itu, muncul serbuan dari media yang tidak sabar menunggu untuk
terus mengajukan pertanyaan, karena semua pihak menganggap Anda pasti
tahu apa yang terjadi. Saat itu seolah semua orang merasa punya hak
‘untuk tahu’ (right to know),
tapi jarang ada yang peduli apa yang Anda rasakan.
Repotnya, setelah krisis terjadi, bukti-bukti
menunjukkan bahwa pimpinan organisasi sering mengulangi kesalahan fatal
yang sama. Mereka gagal menengarai bahwa bibit krisis sebenarnya telah
bercokol lama sebelum ia menjadi headline
berita. Mereka tidak memperhitungkan ‘biaya’ sebenarnya yang harus
dibayar bila krisis terjadi. Selain itu, kebanyakan mereka lebih
mengedepankan pembelaan diri (self-defense)
ketimbang membela reputasi brand-nya.
Kesalahan-kesalahan itu lazimnya disebabkan
sikap komunikasi model lama yang keliru, yakni bahwa mereka (pengelola
organisasi) terlalu yakin akan dapat membahas dan memperbincangkan
(secara lisan) jika ada sebuah problem muncul. Sebaliknya, justru banyak
krisis yang terjadi di dunia membuktikan dalil lama bahwa, “tindakan lebih fasih ketimbang
kata-kata”.
Walhasil, kita lihat saja, apakah Partai
Demokrat bisa mengelola krisisnya lewat kepemimpinan baru ini.
Keberhasilan survive-nya
reputasi dalam sebuah organisasi saat krisis tergantung kepada budaya
internalnya, kekuatan komunikasinya dan integritas kepemimpinan
organisasi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar